Langsung ke konten utama

Gender

Oleh Erica Agustina

Saat ini banyak orang memperjuangan atas nama gender. Namun jika ditanya apa arti gender banyak orang yang salah mendesripsikannya. Berbicara gender, kebanyakan orang berpikir bahwa gender itu bersangkutan dengan perempuan. Anggapan itu salah besar. Jika kita berbicara tentang gender, kita tidak bisa berbicara dari segi perempuan saja tetapi juga laki-laki, karena gender berbeda dengan “seks”. Seks disini berarti kodrat yang diberikan oleh Tuhan sejak ita lahir, yaitu berupa jenis kelamin dan semua yang membedakan antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan gender merupakan pelebelan yang diberikan masyarakat (kultural) terhadap nilai dan tingkah laku.

Gender tidak lepas dari perjuangan seorang perempuan pemberani yang menjadi tokoh perempuan yang melegenda di Indonesia yaitu RA Kartini. Beliau menuntut kesetaraan kaumnya ketika beliau merasakan diskriminasi bahwa perempuan dijamannya tidak boleh merasakan pendidikan yang sama dengan laki-laki. Hingga terbitlah buku berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang menjadi dokumentasi seorang Raden Ajeng Kartini berjuang menuntut hak kaumnya. Kata kunci dari perjuangan RA Kartini ialah kesetaraan gender. Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan permpuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-hak sebagaimanusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan, baik politik, hukum, ekonomi pendidikan bahkan pertahanan nasional.  

Banyak permasalah gender di Indonesia, namun pada kesempatan kali ini saya akan membahas mengenai permasalahan gender yang masih banyak terjadi di lingkungan masyarakat yaitu konsep gender dalam lingkungan keluarga. Dalam lingkungan keluarga masyarakat Indonesia posisi perempuan dalam keluarga, masih berada dibawah laki-laki. Seperti kasus istri yang bekerja diluar. Sewajarnya sebelum istri memutuskan untuk bekerja diluar rumah, istri harus mendapatkan ijin suami, namun pada kenyataannya meskipun istri di ijinkan bekerja, istri pantang memiliki penghasilan dan posisi lebih tinggi dari suaminya. Meskipun istri sudah bekerja di luar rumah, Ia harus memperhitungkan segala kegiatan dan kewajiban yang ada dirumah, mulai dari memasak hingga mengurus anak. 

Dalam kasus diatas terjadi ketidaksetaraan gender dalam keluarga. Meskipun istri diperbolehkan berkerja (tentu saja atas ijin suami), namun istri pantang memiliki penghasilan dan posisi lebih tinggi dari suaminya. Pertanyaannya adalah mengapa para suami takut penghasilannya lebih rendah daripada istrinya?. Sebelum mengulas tentang ini, saya melakukan wawancara dengan lima pasangan yang sudah berkeluarga. Wawancara ini saya lakukan dengan keluarga dan kerabat saya sendiri. Hasil wawancara sederhana yang saya lakukan dengan para suami, empat dari lima mengatakan hal yang sama yaitu ketika istri berpenghasilan lebih tinggi dari suami, ditakutkan jika istri menjadi pembangkang, semena-mena terhadap suami dan unjungnya suami merasa harga dirinya menjadi jatuh karena diatur oleh istri, belum lagi jika ada cekcok maka akan mengungkit siapa yang membiayai hidup suami di keluarga.

Hanya satu suami yang pemikirannya terbuka dan rasional. Keluarga ini memiliki 5 anak. 2 pasang anak kembar dan satu bungsu. Istrinya menjabat sebagai lurah di desa tersebut dan suami bekerja sebagai montir di bengkel kecil miliknya. Secara kasat mata, profesi mereka jauh sangat berbeda. Suami mengaku dirinya tidak berhak membatasi karir istrinya. Jika dirumah Ia menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami dan sebaliknya bu lurah tetaplah ibu rumah tangga yang wajib melayani dan patuh pada suami. Disiniah titik penting yang patut dicontoh oleh kebanyakan masyarakat. Suami dan istri harus memiliki kesepakatan. Suami tidak boleh egois harus mengerti posisi dan karir istri. Istripun juga tidak boleh semena-mena terhadap suami walaupun penghasilannya lebih banyak daripada suami. Inilah arti kesetaraan gender sebenarnya. Tidak ada pembeda dan tidak ada pengekangan.

