Langsung ke konten utama

Nostalgia Kelereng

Oleh Mashudi, Ketua Komunitas Teater Akar dan Mahasiswa PBSI 2014 asal Sampang

Teringat kembali, ketika saya masih usia bermain dulu. Setiap mau bermain, saya dan teman-teman hampir selalu mengawalinya dengan kalimat hom-pim-pa alaihum gambreng. Tak jarang saya dan teman-teman bermain di bawah terik matahari. Di tanah lapang yang sangat terik oleh sinar matahari kami bermaian kelereng. Orang-orang dewasa menonton, dan sesekali melerai jika kami bertengkar karena berselisih paham. Kemudian, kami berdamai kembali.

Seiring berlalunya masa kecil saya, permainan itu kini mulai jarang dilakukan oleh anak-anak jaman sekarang. Entah mengapa, mereka kini jarang bermain seperi halnya saya dan teman-teman dulu. Saya merasakan betul perubahan itu, ketika saya masih duduk di bangku SMP. Saya dan teman-teman masih bisa menikmati permainan yang seru itu. Kini, baru beberapa tahun berselang, saat saya duduk sebagai mahasiswa, permainan itu mulai jarang dimainkan.  

Dulu, ketika pulang sekolah, saya dan teman-teman berkumpul untuk bermain kelereng. Kelereng (atau dalam bahasa Madura disebut leker) mainan kecil berbentuk bulat yang terbuat dari kaca. Kelereng dapat dimainkan sebagai permainan tradisional, kadang dikoleksi dengan tujuan nostalgia, terlebih karena warnanya yang estetik. Permainan ini biasanya dimainkan di tanah. Dalam bermain kelereng, biasanya kami membuat lingkaran terlebih dahulu, kemudian sejumlah kelereng akan diletakkan di dalam sebuah lingkaran tersebut.

Setiap pemain akan berusaha mengeluarkan kelereng itu dari dalam lingkaran tersebut. Siapa yang berhasil mengeluarkan kelereng dari lingkaran, dia berhak untuk memilikinya. Selain bentuk lingkaran, kami memainkannya dengan gambar segitiga. Cara bermainannya dengan menggambar segitiga sama kaki di tanah kemudian masing-masing pemain meletakkan sebuah kelerengnya di atas gambar segitiga tersebut. Buah pasangan, namanya kelereng yang dipertaruhkan. Peserta bergantung pada jumlah pemain. Biasanya paling sedikit tiga pemain dan paling banyak tidak terbatas. Permainan dimulai dengan cara masing-masing pemain menggunakan sebuah kelereng sebagai gacoannya lalu melempar buah pasangan tersebut dari jarak dua atau tiga meter.

Pemainan dimulai dengan secara bergantian melempar sesuai urutan berdasarkan hasil undian dengan adu suit jari tangan. Pelemparan gaco bergantung pada kesepakatan yang dibuat. Pemain melemparkan gocoaanya dengan cara membidik atau dengan cara  melempar keras dengan tujuan agar kelereng tersebut mengenai buah pasangan atau agar hasil lemparan mendarat di lapangan permainan terjauh. Jika lemparan tersebut mendarat dalam lingkaran, pemain itu dianggap mati atau kalah. Kalau mendarat di samping lingkaran atau mengenai kelereng yang di dalam, pemain itu yang mulai duluan atau yang mengawali permainan. 

Jika tidak ada yang mengenai buah pasangan, yang mulai bermain adalah gacoannya yang terjauh. Permainan dilakukan secara bergiliran. Pemain harus berusaha menghabiskan buah pasangan di lingkaran pada saat giliran bermain. Ada yang sekali giliran main sudah mampu menghabiskan semua buah pasangan.

Berbagai taktik untuk menang dilakukan, antara lain jika tidak mau memburu gacoan lawan, pilihannya adalah menembakkan gacoan ke tempat yang kosong untuk disembunyikan agar tidak dapat dimatikan oleh lawan main. Pemain yang mampu menghabiskan buah pasangan terakhir dilanjutkan berburu menembak gacoan lawan. Pemain yang gacoannya kena tembak, gacoannya mati dan menyerahkan kelerengnya pada pemain yang berburu. Selesailah permainannya pada game tersebut.

Peraturan  permainan kelereng ini pasti berbeda-beda di setiap daerah. Dalam permainan ini terdapat banyak manfaat, permainan ini mengajarkan kejujuran, kecerdasan dan bagaimana caranya memutuskan masalah karena dalam permainan ini anak bisa berpikir bagaiman cara menghindar dari lawan agar kelerengnya tidak mati.

