Langsung ke konten utama

Perihal Naskah "Realis" Teater Sempat (Bagian I)

Oleh Joko Linglung

Teater Sempat, begitu kelas Mata Kuliah Seni Teater yang diampu Salamet Wahedi, M.A., itu dinamai. Kelas seni teater terdiri atas tiga kelas yang dibagi menjadi dua kelompok. Yang pertama, kelompok aktor. Kelompok aktor akan mementaskan sembilan naskah realis. Yang kedua, kelompok manajemen. Kelompok ini bertugas menyiapkan, mengatur dan menyusun agenda pementasan. Proses teater sempat bukan sekadar memberikan konsep dan teori tentang teater di atas panggung. Akan tetapi, sinergi antara kelompok aktor dan manajemen diharapkan mampu memberikan satu pengalaman: teater adalah upaya mengemas seni pertunjukan yang menarik dan memasyarakat.

Pilihan mementaskan sembilan naskah realis, bukan tanpa pertimbangan dan pertanyaan. Beberapa orang sempat mencibir, pilihan naskah realis adalah pilihan kolot. Dalam anggapan mereka, naskah realis sudah umum. Bahkan, bermain naskah realis tak jauh beda dengan bermain sinetron. Pertanyaan lainnya yang perlu direnungkan tentang pilihan naskah realias bukan sekadar mundur. Akan tetapi menjadi satu pilihan takut untuk menjadi bagian dari atmosfer teater ‘absurd’ gerakan-gerakan tubuh.

Atas beberapa pertanyaan itulah, kiranya perlu dikemukakan beberapa pertimbangan untuk menjadi pengantar pada ruang-ruang diskusi dan horison harapan penonton. Pertama, Ruang Apresiasi. Naskah drama -dibanding puisi, cerpen, novel- dapat dibilang minim apresiasi. Kita mungkin terbiasa menonton pembacaan puisi, cerpen atau nukilan novel. Akan tetapi, kita jarang menemukan pembacaan naskah drama (dramatic reading). Meski di kota-kota tertentu, dramatic reading merupakan jalan alternatif untuk memahami naskah drama, di Madura dramatic reading seolah ruang baru.

Dramatic reading sejatinya merupakan "jalan" untuk mengecek tentang kadar struktur naskah drama sebelum dipentaskan. Tapi kesadaran ini belum sepenuhnya dipahami dan diterima oleh generasi teater dewasa ini (sebagian besar generasi baru teater (di) Madura). Karena pertimbangan ini pula, pementasan sembilan naskah realis ini berlangsung dua tahap. Tahap pertama, dramatic reading. Dramatic reading yang dilaksanakan sebagai bahan Ujian Tengah Semester (UTS) ini, selain untuk memahami struktur naskah secara terikat, juga ingin mengenalkan mahasiswa pada para dramawan kita. Seperti kita tahu, meski kelompok teater yang kita miliki begitu menggembirakan, pilihan naskah mereka terbatas. Akibatnya, generasi baru teater (di) Madura kurang mengenal para penulis lakon dan karya-karya mereka. Kedua, pentas total. Pada pentas total ini, kelompok aktor dan manajemen benar-benar bekerja keras untuk menyukseskan pementasan sembilan naskah. Yang perlu digarisbawahi dalam kesuksesan di sini tidak terletak pada seberapa banyak penonton. Kesuksesan dalam pementasan Teater Sempat ditekankan pada upaya untuk melakukan apresiasi seluas-luasnya. Kalau selama ini apreasiasi pementasan hanya pada ruang dan waktu pentas saja, Teater Sempat dituntut melakukan apresiasi dari pra-pementasan sampai pasca-pementasan. Apresiasi itu dapat berupa penyebaran pamflet, brosur, stand karcis, dan diskusi pertunjukan. Dari sini, tim manajemen dituntut untuk mengemas dan memperkenalkan pementasan semenarik-menariknya.

Kedua, Ruang Dialog Ingatan dan Pengalaman. Berteater bukanlah satu perjalanan biasa. Teater seperti dihayati para penikmatnya, selalu dibayangkan sebagai proses kesenian yang komplek. Dalam teater, puisi, cerpen, novel, musik, tari dan pencahayaan lebur dalam satu garis waktu dan ruang pertunjukan. Karena kompleksitas itulah, teater membutuhkan satu komitmen dan totalitas aktor (dan sutradara) untuk memasukinya. Kompleksitas teater semakin terang-benderang manakala dihadapkan dengan naskah realis. Seperti kita ketahui, naskah realis menuntut pada penguasaan, pemahaman konsep-konsep realis secara detail. Persoalan sosial, psikologi, tata panggung, struktur narasi, ekspresi tubuh, jalin-kelindan musik dan lanskap cahaya benar-benar menjadi serakan semiotik yang harus dirangkum. Pada ranah semacam ini, pilihan naskah realis pada mata kuliah seni teater dapat diterjemahkan sebagai upaya untuk menciptakan satu peristiwa seni yang berangkat dari ingatan dan pengalaman pelakunya.

