Langsung ke konten utama

Ca’licceng

Oleh Ulfa Sufiya Rahmah

Ca’licceng, nama yang aneh bagi mereka yang bukan orang Madura. Tapi itu sangat menyenangkan bagiku. Ya, mungkin bisa dibilang sudah terlupakan bagi generasi sekarang. Sungguh sangat disayangkan mereka yang tidak mempunyai pengalaman bermain permainan tersebut.

Ca’licceng, sejenis permainan Madura yang alatnya menggunakan karet gelang biasa digunakan pada permainan lompat tali. Permainan tradisional ini sangat menyenangkan dan berkesan pada masa kecil. Nama ca’licceng mungkin berbeda di setiap daerah, meski inti permainannya sama. Kenapa permainan menyenangkan dibanding permainan lain seperti bhisek, deklen, ter-enter, bejheng, dan lain sebagainya? Permaianan ini banyak bergerak dan membutuhkan banyak teman, sehingga permainan ca’licceng tidak sepi dan menghidupkan suasana.

Lalu, bagaimana cara bermain ca’licceng? Mari kuceritakan. Pertama, kita harus menyediakan karet gelang. Kalau tidak ada karet, boleh menggunakan tali. Sebab, permainan ini hanya mengandalkan banyaknya pemain, bukan alat yang digunakan. Setelah karet gelang siap, rangkailah menjadi suatu sambungan yang cukup panjang sehingga para pemain bisa leluasa. Cara menyambungkan karet gelang tersebut yaitu seperti saat pengajaran pramuka dulu, menyimpulkan antara karet yang satu dan karet lainnya. Setelah semua sudah terangkai cukup panjang sampai semua yang bermain dapat leluasa memainkannya nanti, selanjutnya pemain bersiap bermain dengan hom-pim-pa terlebih dahulu. Siapa yang menang, akan memainkan permainan ca’licceng terlebih dahulu.

Dulu, teman yang sering menemaniku bermain cukup banyak, dari teman TK yang satu kelas, hingga teman SD; semuanya pada bergabung tanpa mengenal lelah. Permainan dikatakan berakhir apabila sudah tersisa dua orang pemain yang menang dan semua kalah. Pemain yang kalah harus bergantian memegang tali karet yang dibuat tadi. Permainan ini cukup membutuhkan banyak pemain, karena apabila bermain hanya dua orang saja atau tiga orang tidak seru dan kurang ramai, sehingga permainan akan terasa membosankan. Dari ramainya permainan ini akan menghasilkan tawa yang menyenangkan. Tawa bersama itulah yang menjadi penanda ingatan kami sampai tua kelak.

Kembali pada cara memainkannya. Karet yang sudah dirangkai diletakkan pada lantai atau tanah. Semua pemain yang menang hom-pim-pa meloncati tali itu, hingga semua selesai. Pemain yang mulanya berada di sebelah kanan akan berpindah ke sebelah kiri. Kedua, ujung karet dipegang dan ditarik lurus dengan lutut orang yang memegang karet, kemudian semua pemain mulai meloncati lagi. Yang semula di sebelah kiri akan berpindah ke sebelah kanan kembali. Apabila semua sudah meloncat, karet akan diangkat kembali. Ketiga, apabila semua sudah meloncat, karet akan dinaikkan lebih tinggi yaitu dengan setara dengan pinggang orang yang memegang karet. Para pemain akan meloncat kembali berpindah posisi dari sebelumnya. Keempat, karet akan semakin tinggi lagi setara dengan pundak orang yang memegang karet. Lagi-lagi pemain meloncat dan berpindah posisi. Ini cukup dan banyak ditakuti oleh pemain, karena pada sesi ini, karet akan ditinggikan setinggi-tingginya (dalam bahasa madura yaitu eonjhuk, melebihi orang yang memegang, sehingga pemain akan sulit meloncatinya. Perlu diingat pada setiap sesi permainan ca’licceng, pemain tidak boleh menyentuh karet yang dirangkai. Entah itu mnyentuh pada saat ingin meloncat atau pada saat pemain meloncati karet, sehingga pemain yang ragu dalam meloncat akan dikatakan gugur dalam permainan dan tidak boleh bermain kembali seperti semula. Peraturan yang tidak membolehkan menyentuh adalah kesepakatan antarpemain. Yang melanggar hanya bisa melihat saja sampai selesai permainan di sesi pertama dan yang boleh memegang karet hanyalah pemain yang kalah pada saat hom-pim-pa.

Permaianan ca’licceng ini membutuhkan tenaga cukup banyak karena sering bergerak dan meloncat setinggi-tingginya. Peraturan yang tidak membolehkan menyentuh tali karet, memaksa pemain harus meloncat tinggi pada sesi karet ditinggikan setinggi-tingginya. Apabila tidak mempunyai energi yang banyak, pemain tidak akan berhasil melakukan lompatan. Karena itu, permainan tidak akan seru dan ramai. Karena teriakan-teriakan pemain yang lain tidak mencapai klimaksnya.

Permainan ini sangat digemari banyak kalangan. Bukan hanya anak-anak, akan tetapi remaja dan orang dewasa juga ikut bermain. Permainan ini dapat bisa mengerakkan tubuh seperti melakukan olahraga. Akan tetapi pada umumnya permainan tersebut banyak digemari oleh anak-anak.