Kini, permainan itu ternyata hampir punah dan jarang saya jumpai. Entahlah, apakah karena saya yang lalai mewariskan pada anak-anak, atau mereka, anak-anak itu yang tidak lagi menganggap permainan tersebut tidak cukup menarik. Sebab kini, anak-anak tersebut, telah mempunyai mainan baru. Yaitu permainan modern, video game, atau berbagai game berbasis komputer yang telah membuat anak-anak beralih dari permainan tradisional. Belum lagi saat ini game-game tersebut telah semakin dekat ke dalam genggaman dan semakin terjangkau, lewat ragam permainan di layar ponsel.

Mashudi lahir di Sampang, 4 Agustus 1995. SMA Raudhatul Amien Ketapang. Mahasiswa angkatan 2014 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Trunojoyo Madura. Alamat, Desa bira barat, Ketapang, Sampang. Aktifitas lain selain menempuh kuliah aktif di UKM-P Teater akar. Kontak: masyudi.mm@gmail.com.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inilah Ciri Khas Kami: Baca Puisi

Oleh Nahdliya, mahasiswa PBSI 2015 asal Pantura Jawa Helmi Yahya? Begitulah penuturannya saat aku pertama kali mengenalnya. Pertama kali kami berjumpa dan bertatap muka, tepatnya saat aku melewati masa-masa ospek di lingkup Prodi PBSI. Aku sempat heran dan meragukan nama aslinya. Apakah benar seperti itu atau hanya sebagai dalih agar dia tenar di kalangan maba. Oh hanya Tuhan yang tahu mengenai namanya. Dia memperkenalkan diri pada kami sebagai wakil ketua HMP saat itu. Aku sempat berpikir keras, mencoba memahami jabatan yang dipegangnya. Bukan meragukan, tapi lebih ke arah tidak percaya. Setahuku dia konyol, lucu, gokil dan entah apa lagi. Segalayang berbau komedi melekat pada dirinya. Itu yang membuat aku tidak percaya dengan jabatan wakil ketua HMP yang dipegangnya. Di awal pertemuan dengan suasana lingkungan perguruan tinggi, aku lebih memilih acuh tak acuh tentang kak Helmi. Entah dia mau menjadi apaatau menjabat apa. Beberapa hari mengikuti ospek, aku mulai mengerti sisi

Es Lilin Cabbi

Oleh  Kuswanto Ferdian, King Favorit UTM 2016 dan Mahasiswa PBSI 2014 asal Pamekasan Perkenalkan namaku Kuswanto Ferdian. Kalian bisa memanggilku Wawan. Kawan-kawan  di desa memanggilku “Phebeng”. Entahlah apa maksud dari panggilan itu. Aku menerima panggilan itu begitu saja. Aku berasal dari Pulau Garam Madura. Waktu aku masih kanak-kanak , aku sering bermain dengan kawan-kawan d esaku, D esa K olpajung, Pamekasan, Madura. Desaku populer dengan julukan “Kampung Hijau”. Julukan itu diberikan karena desaku sering menjuarai lomba “Adipura Kabupaten” yang diadakan setahun sekali. Selain banyak pohon yang rindang serta daunnya yang hijau, di sepanjang jalan desaku banyak bangunan dengan cat warna hijau. Baik bangunan Sekolah, toko, maupun rumah warga. Alasan itulah yang menjadikan desaku mandapat julukan “Kampung Hijau”. Desaku memiliki beberapa permainan tradisional. Permainan yang paling aku sukai waktu kanak-kanak, permainan “ E s Lilin Cabbi ” . P ermainan ini hampir sam

Pak Anu

O leh Dwi Ajeng Kartini Selama kuliah dua semester -dari semester satu sampai semester dua- baru kali ini aku bertemu dan diajar oleh dosen unik. Dikatakan unik karena cara mengajarnya santai dan mudah dipahami. Cara menyampaikan materi sangatlah berbeda dengan dosen lain yang cenderung membuat tegang. Hehe. Beliau adalah Bapak Salamet Wahedi. Sebelum ‘mengenal’nya, kami sudah mengetahuinya. Beliau adalah dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Desas-desisnya, beliau termasuk dosen killer , tentu aku langsung kaget. Aku takut ketika mendengar, beliau dosen yang killer . Aku takut, beliau di kelas sangat kaku, membosankan, dan tentu -saja bicara dosen killer - pelit nilai. Jujur saja, saat petama melihatnya memang benar terlihat seperti dosen killer. Aku sempat bingung karena pertama masuk, beliau duduk hanya diam. Aku sampai berpikir, sebenarnya dosen ini sedang marah atau memang gayanya seperti ini? Dengan tatapan mata yang sinis dan tidak mau menatap mahasiswa,