Langsung ke konten utama

Bathuk

Oleh Herman Hidayatullah

Bathuk!
Bathuk!
Bathuk!

Begitulah teriakan salah seorang yang menandai permainan berakhir dan pergantian yang jaga dan sembunyi. Permainan ini membutuhkan kerja sama antar kelompok untuk bertujuan bersembunyi selama-lamanya dan tidak cepat ditemukan oleh kelompok lainnya.

Permainan ‘petak-umpet’ yang dimainkan secara berkelompok bukan perseorangan atau individu menjadikan permainan ini memiliki keunikan tersendiri dibanding permainan lain. Kelompok yang bermain dalam permainan bathuk terdiri atas dua kelompok. Masing-masing jumlah anggota kelompok tidak dibatasi, bergantung pada jumlah orang yang hendak bermain dalam permainan “bathuk” ini. Misalnya, apabila delapan orang yang hendak berman, setiap kelompok beranggotakan empat orang.

Sejak kecil aku sering bermain “bathuk” pada waktu malam maupun siang. Dalam permainan “bathuk” itu, aku dan teman-teman berlatih untuk lari secepat-cepatnya serta mengasah kemampuan insting yang kuat untuk mencari kelompok lawan yang sedang bersembunyi. Kami juga belajar bekerja-sama antaranggota masing-masing kelompok untuk menciptakan kesepakatan bersama yang telah ditetapkan dan menghormati pendapat orang lain oleh masing-masing kelompok untuk mencari tempat persembunyian yang aman.

Saat memainkan permainan ini, perasaanku bercampur-aduk. Perasaan senang, kecewa, marah, bahagia semuanya menjadi satu. Semuanya bercampur-baur dalam hati yang abstrak atau tidak terlihat. Hanya bisa dirasa bagi yang merasakan. Aku bermain “bathuk” bersama teman-temanku yang masih kecil dan terlampau jauh dari usiaku sendiri. Mereka masih duduk di bangku sekolah dasar. Salah seorang pemain adalah adikku sendiri, dan keenam lainnya adik sepupuku yang kuanggap sebagai keluarga sendiri atau adikku sendiri.

Bermain dengan anak-anak yang usianya terlampau jauh dariku membuat perasaanku menjadi kacau balau. Meski begitu, aku berusaha cuek. Tidak memperhatikan orang lain di sekitarku, yang melihatku dengan wajah heran karena bermain dengan anak-anak bukan teman sebaya. Mungkin di dalam pikiran orang lain, aku seperti anak-anak. Hanya fisiknya saja aku terlihat sudah besar, tapi di dalam hati dan tingkah lakunya seperti anak-anak.

Aku bermain dengan anak-anak di bawahku bukan tanpa alasan. Aku tidak bisa bermain dengan teman-teman sebayaku, karena mereka pada sibuk mengurusi pekerjaannya. Sebagian teman-temanku sudah pada bekerja. Aku dan teman-temanku bermain “bathuk” pada suasana gelap dan cuaca dingin malam hari. Sayangnya, seiring perkembangan zaman permainan ini sudah tidak terlihat dan tidak dimainkan lagi. Anak-anak zaman sekarang lebih senang memainkan permainan yang menggunakan alat canggih, semisal “stick”. Stick itu memperlihatkan “panah” arah atas, bawah, kiri dan kanan untuk menggerakkan permainan atau berjalan. Atau stick itu memuat gambar seperti segitiga, kotak, lingkaran, silang. Stick tersebut berfungsi untuk melakukan gerakan tubuh tertentu seperti memukul, mengoper, dan sebagainya.

Kembali ke permainan “bathuk”. Nama permainan “bathuk” terdengar aneh. Nama ini sering dihubungkan dengan istilah batuk atau sakit yang menyebabkan tenggorokan tidak nyaman, terasa gatal dan mulut mulut mengeluarkan suara serak basah. “Bathuk” dan batuk dibedakan oleh huruf “h”. Tapi kami kadang memplesetkan kata “bathuk” dengan ekspresi seperti orang yang sedang batuk.

Aku dan temanku bermain dengan semangat bermain “bathuk” yang terbagi dua kelompok. Masing-masing kelompok memiliki empat anggota dan berjuang menjadi kelompok terbaik dalam sebuah permainan. Bermain di malam hari tidak menjadi alasan untuk bermain permainan tradisional yang ada di daerahku.

Masing-masing anggota dalam sebuah kelompok memiliki tugas masing-masing. Yang satu untuk memberikan kode kepada kelompok lainnya yang bertugas untuk mencari kelompok yang bersembunyi. Dan tiga temannya untuk bersembunyi di tempat yang sudah ditentukan oleh kelompoknya.

