Oleh Set Wahedi
Jumat
siang, seorang teman ngajak ngopi dengan kalimat renyah dan penuh lelucon. “Kau
pun akan tertawa mendengar cerita yang kualami di Jakarta dalam satu minggu
bulan kemarin,” katanya. Ngopi memang kebiasaan kami, tapi cerita temanku yang
akan membuatku tertawa menjadi alasan utama kami ngopi di sebuah kafe mawah di
Surabaya pada minggu pertama Bulan Maret itu.
Mulanya
cerita teman saya berkisar pada ‘undangan’ salah alamat. Seorang temannya,
begitu dia mengawali cerita lucunya, membutuhkan ‘teman’ untuk ikut sekolah
kader partai. “Mulanya saya menolak,” teman saya menjelaskan duduk
persoalannya. Tetapi temannya yang sudah dua tahun aktif di partai itu,
mengajukan permohonan yang tak bisa ditolak. Jadilah, dia menerima tawaran
untuk ikut ‘kursus’ atau semacam bimbingan politik di Jakarta. “Tajuknya,
Menggagas Peradaban dengan Politisi Muda,” suara teman saya mulai menahan
gelembung. Tapi saya belum menangkap kelucuan dalam ceritanya.
“Lalu,
di mana letak lucunya?” Saya ingin memotong. Tapi teman memberi isyarat pada
saya untuk tidak memotongnya. Jadilah, kalimat pertanyaan saya menggantung di
langit-langit mulut. Selama seminggu di Jakarta, teman saya bertemu banyak
politisi muda. Para politisi muda ini terdiri atas para mantan aktivis di
bidangnya masing-masing, yang memilih berkecimpung di partai politik. Profesi
mereka cukup beragam: anggota DPRD, staff Anggota DPR, staff menteri, pengurus
partai, pengusaha dan lainnya, dan lainnya. Alasan mereka berkecimpung di
politik pun cukup beragam: ingin mengabdi pada rakyat, ingin turut serta
berperan aktif terhadap perubahan bangsa ke arah yang lebih baik, dan lainnya
dan lainnya.
Sampai
teman saya menceritakan beberapa materi yang dilahapnya selama tiga hari bersama
para politisi yang ‘tenar’, saya belum menemukan titik lucu yang dijanjikan.
Menurut saya, cerita teman saya cerita biasa. Persoalan para politisi yang
perlu digembleng dan diberi kiat-kiat berpolitik yang baik, itu wajar. Sebagai
orang baru, mereka kiranya perlu memahami dunia politik sesungguhnya. Kalau di
kampus mereka hanya berkutat dengan teori, di lapangan mereka –mau tidak mau-
harus memahami politik dengan segala perangkat kerasnya: partai, ketua partai,
konstituen dan lainnya dan lainnya.
Sekadar
kilas balik, peran dan fungsi politisi muda menghadirkan harapan bagi gerak
laju bangsa Indonesia bukan barang baru. Dalam bukunya “Di Negeri Penjajah”
(2008), Hary A. Poeze menggambarkan sepakterjang dan lika-liku kaum terpelajar
Indonesia berjuang ‘kemerdekaan’ di negeri Belanda. Yang menarik, gagasan
mereka untuk mengaktifkan diri dalam dunia politik begitu bergairah. Dengan
politik, mereka meyakini adanya perluasan gagasan dan hubungan guna
memerdekakan Indonesia –waktu itu masih dikenal dengan Hindia. Dan yang paling
penting dicatat, sejak awal abad 19 itu, gagasan kemerdekaan tidak timbul dari
kekerasan dan perjuangan dengan senjata.
Kesadaran
politik generasi awal kaum terdidik Indonesia dituangkan dalam koran-koran yang
mereka terbitkan. Artinya, politik –seperti halnya seni- tidak ditentukan oleh
diklat-diklat atau sekolah khusus. Politik akan lahir dan tumbuh-kembang
seiring dengan kesadaran dan kadar intelektual serta gagasan manusia akan
tatanan berbangsa dan bernegara yang lebih baik.