Permainan ini tidak hanya mengajarkan cara melompat yang tinggi dan mempunyai energi banyak. Yang paling penting permainan ini megajarkan solidaritas dan menghargai teman. Bukti solidaritas ini dapat dilihat pada saat seorang pemain sudah waktu meloncat (Madura: ngocol), pemain yang lain akan memberi semangat pada teman yang sedang meloncat. Dengan demikian, pemain yang meloncat akan lebih bersemangat untuk menyelesaikan permainan tersebut.

Yang paling aku ingat akan permainan ini, saat dimarahi oleh orang-orang sekitar yang melihat. Mereka menganggap bahwa anak-anak yang bermain hanya menganggu. Teriakan yang dihasilkan menimbulkan gema di setiap rumah. Akan tetapi pengalaman tersebut sudah tidak saya dapatkan sekarang. Teman-teman yang sering bermain bersamaku dulu, mereka sudah sulit untuk ditemui. Mereka sudah pada sibuk dengan aktivitas masing-masing.

Itulah sedikit pengalamanku yang cukup konyol, tetapi sangat menyenangkan. Yang tidak kalah pentingnya, permainan masa kecil itu tidak semua orang pernah memainkannya. Hanya pada masa kecil permainan itu bisa dimainkan. Salam untuk kenangan manis masa kecilku.

Ulfa Sufiya Rahmah lahir di Pamekasan 02 Juli 1996. Alumni MAN Pamekasan, angkatan 2014 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FIP, Universitas Trunojoyo, Madura. Email: ulfasr38@gmail.com. IG: ulfa_sufiya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inilah Ciri Khas Kami: Baca Puisi

Oleh Nahdliya, mahasiswa PBSI 2015 asal Pantura Jawa Helmi Yahya? Begitulah penuturannya saat aku pertama kali mengenalnya. Pertama kali kami berjumpa dan bertatap muka, tepatnya saat aku melewati masa-masa ospek di lingkup Prodi PBSI. Aku sempat heran dan meragukan nama aslinya. Apakah benar seperti itu atau hanya sebagai dalih agar dia tenar di kalangan maba. Oh hanya Tuhan yang tahu mengenai namanya. Dia memperkenalkan diri pada kami sebagai wakil ketua HMP saat itu. Aku sempat berpikir keras, mencoba memahami jabatan yang dipegangnya. Bukan meragukan, tapi lebih ke arah tidak percaya. Setahuku dia konyol, lucu, gokil dan entah apa lagi. Segalayang berbau komedi melekat pada dirinya. Itu yang membuat aku tidak percaya dengan jabatan wakil ketua HMP yang dipegangnya. Di awal pertemuan dengan suasana lingkungan perguruan tinggi, aku lebih memilih acuh tak acuh tentang kak Helmi. Entah dia mau menjadi apaatau menjabat apa. Beberapa hari mengikuti ospek, aku mulai mengerti sisi

Es Lilin Cabbi

Oleh  Kuswanto Ferdian, King Favorit UTM 2016 dan Mahasiswa PBSI 2014 asal Pamekasan Perkenalkan namaku Kuswanto Ferdian. Kalian bisa memanggilku Wawan. Kawan-kawan  di desa memanggilku “Phebeng”. Entahlah apa maksud dari panggilan itu. Aku menerima panggilan itu begitu saja. Aku berasal dari Pulau Garam Madura. Waktu aku masih kanak-kanak , aku sering bermain dengan kawan-kawan d esaku, D esa K olpajung, Pamekasan, Madura. Desaku populer dengan julukan “Kampung Hijau”. Julukan itu diberikan karena desaku sering menjuarai lomba “Adipura Kabupaten” yang diadakan setahun sekali. Selain banyak pohon yang rindang serta daunnya yang hijau, di sepanjang jalan desaku banyak bangunan dengan cat warna hijau. Baik bangunan Sekolah, toko, maupun rumah warga. Alasan itulah yang menjadikan desaku mandapat julukan “Kampung Hijau”. Desaku memiliki beberapa permainan tradisional. Permainan yang paling aku sukai waktu kanak-kanak, permainan “ E s Lilin Cabbi ” . P ermainan ini hampir sam

Pak Anu

O leh Dwi Ajeng Kartini Selama kuliah dua semester -dari semester satu sampai semester dua- baru kali ini aku bertemu dan diajar oleh dosen unik. Dikatakan unik karena cara mengajarnya santai dan mudah dipahami. Cara menyampaikan materi sangatlah berbeda dengan dosen lain yang cenderung membuat tegang. Hehe. Beliau adalah Bapak Salamet Wahedi. Sebelum ‘mengenal’nya, kami sudah mengetahuinya. Beliau adalah dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Desas-desisnya, beliau termasuk dosen killer , tentu aku langsung kaget. Aku takut ketika mendengar, beliau dosen yang killer . Aku takut, beliau di kelas sangat kaku, membosankan, dan tentu -saja bicara dosen killer - pelit nilai. Jujur saja, saat petama melihatnya memang benar terlihat seperti dosen killer. Aku sempat bingung karena pertama masuk, beliau duduk hanya diam. Aku sampai berpikir, sebenarnya dosen ini sedang marah atau memang gayanya seperti ini? Dengan tatapan mata yang sinis dan tidak mau menatap mahasiswa,