Pengalaman dan ingatan aktor menjadi "kata kunci" untuk menghafal, memproyeksikan dan menyajikan pertunjukan sebagai peristiwa bersama. Selain itu, naskah realis juga menuntut kecermatan dalam bermain tempo, mengolah moment, feeling atau intuisi dalam berinteraksi dan kepekaan dalam menguasai, membuka dan menutup ruang. Singkatnya, pilihan naskah realias dapat dimaksudkan untuk menggali sekaligus menciptakan ingatan dan pengalaman bersama pada peristiwa yang bernilai estetika.

Ketiga, Ruang Kegelisahan di Arena Bermain. Teater mula-mula adalah satu peristiwa keseharian. Lalu kita mengangkutnya ke atas panggung dengan upaya menampilkan sisi-sisi yang mengandung estetika dan makna. Dalam upaya menangkap dan menampilkan peristiwa dan sisi yang indah, aktor dituntut untuk melakukan eksplorasi tafsir dan akting. Aktor dengan segala ingatan, pengalaman dan kemampuannya akan mencari bentuk-bentuk yang dirasanya indah. Dengan demikian, aktor akan berusaha untuk meniru, mencocokkan rasa dan mematangkan tafsirnya dalam tindakan.

Upaya-upaya mencari bentuk keindahan dalam arena bermain ini tidak dapat dilepaskan dari kegelisahan aktor itu sendiri. Aktor sebagai individu sekaligus bagian dari masyarakat dalam melakukan tafsir terhadap naskah, sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Bahkan, kegelisahan aktor menjadi kunci utama naskah diaktualisasikan. Artinya, pilihan untuk mementaskan naskah tidak terlepas dari suara yang menggerung-gerung dalam diri aktor.

*Joko Linglung, penikmat teater, tinggal di Bangkalan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inilah Ciri Khas Kami: Baca Puisi

Oleh Nahdliya, mahasiswa PBSI 2015 asal Pantura Jawa Helmi Yahya? Begitulah penuturannya saat aku pertama kali mengenalnya. Pertama kali kami berjumpa dan bertatap muka, tepatnya saat aku melewati masa-masa ospek di lingkup Prodi PBSI. Aku sempat heran dan meragukan nama aslinya. Apakah benar seperti itu atau hanya sebagai dalih agar dia tenar di kalangan maba. Oh hanya Tuhan yang tahu mengenai namanya. Dia memperkenalkan diri pada kami sebagai wakil ketua HMP saat itu. Aku sempat berpikir keras, mencoba memahami jabatan yang dipegangnya. Bukan meragukan, tapi lebih ke arah tidak percaya. Setahuku dia konyol, lucu, gokil dan entah apa lagi. Segalayang berbau komedi melekat pada dirinya. Itu yang membuat aku tidak percaya dengan jabatan wakil ketua HMP yang dipegangnya. Di awal pertemuan dengan suasana lingkungan perguruan tinggi, aku lebih memilih acuh tak acuh tentang kak Helmi. Entah dia mau menjadi apaatau menjabat apa. Beberapa hari mengikuti ospek, aku mulai mengerti sisi

Es Lilin Cabbi

Oleh  Kuswanto Ferdian, King Favorit UTM 2016 dan Mahasiswa PBSI 2014 asal Pamekasan Perkenalkan namaku Kuswanto Ferdian. Kalian bisa memanggilku Wawan. Kawan-kawan  di desa memanggilku “Phebeng”. Entahlah apa maksud dari panggilan itu. Aku menerima panggilan itu begitu saja. Aku berasal dari Pulau Garam Madura. Waktu aku masih kanak-kanak , aku sering bermain dengan kawan-kawan d esaku, D esa K olpajung, Pamekasan, Madura. Desaku populer dengan julukan “Kampung Hijau”. Julukan itu diberikan karena desaku sering menjuarai lomba “Adipura Kabupaten” yang diadakan setahun sekali. Selain banyak pohon yang rindang serta daunnya yang hijau, di sepanjang jalan desaku banyak bangunan dengan cat warna hijau. Baik bangunan Sekolah, toko, maupun rumah warga. Alasan itulah yang menjadikan desaku mandapat julukan “Kampung Hijau”. Desaku memiliki beberapa permainan tradisional. Permainan yang paling aku sukai waktu kanak-kanak, permainan “ E s Lilin Cabbi ” . P ermainan ini hampir sam

Pak Anu

O leh Dwi Ajeng Kartini Selama kuliah dua semester -dari semester satu sampai semester dua- baru kali ini aku bertemu dan diajar oleh dosen unik. Dikatakan unik karena cara mengajarnya santai dan mudah dipahami. Cara menyampaikan materi sangatlah berbeda dengan dosen lain yang cenderung membuat tegang. Hehe. Beliau adalah Bapak Salamet Wahedi. Sebelum ‘mengenal’nya, kami sudah mengetahuinya. Beliau adalah dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Desas-desisnya, beliau termasuk dosen killer , tentu aku langsung kaget. Aku takut ketika mendengar, beliau dosen yang killer . Aku takut, beliau di kelas sangat kaku, membosankan, dan tentu -saja bicara dosen killer - pelit nilai. Jujur saja, saat petama melihatnya memang benar terlihat seperti dosen killer. Aku sempat bingung karena pertama masuk, beliau duduk hanya diam. Aku sampai berpikir, sebenarnya dosen ini sedang marah atau memang gayanya seperti ini? Dengan tatapan mata yang sinis dan tidak mau menatap mahasiswa,