Aku tergabung bersama dengan kelompok yang berisikan pemain berpengalaman. Aku menjadi ketua kelompok. Karena itu, aku harus mempunyai rasa tanggung jawab memimpin kelompokku. Kelompokku beranggotan empat orang, yaitu Faris (adikku), Kakak Ami (sepupuku, yang sudah hampir lulus kuliah) Fais (adik sepupuku) dan aku sendiri. Semua anggota kelompok memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Kelompok yang menjadi lawan kami juga berisikan pemain-pemain yang juga berpengalaman. Semua anggota kelompok sudah pada tahu seluk-beluk permainan ini. Jadi, lawan kami, lawan yang hebat. Tentunya lawan yang berat dalam permainan ini. Kelompok lawan kami terdiri atas Ridwan (teman adikku yang pada saat itu duduk di kelas enam sekolah dasar dan menjadi ketua kelompok), Subhan (adik sepupuku yang duduk di kelas sembilan sekolah menengah pertama), Badros (adik Ridwan yang masih duduk di kelas tiga sekolah dasar) dan Jailani (adik sepupuku yang sama dengan Badros masih duduk di kelas tiga sekolah dasar). Meski beranggotakan para pemain kecil-kecil, kelompok Ridwan memiliki kelihaian dalam berlari dan piawai dalam bersembunyi, sehingga kelompok ini menjadi sangat sulit untuk ditemukan dan dikalahkan.

Sebelum permainan dimulai, masing-masing ketua kelompok melakukan “suit”. Yang menang akan menjadi kelompok pertama yang bersembunyi. Sebagai ketua kelompok, aku bersiap melakukan “suit”. Aku memejamkan mata sejenak, jari apa yang akan aku gunakan untuk memenangkan “suit” ini? Aku terus memejamkan mata. Setelah yakin dengan pilihanku, aku mengeluarkan jari “suitanku”. Ternyata hasilnya sama. Aku “suit” dengan jari telunjuk dan Ridwan juga mengeluarkan jari telunjuk. Kami melakukan “suit” ulang. Aku kembali memulihkan rasa percaya diri. Sesuai dugaanku, aku berhasil memenangkan “suit” ini. Aku tetap mengeluarkan jari telunjuk dan Ridwan mengeluarkan jari klingking. Jari telunjuk bermakna orang dan jari klingking bermakna semut. Dalam adu “suit”, jari telunjuk menang atas jari klingking. Dengan kalimat lain, orang menginjak semut.

Keberhasilanku memenangkan suit disambut bahagia oleh anggota kelompokku. Mereka berhak bersembunyi lebih dulu, sedangkan anggota kelompok Ridwan dipenuhi bercak kecewa. Mereka akan bertugas menjadi kelompok jaga atau kelompok yang bertugas mencari.

Kelompokku berkumpul sejenak untuk menentukan tempat persembunyian yang aman. Setelah berembuk, kami setuju dengan pendapat Kakak Ami. Dia menemukan sebuah tempat aman untuk persembunyian kami. Aku yang menjadi ketua kelompok tetap berdiri tegak ke depan menghadap pada kelompok Ridwan yang bertugas mencari kelompokku. Aku yang masih berdiri tegak melihat kelompok Ridwan dari arah yang jauh, untuk memberikan kode kepada kelompok Ridwan sebagai tanda permainan dimulai serta menjaga takut ada kecurangan yang dilakukan kelompok Ridwan yaitu jarak yang sudah ditentukan dilanggar oleh anggota kelompok lawan.

Tiga anggota kelompokku sudah melakukan perjalanan menuju ke tempat yang sudah ditentukan. Aku yang melihat ke arah anggota kelompokku yang sudah tidak terlihat, menuju ke tempat persembunyian yang gelap. Aku bersiap-siap untuk berlari sekencang mungkin agar tidak langsung tidak terlihat oleh kelompok Ridwan.

Aku bersiap-siap mengeluarkan kata kode dan mengambil ancang-ancang untuk berlari. Dengan penuh semangat, aku berteriak, “Bathukkk”. Permainan dimulai. Setelah mengeluarkan kode itu, aku berlari sekencang-kencangnya.

Dengan nafas terengah-engah dan denyut jantung yang berdebar-debar, aku sampai ke tempat persembunyian. Di tempat persembuyian, aku disambut oleh anggota kelompokku. Tempat persembuyian berupa ruang gelap di belakang rumah yang berdekatan dengan sebuah pohon yang menjulang tinggi.

Diam tanpa suara mengiringi persembunyian kelompok kami., agar tidak cepat ketahuan dan sebisa mungkin bersembunyi lebih lama. Dengan demikian, kelompok yang bertugas mencari menjadi frustasi. Anggota kelompok yang menjadi lawan kami tengah sibuk mencari. Anehnya meski salah satu anggota kelompok lawan berada di area tempat persembunyian, mereka belum berhasil menemukan kami di dekat pohon.