*Erica Agustina, mahasiswa Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, FIP, Universitas Trunojoyo Madura dan aktivis PMII UTM.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inilah Ciri Khas Kami: Baca Puisi

Oleh Nahdliya, mahasiswa PBSI 2015 asal Pantura Jawa Helmi Yahya? Begitulah penuturannya saat aku pertama kali mengenalnya. Pertama kali kami berjumpa dan bertatap muka, tepatnya saat aku melewati masa-masa ospek di lingkup Prodi PBSI. Aku sempat heran dan meragukan nama aslinya. Apakah benar seperti itu atau hanya sebagai dalih agar dia tenar di kalangan maba. Oh hanya Tuhan yang tahu mengenai namanya. Dia memperkenalkan diri pada kami sebagai wakil ketua HMP saat itu. Aku sempat berpikir keras, mencoba memahami jabatan yang dipegangnya. Bukan meragukan, tapi lebih ke arah tidak percaya. Setahuku dia konyol, lucu, gokil dan entah apa lagi. Segalayang berbau komedi melekat pada dirinya. Itu yang membuat aku tidak percaya dengan jabatan wakil ketua HMP yang dipegangnya. Di awal pertemuan dengan suasana lingkungan perguruan tinggi, aku lebih memilih acuh tak acuh tentang kak Helmi. Entah dia mau menjadi apaatau menjabat apa. Beberapa hari mengikuti ospek, aku mulai mengerti sisi

Es Lilin Cabbi

Oleh  Kuswanto Ferdian, King Favorit UTM 2016 dan Mahasiswa PBSI 2014 asal Pamekasan Perkenalkan namaku Kuswanto Ferdian. Kalian bisa memanggilku Wawan. Kawan-kawan  di desa memanggilku “Phebeng”. Entahlah apa maksud dari panggilan itu. Aku menerima panggilan itu begitu saja. Aku berasal dari Pulau Garam Madura. Waktu aku masih kanak-kanak , aku sering bermain dengan kawan-kawan d esaku, D esa K olpajung, Pamekasan, Madura. Desaku populer dengan julukan “Kampung Hijau”. Julukan itu diberikan karena desaku sering menjuarai lomba “Adipura Kabupaten” yang diadakan setahun sekali. Selain banyak pohon yang rindang serta daunnya yang hijau, di sepanjang jalan desaku banyak bangunan dengan cat warna hijau. Baik bangunan Sekolah, toko, maupun rumah warga. Alasan itulah yang menjadikan desaku mandapat julukan “Kampung Hijau”. Desaku memiliki beberapa permainan tradisional. Permainan yang paling aku sukai waktu kanak-kanak, permainan “ E s Lilin Cabbi ” . P ermainan ini hampir sam

Pak Anu

O leh Dwi Ajeng Kartini Selama kuliah dua semester -dari semester satu sampai semester dua- baru kali ini aku bertemu dan diajar oleh dosen unik. Dikatakan unik karena cara mengajarnya santai dan mudah dipahami. Cara menyampaikan materi sangatlah berbeda dengan dosen lain yang cenderung membuat tegang. Hehe. Beliau adalah Bapak Salamet Wahedi. Sebelum ‘mengenal’nya, kami sudah mengetahuinya. Beliau adalah dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Desas-desisnya, beliau termasuk dosen killer , tentu aku langsung kaget. Aku takut ketika mendengar, beliau dosen yang killer . Aku takut, beliau di kelas sangat kaku, membosankan, dan tentu -saja bicara dosen killer - pelit nilai. Jujur saja, saat petama melihatnya memang benar terlihat seperti dosen killer. Aku sempat bingung karena pertama masuk, beliau duduk hanya diam. Aku sampai berpikir, sebenarnya dosen ini sedang marah atau memang gayanya seperti ini? Dengan tatapan mata yang sinis dan tidak mau menatap mahasiswa,