Teringat
kembali, ketika saya masih usia bermain dulu. Setiap mau bermain, saya dan
teman-teman hampir selalu mengawalinya dengan kalimat hom-pim-pa alaihum gambreng. Tak jarang saya dan teman-teman bermain di bawah terik
matahari. Di tanah lapang yang sangat terik oleh sinar matahari kami bermaian
kelereng. Orang-orang dewasa menonton, dan
sesekali melerai jika kami bertengkar karena berselisih paham. Kemudian, kami berdamai kembali.
Seiring
berlalunya masa kecil saya, permainan itu kini mulai jarang dilakukan oleh
anak-anak jaman sekarang.
Entah mengapa, mereka kini jarang bermain seperi halnya saya dan teman-teman dulu. Saya
merasakan betul perubahan itu, ketika saya masih duduk di bangku SMP. Saya dan teman-teman masih bisa menikmati permainan yang seru
itu. Kini, baru beberapa tahun berselang, saat saya
duduk sebagai mahasiswa, permainan itu
mulai jarang dimainkan.
Dulu,
ketika pulang sekolah, saya dan teman-teman berkumpul untuk bermain kelereng. Kelereng (atau dalam bahasa Madura
disebut leker) mainan kecil berbentuk bulat yang terbuat dari kaca.
Kelereng dapat dimainkan sebagai permainan tradisional, kadang dikoleksi dengan
tujuan nostalgia, terlebih karena warnanya yang estetik. Permainan ini biasanya
dimainkan di tanah. Dalam bermain kelereng,
biasanya kami membuat lingkaran terlebih dahulu, kemudian sejumlah kelereng akan diletakkan di dalam sebuah
lingkaran tersebut.
Setiap
pemain akan berusaha mengeluarkan kelereng itu dari dalam lingkaran tersebut.
Siapa yang berhasil mengeluarkan kelereng dari lingkaran, dia berhak untuk
memilikinya. Selain bentuk lingkaran, kami memainkannya dengan gambar segitiga. Cara bermainannya dengan menggambar segitiga sama
kaki di tanah kemudian masing-masing pemain meletakkan sebuah
kelerengnya di atas gambar segitiga
tersebut. Buah pasangan, namanya kelereng
yang dipertaruhkan. Peserta bergantung pada jumlah pemain. Biasanya paling sedikit tiga pemain dan
paling banyak tidak terbatas. Permainan dimulai dengan cara masing-masing
pemain menggunakan sebuah kelereng sebagai gacoannya lalu melempar buah
pasangan tersebut dari jarak dua atau tiga meter.
Pemainan
dimulai dengan secara bergantian melempar sesuai urutan berdasarkan hasil
undian dengan adu suit jari tangan. Pelemparan
gaco bergantung pada kesepakatan yang dibuat. Pemain melemparkan
gocoaanya dengan cara membidik atau dengan cara
melempar keras dengan tujuan agar kelereng tersebut mengenai buah
pasangan atau agar hasil lemparan mendarat di lapangan permainan terjauh. Jika lemparan tersebut mendarat
dalam lingkaran, pemain itu dianggap mati atau kalah. Kalau mendarat di
samping lingkaran atau mengenai kelereng yang di dalam, pemain itu yang mulai
duluan atau yang mengawali permainan.
Berbagai
taktik untuk menang dilakukan, antara lain jika tidak mau memburu gacoan lawan,
pilihannya adalah menembakkan gacoan ke tempat yang kosong untuk disembunyikan agar tidak dapat
dimatikan oleh lawan main. Pemain yang mampu menghabiskan
buah pasangan terakhir dilanjutkan berburu menembak gacoan lawan. Pemain yang
gacoannya kena tembak, gacoannya mati dan menyerahkan kelerengnya pada pemain yang
berburu. Selesailah permainannya pada game tersebut.
Peraturan
permainan kelereng ini pasti berbeda-beda
di setiap daerah. Dalam permainan ini terdapat banyak manfaat, permainan ini
mengajarkan kejujuran, kecerdasan dan bagaimana caranya memutuskan masalah
karena dalam permainan ini anak bisa berpikir bagaiman cara menghindar dari
lawan agar kelerengnya tidak mati.
Kini,
permainan itu ternyata hampir punah dan jarang saya jumpai. Entahlah, apakah
karena saya yang lalai mewariskan pada anak-anak, atau mereka, anak-anak itu
yang tidak lagi menganggap permainan tersebut tidak cukup menarik. Sebab kini,
anak-anak tersebut, telah mempunyai mainan baru. Yaitu permainan modern, video
game, atau berbagai game berbasis komputer yang telah membuat anak-anak beralih
dari permainan tradisional. Belum lagi saat ini game-game tersebut telah
semakin dekat ke dalam genggaman dan semakin terjangkau, lewat ragam permainan
di layar ponsel.
Mashudi
lahir di Sampang, 4 Agustus 1995. SMA Raudhatul
Amien Ketapang. Mahasiswa angkatan 2014 Program Studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Trunojoyo Madura. Alamat, Desa
bira barat, Ketapang,
Sampang. Aktifitas lain selain menempuh kuliah aktif di UKM-P Teater akar. Kontak: masyudi.mm@gmail.com.
Komentar
Posting Komentar