Kesadaran
politik kaum muda untuk menjadikan Indonesia lebih baik dapat kita lihat pada
berbagai rezim: dari rezim penjajahan sampai era reformasi. Dalam berbagai era
itu, kaum terdidik Indonesia memiliki semangat-juang yang tinggi untuk memperjuangkan
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa. Mereka tidak pernah gentar berhadapan
dengan laras senapan. Bahkan di era Orde Baru, para pejuang kebebasan
berpolitik dan kedaultan bangsa rela mengorbankan dirinya (baca: dihilangkan secara
paksa).
Yang
patut digaris bawahi, perjuangan mereka akan datangnya era kebebasan bukan
sekadar untuk mereka. Mereka menginginkan pemerintah membuka hak-hak politik
warga negara yang seluas-luasnya untuk semua kalangan. Mereka menginginkan
negara menempatkan kepentingan bersama di atas segala-galanya. Bukan untuk
segelintir golongan saja. Dalam arti, keberlangsungan dan kesejahteraan bangsa
dan negara bergantung pada kedaulatan rakyat dalam berperan aktif dalam
politik. Tak heran, sejak awal perjuangan, mereka menggemakan politik yang
melibatkan semua elemen bangsa.
Kembali
pada cerita teman saya. Ternyata, kelucuan yang dijanjikan teman saya cukup
‘sublim’. Begini gampangannya. Oke, taruhlah, kursus politisi muda itu
bertujuan untuk melahirkan para politisi yang memiliki kapasitas dan
kapabilitas yang bisa dipertanggungjawabkan. Dengan mereka diberi ‘asupan-gizi’
tentang bagaimana tatanan politik yang ideal, struktur pemerintahan yang baik,
cara komunikasi yang bisa diterima oleh semua golongan, bertemu konstituen dan
lain sebagainya dan lain sebagainya, para politisi muda ini diharapkan mampu
menjadi generasi baru perpolitikan yang lebih baik. Dengan berbagai materi
politik ini, para politisi muda ini mampu menjadi seorang pemimpin, negarawan yang
baik.
“Tapi,”
sejenak teman saya menyeduh kopinya. “Apakah benar letak kebobrokan dunia
politik kita karena kita tidak memiliki para politisi yang handal?” Satu
pembukaan retorika yang mulai menyengat, batin saya. “Lalu ke mana para aktivis
itu pergi?” lanjutnya, sambil mengangkat tangannya sebagai isyarat ‘ada sesuatu
yang aneh dengan negeri ini’.
Kemudian
dia menekankan, di sinilah letak lucunya. Kalau selama ini kita mengedepankan
pendidikan politik terhadap rakyat, sekarang kita mulai merubah arah dan
frustasi. Sebagian para aktivis kita sekarang sibuk menyusun proposal untuk
mendidik dan melatih para politisi. “Padahal kualitas politisi di DPR, bergantung
pada kecerdasan rakyat dalam memilih mereka. Oke, tidak ada salahnya melatih
para politisi muda ini. Lalu bagaimana peran organisasi-organisasi kepemudaan
kita selama ini? Bagaimana peran-peran kampus sebagai dunia candradimuka kaum
intelektual?”
Setelah
nyerocos panjang lebar, teman saya menyulut rokoknya. Dia mengela nafas berat.
“Atau mungkin para aktivis itu, anak-anak muda itu sudah pada lelah untuk
mendidik rakyat dengan organisasi? Mendidik penguasa dengan perlawanan?
Sehingga mereka lebih bangga mendidik para penguasa untuk semakin lihai
memperdayai rakyatnya?”
Sejenak
saya teringat kata-kata Pramoedya Ananta Toer: didiklah rakyat dengan
organisasi, dan didiklah penguasa dengan perlawanan. Tapi, sampai benar-benar
cerita teman saya berakhir, saya tidak tertawa. Saya hanya tersenyum kecil
membayangkan alumni-alumni bimbel politik itu berlaga di panggung politik.
Komentar
Posting Komentar