Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2016

Sahabat, Mari Gelorakan Harapan Itu...

Oleh Budi A. Ingat loh, bukan Sekedar Pergerakan. Mau Apa Tidak Maju Bersama ? Di dalam gerakan jangan pernah meminta dan berharap. Anda mau meminta dan berharap pada siapa ? Gerakan adalah soal memberi. Kalau Anda bergabung dengan gerakan hanya "mengharap", saya kira Anda di tempat yg salah. Karena sejatinya gerakan juga dari oleh dan untuk orang yg bergerak itu sendiri. Saya kira, kita sudah sama-sama paham manfaat belajar, bediskusi, berjejaring, bekerjasama,  membangun komunikasi dan sebagainya. Pasti banyak manfaat ketika kita memberi dan kita menerima. Pertanyaannya, bisakah kita maju bersama? Banyak lembaga yang menaungi PMII, mulai dari NU, Kemenkumham, Kemenpora dan lainnya yang bisa memudahkan kita berorganisasi. Hanya saja kitanya mau apa tidak maju bersama? Di tataran internal kampus, PMII sebenarnya bisa memberikan manfaat yang banyak. Mulai dari memberikan ruang diskusi dan pelatihan bagi mahasiswa; membina dan mendistribusikan kader-kadernya untuk ak

Nostalgia Kelereng

Oleh Mashudi, Ketua Komunitas Teater Akar dan Mahasiswa PBSI 2014 asal Sampang Teringat kembali , ketika saya masih usia bermain dulu . S etiap mau ber main , saya dan teman-teman h ampir selalu meng awali nya dengan kalimat h om-pim - pa a laihum gambreng . Tak jarang saya dan teman-teman bermain di bawah terik matahari. Di tanah lapang yang sangat terik oleh sinar matahari kami bermaian kelereng. Orang-orang dewasa menonton , dan sesekali melerai jika kami bertengkar karena berselisih paham. K emudian , kami berdamai kembali. Seiring berlalunya masa kecil saya, permainan itu kini mulai jarang dilakukan oleh anak-anak jaman sekarang. E ntah mengapa , mereka kini jarang bermain seperi halnya saya dan teman-teman dulu. Saya merasakan betul perubahan itu, ketika saya masih duduk di bangku SMP . S aya dan teman-teman masih bisa menikmati permainan yang seru itu . Kini, baru beberapa tahun berselang , saat saya duduk sebagai mahasiswa , permainan itu mulai jarang dimainka

Bimbel Politik

suasana bimbel/ sellymiarani.wordpress.com Oleh Set Wahedi Jumat siang, seorang teman ngajak ngopi dengan kalimat renyah dan penuh lelucon. “Kau pun akan tertawa mendengar cerita yang kualami di Jakarta dalam satu minggu bulan kemarin,” katanya. Ngopi memang kebiasaan kami, tapi cerita temanku yang akan membuatku tertawa menjadi alasan utama kami ngopi di sebuah kafe mawah di Surabaya pada minggu pertama Bulan Maret itu. Mulanya cerita teman saya berkisar pada ‘undangan’ salah alamat. Seorang temannya, begitu dia mengawali cerita lucunya, membutuhkan ‘teman’ untuk ikut sekolah kader partai. “Mulanya saya menolak,” teman saya menjelaskan duduk persoalannya. Tetapi temannya yang sudah dua tahun aktif di partai itu, mengajukan permohonan yang tak bisa ditolak. Jadilah, dia menerima tawaran untuk ikut ‘kursus’ atau semacam bimbingan politik di Jakarta. “Tajuknya, Menggagas Peradaban dengan Politisi Muda,” suara teman saya mulai menahan gelembung. Tapi saya belum menangkap kel

Es Lilin Cabbi

Oleh  Kuswanto Ferdian, King Favorit UTM 2016 dan Mahasiswa PBSI 2014 asal Pamekasan Perkenalkan namaku Kuswanto Ferdian. Kalian bisa memanggilku Wawan. Kawan-kawan  di desa memanggilku “Phebeng”. Entahlah apa maksud dari panggilan itu. Aku menerima panggilan itu begitu saja. Aku berasal dari Pulau Garam Madura. Waktu aku masih kanak-kanak , aku sering bermain dengan kawan-kawan d esaku, D esa K olpajung, Pamekasan, Madura. Desaku populer dengan julukan “Kampung Hijau”. Julukan itu diberikan karena desaku sering menjuarai lomba “Adipura Kabupaten” yang diadakan setahun sekali. Selain banyak pohon yang rindang serta daunnya yang hijau, di sepanjang jalan desaku banyak bangunan dengan cat warna hijau. Baik bangunan Sekolah, toko, maupun rumah warga. Alasan itulah yang menjadikan desaku mandapat julukan “Kampung Hijau”. Desaku memiliki beberapa permainan tradisional. Permainan yang paling aku sukai waktu kanak-kanak, permainan “ E s Lilin Cabbi ” . P ermainan ini hampir sam

Meduro

Oleh Mochamad Gigih Pebrianto    Rasanya, malu sekali. Ingin kututup mata agar tak bisa melihat wajah mereka; juga ingin kubungkam telinga agar tak mendengar suara temanku dan guruku, yang sedang menertawakanku. Bolehlah membuat orang senang, begitu, pikirku pada mulanya. Tapi, hati semakin sakit rasanya ketika mereka semakin menjadi-jadi. “Kau kuliah di Madura?” pertanyaan Soni, memancing tawa Angga, Arif, Dia, Dwi, dan teman-teman yang hadir dalam acara reunian, siang itu. Penyebab bahan lelucon Meduro ini tak lain, tak bukan, adalah guruku sendiri: Samsul Hadi, S.Pd. Perawakannya guru, tapi sangat tidak profesional. Seharusnya ia memberikan contoh kepada teman-temanku untuk saling menghargai, saling menghormati. Tapi malah sebaliknya. Tempat perkuliahanku yang ada di Madura dijadikan sasaran empuk bahan candaan. “Benarkah orang Madura selalu bawa celurit? Hati-hati lho !” Meledak tawa mereka, aku tenggelam dalam suara-suara itu. Muak. Muak terutama pada

Gender

Oleh Erica Agustina Saat ini banyak orang memperjuangan atas nama gender. Namun jika ditanya apa arti gender banyak orang yang salah mendesripsikannya. Berbicara gender, kebanyakan orang berpikir bahwa gender itu bersangkutan dengan perempuan. Anggapan itu salah besar. Jika kita berbicara tentang gender, kita tidak bisa berbicara dari segi perempuan saja tetapi juga laki-laki, karena gender berbeda dengan “seks”. Seks disini berarti kodrat yang diberikan oleh Tuhan sejak ita lahir, yaitu berupa jenis kelamin dan semua yang membedakan antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan gender merupakan pelebelan yang diberikan masyarakat (kultural) terhadap nilai dan tingkah laku. Gender tidak lepas dari perjuangan seorang perempuan pemberani yang menjadi tokoh perempuan yang melegenda di Indonesia yaitu RA Kartini. Beliau menuntut kesetaraan kaumnya ketika beliau merasakan diskriminasi bahwa perempuan dijamannya tidak boleh merasakan pendidikan yang sama dengan laki-laki. Hingga terb