Oleh Mochamad Gigih Pebrianto
Rasanya,
malu sekali. Ingin kututup mata agar tak bisa melihat wajah mereka; juga ingin
kubungkam telinga agar tak mendengar suara temanku dan guruku, yang sedang
menertawakanku.
Bolehlah
membuat orang senang, begitu, pikirku pada mulanya. Tapi, hati semakin sakit
rasanya ketika mereka semakin menjadi-jadi.
“Kau
kuliah di Madura?” pertanyaan Soni, memancing tawa Angga, Arif, Dia, Dwi, dan
teman-teman yang hadir dalam acara reunian, siang itu.
Penyebab
bahan lelucon Meduro ini tak lain,
tak bukan, adalah guruku sendiri: Samsul Hadi, S.Pd. Perawakannya guru, tapi
sangat tidak profesional. Seharusnya ia memberikan contoh kepada teman-temanku
untuk saling menghargai, saling menghormati. Tapi malah sebaliknya. Tempat perkuliahanku
yang ada di Madura dijadikan sasaran empuk bahan candaan.
“Benarkah
orang Madura selalu bawa celurit? Hati-hati lho!”
Meledak tawa mereka, aku tenggelam dalam suara-suara itu.
Muak.
Muak terutama pada pak Samsul yang tak berhenti memantik tawa teman-teman
alumni SMK 2014. Sejak acara dimulai, guru itu sudah menyudutkanku dengan
humor-humornya tentang Meduro, tentang
stereotip kasar, peminta-minta, kumuh, kulit hitam, dan apapun yang
dikatakannya saat itu adalah kejelekan tentang orang Madura. Berkali-kali aku
mencoba menjelaskan, berkali-kali pula mereka menyerangku dengan rentetan
pertanyaan.
“Kenapa
kulitmu lebih coklat? Karena kau kuliah di Madura!” tawa itu mengepungku lagi.
Aku hanya membalas dengan senyum seakan itu hanya gurauan –yang sambil lalu
dapat dilupakan.
Tapi
kenyataan hati tak bisa berbohong. Meski mimik wajah berusaha tegar, sikap tak
menunjukkan kejujuran. Aku hanya diam, saat mereka memuji bahasa Jawaku yang
bercampur dialek Madura. Malahan –karena semakin tertarik– mereka bertanya
padaku beberapa kata dalam bahasa Madura. Kusebutkan beberapa yang kumengerti.
Lalu mereka semakin terbahak-bahak, bukan hanya tertawa, lebih kepada menertawakan.
Tapi
semua itu tak lebih memalukan daripada perkataan Pak Sam selanjutnya, saat bercerita
pada teman-teman tentang karakteristik orang Madura. Saat itu aku berharap Pak
Sam menghentikan lelucon rasis, lalu memperbaiki ucapannya.
“Masyarakat
Madura itu,” ia berpikir sejenak, “tidak memiliki sopan santun! Mereka keras!
Sensitif! Kasar!” Kalimat itu rasanya meluncur deras memasuki kepalaku. Tak
percaya bahwa guruku sendiri yang mengatakannya. Hatiku panas! Panas sekali, mendengar
semua kebohongan dari Pak Sam, karena aku, orang Jawa yang berdomisili di
Madura ini, tahu sendiri bagaimana kebaikan dan kearifan penduduk lokal.
Dalam keadaan
terhimpit, tiba-tiba pikiranku melayang ke suatu kejadian. Sore
hari, di Bangkalan, aku terjebak hujan lebat di tengah jalan. Seorang penduduk
lokal memanggilku. Aku tak begitu paham maksudnya karena ia memakai bahasa daerah.
Tapi dari gerak tangannya ia mengisyaratkan agar aku berteduh dalam rumahnya. Aku
bergegas ke sana, lalu kami berbincang banyak hal. Dalam waktu dekat kami
begitu akrab.
Suatu
pagi, di awal semester, aku kebingungan mencari tempat kost, tapi seorang dari
Kamal menunjukkan arah ke perumahan Telang Indah, dan darinya, aku tahu tempat
kost paling murah dengan kondisi sangat layak.
Mengingat
semua itu aku merasa sedih, sedih saat menyadari banyak orang-orang luar, entah temanku, guruku, atau keluargaku, yang
memiliki stereotip buruk tentang Madura. Memahami itu, aku ingin mengatakan
suatu kebenaran. Sehingga, suatu siang dalam acara reuni SMK, aku bangkit dari
rasa maluku. Setelah berjam-jam di-buly
oleh ‘keluarga’ sendiri, kini waktunya untuk bangkit. Aku berdiri di hadapan
mereka, tak kenal malu lagi! Kusadarkan otak-otak stereotip itu, melalui
kata-kataku.
