Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2016

Desekkan Kantoran

O leh Sholihatul Badriyah* Ditanya tentang tentang permainan masa kanak-kanak? S aya teringat pada satu peristiwa. Seingatku , peristiwa itu berlangsung sekitar dua belas tahun yang lalu, tepatnya pada sekitar tahun 2002. S aat itu , aku duduk di bangku kelas satu SD (Sekolah Dasar). Kala itu gadget belum terlalu sering digunakan dan mendunia seperti saat ini. Anak-anak tahun 2002 sangat menikmati masa kecilnya dengan proses alamiah . T anpa sentuhan gadget sedikitpun. Ada sebuah permainan kesukaan yang masih saya ingat jelas sampai saat ini : desekkan kantoran . Sebuah permainan tradisional yang dibarengi dengan lagu daerah. Di sana kami bukan hanya bermain , namun juga bernyanyi. L irik lagu desekkan kantoran kurang lebih seperti di bawah ini. Desekkan kantoran, Tekjang tekjing Man Jono mikul kendi Kendine wak Sakera Tak diluk-dilukno Tak dangak-dangakno Tak iring-irigno Kebarus jomplang Lagu itu adalah lagu yang identik dengan Desekkan Kantoran sehin

"Pada Suatu Hari" pada Suatu Catatan (II)

O leh Mochamad Gigih Pebrianto Kenyataan berbicara. Emil dan Habibah hanya menerima kenyataan itu dengan sebal. Saya pun bersorak dalam hati –akhirnya ada orang yang mendukung saya. Tapi, sebagaimana orang yang berusaha bijak, saya kembali memberikan penawaran kepada dua aktor itu: apakah kalian bersedia bertukar peran ? Mereka mengangguk. Masalah selesai. Walaupun ketika usai latihan saya mendengar Habibah menggumam penuh kesal. Saya sedih. Apakah keputusan saya sudah tepat? Apakah saya terlalu gegabah? Saya merasa tak nyaman ketika ada aktor yang “berbicara di belakang”. Sebagai seorang pemimpin, tentu saya merasa bahwa kepemimpinan ini gagal. Sore itu saya tak langsung kembali ke kost. Saya menemani Anggun terlebih dulu, sebab ia tak punya teman tebengan untuk pulang. Saya sendiri tidak bisa mengantar Anggun. Ban motor saya kempes . Sehingga, apa yang dapat saya lakukan selanjutnya, tidak lain hanyalah menunggu Fajar menjemput Anggun. Dan di saat demikian, situasi

Bathuk

O leh Herman Hidayatullah Bathuk! Bathuk! Bathuk! Begitulah teriakan salah seorang yang menandai permainan berakhir dan pergantian yang jaga dan sembunyi. Permainan ini membutuhkan kerja sama antar kelompok untuk bertujuan bersembunyi selama-lamanya dan tidak cepat ditemukan oleh kelompok lainnya. Permainan ‘petak-umpet’ yang dimainkan secara berkelompok bukan perseorangan atau individu menjadikan permainan ini memiliki keunikan tersendiri dibanding permainan lain. Kelompok yang bermain dalam permainan bathuk terdiri atas dua kelompok. Masing-masing jumlah anggota kelompok tidak dibatasi, bergantung pada jumlah orang yang hendak bermain dalam permainan “bathuk” ini. Misalnya, apabila delapan orang yang hendak berman, setiap kelompok beranggotakan empat orang. Sejak kecil aku sering bermain “bathuk” pada waktu malam maupun siang. Dalam permainan “bathuk” itu, aku dan teman-teman berlatih untuk lari secepat-cepatnya serta mengasah kemampuan insting yang kuat untuk

“Pada Suatu Hari” pada Suatu Catatan (I)

O leh Mochamad Gigih Pebrianto* “Anggaplah dirimu sebagai orang yang paling penting dalam sebuah organisasi!” Itulah kalimat yang selalu saya tekankan kepada kelompok Pada Suatu Hari , sebelum persiapan pementasan teater semester empat, beberapa waktu lalu. Saya berusaha melakukan yang terbaik menjadi sutradara, dan sungguh itu merupakan tantangan mahaberat. Bagaimana tidak? Selama dua tahun di UTM sekalipun saya tidak pernah menjadi aktor maupun sutradara, tahu-tahu, seorang teman bernama Fauzi menunjuk saya, menjadi ujung tombak sebuah kelompok teater. Bukan teater biasa, tapi teater Sempat. Artinya, kalau kelompok kami gagal dalam pementasan ini, ancaman nilai C bukan lagi isapan jempol, dan itu menjadi momok bagi setiap mahasiswa. Ujian Tengah Semester (UTS). Karena baru kali pertama menjadi sutradara, saya sulit mengorganisasikan kelompok. Akibatnya, kami jarang latihan. Menjelang UTS, kami kuwalahan. Kami terpaksa hanya latihan dua minggu secara intens,

Perihal Naskah "Realis" Teater Sempat (Bagian I)

O leh Joko Linglung Teater Sempat, begitu kelas Mata Kuliah Seni Teater yang diampu Salamet Wahedi, M.A., itu dinamai . Kelas seni teater terdiri atas tiga kelas yang dibagi menjadi dua kelompok. Yang pertama, kelompok aktor. Kelompok aktor akan mementaskan sembilan naskah realis. Yang kedua, kelompok manajemen. Kelompok ini bertugas menyiapkan, mengatur dan menyusun agenda pementasan. Proses teater sempat bukan sekadar memberikan konsep dan teori tentang teater di atas panggung. Akan tetapi, sinergi antara kelompok aktor dan manajemen diharapkan mampu memberikan satu pengalaman: teater adalah upaya mengemas seni pertunjukan yang menarik dan memasyarakat. Pilihan mementaskan sembilan naskah “ realis ” , bukan tanpa pertimbangan dan pertanyaan. Beberapa orang sempat mencibir, pilihan naskah realis adalah pilihan kolot. Dalam anggapan mereka, naskah realis sudah umum. Bahkan, bermain naskah realis tak jauh beda dengan bermain sinetron. Pertanyaan lainnya yang perlu diren

Ca’licceng

O leh Ulfa Sufiya Rahmah Ca’licceng, nama yang aneh bagi mereka yang bukan orang Madura . Tapi itu sangat menyenangkan bagiku . Y a , mungkin bisa dibilang sudah terlupakan bagi generasi sekarang . Sungguh sangat disayangkan mereka yang tidak mempunyai pengalaman bermain permainan tersebut. Ca’licceng , sejenis permainan Madura yang alatnya menggunakan karet gelang biasa digunakan pada permainan lompat tali. Permainan tradisional ini sangat menyenangkan dan berkesan pada masa kecil. Nama c a’licceng mungkin ber beda di setiap daerah , meski inti permainannya sama. Kenapa p ermainan menyenangkan dibanding permainan lain seperti bhisek, deklen, ter-enter, bejheng, dan lain sebagainya ? P ermaianan ini banyak bergerak dan membutuhkan banyak teman , sehingga permainan ca’licceng tidak sepi dan me nghidup kan suasana. Lalu, b agaimana cara bermain c a’licceng ? Mari kuceritakan. Pertama, kita harus me nyediakan karet gelang . K alau tidak ada karet, boleh menggunakan