Langsung ke konten utama

"Pada Suatu Hari" pada Suatu Catatan (II)

Oleh Mochamad Gigih Pebrianto

Kenyataan berbicara. Emil dan Habibah hanya menerima kenyataan itu dengan sebal. Saya pun bersorak dalam hati –akhirnya ada orang yang mendukung saya. Tapi, sebagaimana orang yang berusaha bijak, saya kembali memberikan penawaran kepada dua aktor itu: apakah kalian bersedia bertukar peran? Mereka mengangguk. Masalah selesai. Walaupun ketika usai latihan saya mendengar Habibah menggumam penuh kesal.

Saya sedih. Apakah keputusan saya sudah tepat? Apakah saya terlalu gegabah? Saya merasa tak nyaman ketika ada aktor yang “berbicara di belakang”. Sebagai seorang pemimpin, tentu saya merasa bahwa kepemimpinan ini gagal.

Sore itu saya tak langsung kembali ke kost. Saya menemani Anggun terlebih dulu, sebab ia tak punya teman tebengan untuk pulang. Saya sendiri tidak bisa mengantar Anggun. Ban motor saya kempes. Sehingga, apa yang dapat saya lakukan selanjutnya, tidak lain hanyalah menunggu Fajar menjemput Anggun. Dan di saat demikian, situasi menjadi benar-benar sunyi. Sepi.

Saya tipikal orang pemalu. Sulit bagi saya memulai pembicaraan. Apalagi ditambah situasi konflik yang baru saja terjadi antara saya dengan para aktor. Maka bisa dibayangkan bagaimana senyapnya situasi yang terjadi antara saya dan Anggun. Kami sama sekali tak berkomunikasi. Tapi sebelum terjadi kebosanan akut, Anggun berinisiatif membuka percakapan.

“Senyum sedikit kenapa, Ge? Kok enggak ada bahagiannya sama sekali,” Anggun tertawa. Tapi entah kenapa saya tak memiliki minat bercanda sekalipun. Ada semacam pergolakan batin yang masih saya rasakan. Dan di saat Anggun sedang mencoba bercanda itulah, dengan penuh keluguan saya mengangkat wajah. Mengatakan dengan polos, tanpa mempertimbangkan dampak perkataan sendiri. Saya bilang, “Aku merasa enggak pantas jadi sutradara”.

“Kok bilang gitu?” ungkapnya terkejut. Situasi yang awalnya berniat bercanda berubah menjadi serius. Tiba-tiba saya merasa sangat menyesal mengatakan hal serupa. Tapi, apa salahnya? Saya mengatakannya dengan jujur. Dan di sana, hanya ada Anggun yang mengetahui kegelisahan saya. Jika aktor-aktor lain tahu akan hal ini, keadaan akan jauh lebih fatal.

“Seharusnya,” kata Anggun, “sebagai seorang sutradara itu kamu harus memotivasi, jangan mudah menyerah!”

Tak mampu lagi saya berkata-kata. Antara sedih, semangat, dan kesal. Saya hanya mengangkat ujung bibir sekian senti, demi menandakan bahwa saya masih bisa tersenyum. Dalam keadaan demikian, Fajar akhirnya datang menjemput. Anggun nebeng Fajar. Dan saya, pelan-pelan pulang menelusuri jalanan bersama Semox –nama motor saya.

Keesokan harinya kami tetap menjalankan latihan rutin. Konflik yang terjadi di hari-hari sebelumnya telah mengajari kami, bagaimana arti saling menghargai. Mungkin inilah yang terpenting dalam suatu organisasi. Ibarat rantai: satu mata terputus, maka rantai itu sendiri akan terlepas.

Begitupun organisasi kecil ini. Atau mungkin, boleh saya katakan kelompok Seni Teater ini. Ibarat satu anggota tak kompak di dalamnya, maka rencana untuk mewujudkan visi kelompok itu akan sirna. Konflik yang terjadi pada kelompok ini pun mengajari saya banyak hal, sehingga saya memutus sumber permasalahan dengan kalimat: mulai hari ini kelompok Pada Suatu Hari akan bersatu, kompak baik dalam latihan maupun pentas.

