Oleh Sholihatul Badriyah*
Ditanya tentang tentang permainan masa
kanak-kanak? Saya
teringat pada satu peristiwa. Seingatku, peristiwa itu
berlangsung sekitar dua belas tahun yang lalu, tepatnya pada sekitar tahun 2002.
Saat
itu,
aku duduk di bangku kelas satu SD (Sekolah Dasar). Kala itu gadget belum terlalu sering digunakan
dan mendunia seperti saat ini. Anak-anak tahun 2002 sangat menikmati masa
kecilnya dengan proses alamiah. Tanpa sentuhan gadget sedikitpun. Ada sebuah permainan
kesukaan yang masih saya ingat jelas sampai saat ini: desekkan kantoran. Sebuah permainan
tradisional yang dibarengi dengan lagu daerah. Di sana kami bukan
hanya bermain, namun juga bernyanyi. Lirik lagu desekkan kantoran kurang lebih seperti
di bawah ini.
Desekkan
kantoran, Tekjang tekjing
Man Jono mikul
kendi
Kendine wak
Sakera
Tak
diluk-dilukno
Tak
dangak-dangakno
Tak
iring-irigno
Kebarus
jomplang
Lagu itu adalah lagu yang identik dengan Desekkan Kantoran sehingga masih melekat
jelas di pikiran saya. Lagu yang bisa membuat seorang anak tertawa, kadang
menangis, sedih, bahkan bisa saja membuat terluka secara bersamaan saat
memainkannya. Setiap lirik lagu Desekkan
Kantoran memiliki makna sendiri-sendiri.
Pada saat lirik “Desekkan kantoran, Tekjang tekjing. Man Jono mikul kendi. Kendine wak
Sakera” dinyanyikan maka kami akan bersama-sama mengayunkan badan ke
samping kanan dan kiri. Lalu pada saat lirik “Tak diluk-dilukno” yang artinya saya tunduk-tundukkan maka kami
akan bersama-sama menundukkan kepala dan badan ke bawah secara serentak. Saat
lirik “Tak dangak-dangakno” yang
artinya saya tengadahkan maka kami akan menengadahkan kepala ke atas semuanya.
Ketika lirik “Tak iring-irigno” yang
artinya saya miring-miringkan maka kami akan memiringkan badan ke kanan atau ke
kiri bersama-sama dan yang terakhir
pada saat lirik “Kebarus jomplang”
diucapkan maka kami akan menjatuhkan badan ke belakang tetapi bersama-sama
menahannya agar tidak jatuh. Gerakan ini hampir mirip seperti Teletubis yang
memegangi punggungnya hingga perutnya terangkat keatas.
Saya masih ingat betul ketika dulu bermain bersama
teman-teman. Pada saat itu teman bermain saya kalau tidak salah bernama Mbak
Fifi, Mbak Yuli, Mbak Lia, Dedek, Mas Ahim, dan Hafid. Tujuh orang yang terdiri
dari kombinasi perempuan dan laki-laki. Mula-mula kami bersama-sama duduk di
kursi panjang atau duduk di teras rumah warga jika tidak ada kursi panjang,
yang penting kita semua bisa duduk secara bersamaan. Teras rumah warga memang
terbilang cukup besar untuk ditempati beberapa orang.
Awalnya kami berpegangan tangan dari ujung ke
ujung yang lain sambil menyanyikan lagu bersama-sama. Biasanya kami
menyenandungkan lirik lagu Desekkan
Kantoran dengan suara lantang
sekali. Bahkan tidak jarang kita malah
dimarahi oleh tetangga yang punya rumah karena terlalu keras suara kita ketika
bernyanyi dan bermain. Setelah dimarahi kami akan menyenandungkan lagu itu
pelan-pelan sampai orangnya berhenti memarahi dan tak terlehat dari mata kami.
Setelah kami meMastikan tetangga yang marah-marah itu sudah tidak ada, biasanya
kami akan mengulangi lagu itu dengan suara yang lantang lagi. Apalagi Mas Ahim
yang terkenal bandel biasanya paling keras dalam bernyanyi.
Saat aku bermain besama tujuh anak itu hatiku
sangat bahagia, apalagi pada saat menyanyikan lirik “Kebarus jomplang” teman saya yang bernama Mas Ahim mendorong Hafid
ke belakang dengan sikutnya, dan akhirnya Hafid yang terpental hingga terjatuh
ke belakang. Alhasil diapun menangis karena kepalanya yang terbentur, untungnya
saja tidak berdarah.Kejadian itu dilakukan secara tidak sengaja. Pada saat itu
juga Mas Ahim langsung disalahkan dan merasa sangat ketakutan. Kalau sudah
begitu permainan biasanya akan berakhir dan kami semua pulang kerumah masing-masing.
Dalam permainan Desekkan Kantoran, ketika ada salah satu seorang teman yang
menangis, maka yang berbuat salah akan langsung disoraki dan ditepuki dengan
menyanyikan sebuah lagu, lagu tersebut adalah seperti ini:
Hayo..... (menyebut nama
teman yang bersalah) : Hayo
Areke nanges :
Anaknya menangis
Metu jenggote :
Keluar jenggotnya
Tak
jabut-jabutane :
Saya tarik-tarikkan
Dengan disoraki seperti itu bersama-sama, anak
yang berbuat salah akan merasa bersalah dengan sendirinya. Pastinya si anak
yang berbuat salah akan malu sendiri dan akan meminta maaf kepada teman yang
disakiti.
Entah siapa yang pertama kali menciptakan
permainan seperti ini, tidak ada yang mengetahui asalnya dari mana. Permainan
ini sangat sederhana sekali, tetapi anak-anak di daerah tempat tinggalku akan
diajari tetang banyak hal. Tentang kebersamaan dan saling menjaga satu sama
lain agar tidak terluka. Jika ada seorang teman yang bermain dengan tidak benar
atau menyakiti, maka anak itu akan disoraki dan dikucilkan hingga meminta maaf
. Secara tidak langsung permainan ini akan mengajari seorang anak untuk
memahami kesalahmnya, meminta maaf, dan saling memaafkan.
Permainan
Desekkan Kantoran pada saat ini sudah
jarang dimainkan oleh anak-anak kecil. Anak-anak kecil pada saat ini lebih
tertarik dan sering menggunakan permainan yang ada di dalam gadget yang sifatnya lebih
individualisme. Saat ini, saya benar-benar rindu akan masa bermain yang seperti
dulu. Saya berharap akan ada permainan lagi seperti masa kecil saya dahulu di
waktu-waktu zaman seperti ini. Setidaknya meskipun saya tidak bisa memainkannya
sendiri, ada adik-adik atau keponakan saya yang akan memainkannya. Harapan
terbesarnya adalah permainan Desekkan
Kantoran tidak akan pernah kalah dengan kecanggihan gadget agar permainan tradisional Nusantara tetap lestari.
*Sholihatul Badriyah, Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FIP, Universitas Trunojoyo Madura.
Komentar
Posting Komentar