Setelah bosan bersembunyi dan tak kunjung ditemukan oleh kelompok Ridwan -kurang lebih tiga puluh menit kami bersembunyi- kelompok kami keluar dengan satu persatu, agar nanti saat bermain lagi besoknya bisa ditempati lagi. Kami keluar dengan diam-diam, berjalan di lorong rumah dan keluar perlahan untuk menyerahkan diri.

Bathuk! Kata itu dikeluarkan oleh anggota kelompok lawan menandakan kami sudah ditemukan dan permainan sudah berakhir bagi kami. Setalah larut malam, permainan dihentikan dan pemenangnya kelompokku. Itu kami raih dengan hanya bersembunyi satu putaran saja. Masing-masing anggota kelompok akhirnya pulang ke rumah masing-masing agar tidak terlambat untuk bersahur, karena kami bermain “bathuk” pada saat bulan puasa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inilah Ciri Khas Kami: Baca Puisi

Oleh Nahdliya, mahasiswa PBSI 2015 asal Pantura Jawa Helmi Yahya? Begitulah penuturannya saat aku pertama kali mengenalnya. Pertama kali kami berjumpa dan bertatap muka, tepatnya saat aku melewati masa-masa ospek di lingkup Prodi PBSI. Aku sempat heran dan meragukan nama aslinya. Apakah benar seperti itu atau hanya sebagai dalih agar dia tenar di kalangan maba. Oh hanya Tuhan yang tahu mengenai namanya. Dia memperkenalkan diri pada kami sebagai wakil ketua HMP saat itu. Aku sempat berpikir keras, mencoba memahami jabatan yang dipegangnya. Bukan meragukan, tapi lebih ke arah tidak percaya. Setahuku dia konyol, lucu, gokil dan entah apa lagi. Segalayang berbau komedi melekat pada dirinya. Itu yang membuat aku tidak percaya dengan jabatan wakil ketua HMP yang dipegangnya. Di awal pertemuan dengan suasana lingkungan perguruan tinggi, aku lebih memilih acuh tak acuh tentang kak Helmi. Entah dia mau menjadi apaatau menjabat apa. Beberapa hari mengikuti ospek, aku mulai mengerti sisi

Doa untuk Nenek

O leh Mafruratul Hasanah Kaummudapergerakan.com 19 Maret 2015. Kamis sore. Tibalah aku di pamekasan dari tempat perantauanku. Kedatanganku disambut penuh keceriaan oleh semua ponakanku, yang kusebut para kurcaci. Seperti biasa kutemui nenek tersayangku yang terbaring ditempat tidur dari lima tahun lalu. Kucium tangannya sambil mengucapkan salam. Beliau hanya tersenyum melihat kedatanganku. Tak biasanya nenekku seperti itu. Kuajak berbincang-bincang, ternyata aku baru sadar nenekku tuli dan tak mengenaliku. Kukeraskan suaraku. Kujelaskan siapa diriku dengan menetaskan air mata. Aku tak tega melihatnya. Setelah kukeraskan, dia menyapaku dengan berkata, "Sampeyan pasèra?" Serasa asing kalimat itu bagiku. Tak biasanya beliau menggunakan bahasa halus padaku. Aku menjawab sambil tersenyum. Menjawab semua yang beliau tanyakan. Beliau terus menggunakan bahasa halus padaku seperti kami baru kenal. Tapi beliau paham siapa saya. Beliau sempat menanyakan uang jatah bul

Es Lilin Cabbi

Oleh  Kuswanto Ferdian, King Favorit UTM 2016 dan Mahasiswa PBSI 2014 asal Pamekasan Perkenalkan namaku Kuswanto Ferdian. Kalian bisa memanggilku Wawan. Kawan-kawan  di desa memanggilku “Phebeng”. Entahlah apa maksud dari panggilan itu. Aku menerima panggilan itu begitu saja. Aku berasal dari Pulau Garam Madura. Waktu aku masih kanak-kanak , aku sering bermain dengan kawan-kawan d esaku, D esa K olpajung, Pamekasan, Madura. Desaku populer dengan julukan “Kampung Hijau”. Julukan itu diberikan karena desaku sering menjuarai lomba “Adipura Kabupaten” yang diadakan setahun sekali. Selain banyak pohon yang rindang serta daunnya yang hijau, di sepanjang jalan desaku banyak bangunan dengan cat warna hijau. Baik bangunan Sekolah, toko, maupun rumah warga. Alasan itulah yang menjadikan desaku mandapat julukan “Kampung Hijau”. Desaku memiliki beberapa permainan tradisional. Permainan yang paling aku sukai waktu kanak-kanak, permainan “ E s Lilin Cabbi ” . P ermainan ini hampir sam