“Mungkin
karena keadaan geografis orang Madura berkulit lebih coklat, karena itu dapat
dijelaskan secara ilmiah, betapa panasnya daerah pesisir. Tapi bukankah
sebagian dari mereka berkulit kuning langsat? Atau mungkin orang Madura memang
bersifat kasar, tapi bukankah tidak semuanya seperti itu? Coba kalian ingat,
apakah seluruh orang di sini
sempurna? Bahkan kita saja ada yang diciptakan untuk berprofesi seperti ini,
bekerja seperti itu, kuliah di sana, kuliah di sini, ada yang tak kuliah, ada
yang bahkan tak sekolah, sadar kalian semua itu?” Semuanya tertegun.
Kuceritakan
pada mereka pengalaman selama satu semester di Madura, tentang kebaikan
penduduk lokal dan kearifannya, juga tentang tokoh-tokoh inspiratif di sekitar.
Maka orang terdekat di kelas yang kusebut adalah Fatur. Darinya aku belajar tentang
hakikat. Dari Fatur pula aku belajar kebijaksanaan seorang pemimpin. Tidak lupa
juga darinya aku belajar rendah hati dan memaknai sebuah konsistensi.
“Kita,
sebagai manusia, jangan takut sama manusia!” satu kalimatnya yang bersinar. Secara
tak sadar kalimat itu kugunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai pedoman.
Dari kalimat itu pula aku belajar untuk tidak takut siapapun. “Ketakutan kita hanya berlaku pada Allah!”
Kurenungkan
kata-kata mutiara itu. Mungkin itulah folosofi hidupnya. Kusimpan erat kalimat
itu, sampai suatu hari, aku bertemu seorang selain Fatur, yang tak kalah hebat
dari temanku itu.
Orang
itu adalah Kak Habibi. Aku tak begitu mengenalnya, juga tidak pernah bertemu
dengannya. Aku hanya tahu kisahnya dari seluruh penghuni kost. Kak Habibi
terkenal cerdas dalam bidang Teknologi Informasi. Ia seorang pekerja keras dan
alim. Saban subuh mengaji di masjid, dan setiap Senin Kamis puasa sunah. Kak
Habibi, yang kuketahui dari cerita, adalah seorang jarang tidur dan lebih
banyak membaca buku. Kabar terbaru darinya adalah kini ia sedang melanjutkan S2
di Belanda.
Mengingat
tokoh inspiratif yang satu itu, aku mengeluarkan sebuah foto untuk kutunjukkan kepada
Pak Sam. Di dalam foto itu terdapat kak Habibi dengan rektor Universitas
Trunojoyo Madura –Pak Arifin waktu itu– sedang meraih penghargaan robot internasional.
Aku bercerita pada Pak Sam, betapa aku mengaggumi sosok pria hitam dan berambut
keriting itu. Mungkin dari segi penampilan kak Habibi tak menarik, tapi
lihatlah, betapa sederhana ia berdiri di samping petinggi universitas.
Pak
Sam yang tiba-tiba saja berubah menjadi pendiam, tanpa sadar mengangguk
keheranan. Tampak wajahnya kagum, takjub, dan perasaan haru mengaduk hatinya.
Dari tatapannya melihat foto itu aku tahu perasaannya. Pak Sam menyadari
kesalahan tentang stereotip Madura. Tentang kejelekan dan keburukan orang
Madura. Tentang rendahnya Sumber Daya Manusia. Dan jelas, tercetak di air mukanya,
sebuah penyesalan telah melanda. Menyesal menertawakan orang Madura.
Maka,
meski acara reunian SMK itu sederhana, banyak pengalaman yang kudapatkan dari
semua. Meski awalnya aku merasa malu disudutkan, juga ditertawakan karena
kuliah di Madura, aku yakin satu hal: Pak Sam lebih malu daripada diriku, saat
beliau menyadari bahwa stereotip Madura,
tentang kekerasan, perasaan sensitif, watak yang kasar, semuanya belum tentu
benar, karena bagiku, sikap seseorang harus dilihat dari sudut pandang
objektif: bagaimana engkau akan tumbuh
dan berkembang, dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Komentar
Posting Komentar