Saya tanamkan kekompakkan, salah satu caranya melalui buka bersama. Alhamdulillah semuanya ikut. Walaupun ada anggota yang tidak biasa makan setelah Magrib –yakni berbuka puasa setelah solat Isyak– ia tetap hadir dalam acara Bukber ini, demi sikap saling menghormati.

Hubungan mulai membaik ditambah kesadaran para aktor, yang selama ini sering tidak ikut latihan. Secara tidak langsung mereka meminta maaf kepada saya, yakni dengan membuat Personal Message, “Yakin tidak akan mengecewakan pak Sutradara”.

O, hati saya melambung. Ucapan maaf secara tidak langsung itu, ternyata, justru lebih manis dari permintaan maaf seperti biasanya. Atau mungkin saya yang terlalu lebay memaknai arti kata minta maaf.

Yang terpenting, di sisa hari-hari selanjutnya kami latihan secara intens. Dengan formasi lengkap, kami berusaha membangun keluarga –yang setidaknya harus bertahan hingga pementasan ini berakhir.

Kami latihan, dengan sabar. Di siang hari, kami hanya berlatih intonasi dan pendalaman karakter masing-masing. Di malam hari, kami latihan penuh. Full. Meskipun ada sebagian gerakan yang belum dimengerti oleh Habibah dan Anggun, kami mencoba memecahkan masalah itu bersama.

Sebagai seorang sutradara demokrasi, tentunya saya tak membatasi kreativitas mereka yang jauh lebih profesional. Ketika ada anggota yang menawarkan suatu ide, kalau ide itu bagus, maka saya terima. Alhasil, situasi persahabatan dan kekeluargaan pun mulai merasuk dalam kelompok kecil ini.

Setelah menjalani masa-masa yang bercampur aduk dengan emosi, pada akhirnya hari pementasan telah tiba. Malam hari aktor dirias, make-up bersama. Dan saya, sebagai sutradara memanfaatkan kesempatan untuk ikut membantu tata letak panggung. Saya juga berdiskusi dengan lighting –yang pada akhirnya saya menyerahkan semua ihwal pencahayaan itu kepada Hendriyanti, karena ia lebih paham lighting daripada saya. Sisanya? Saya membantu menyiapkan properti yang kiranya belum ada. Yakni, minuman es susu dan jeruk hangat. Saya membelinya di warung Lamongan –nama sebuah tempat, bukan letak sebuah tempat.

Teng....
Pementasan dimulai dengan dimainkannya proyektor. Telah muncul gambar-gambar kenangan kakek dan nenek. Dari usia muda hingga tua. Ilustrasi itu mencerminkan cinta yang dalam antara dua insan. Sebagaimana naskah ini berisi kisah cinta tentang kakek-nenek yang romantis.

Tapi di tengah-tengah bagian, mereka kedatangan tamu. Adalah seorang mantan pacar Kakek, bernama Nyonya Wenas. Dengan karakternya yang genit, Nyonya Wenas menggoda Kakek, membuat Nenek gelisah dan cemburu. Akibatnya, pada bagian tertentu si Nenek mengatakan ingin bercerai dari Kakek.

Dan perceraian itu tidak dilangsungkan, sebab mereka sadar ketika menyaksikan putrinya sendiri, yang bernama Novia ingin bercerai dengan suami. Mereka sadar bahwa cerai, bukanlah jalan yang suci.

Pementasan ditutup dengan tepuk tangan riuh dari penonton. Tujuh menit. Saya takjub mendapati antusiasme penonton. Saya berdoa, semoga keberhasilan pementasan ini akan berdampak baik pada nilai kami, amin.

Adakah kisah menarik dibalik keberhasilan pementasan ini? Ada. Yakni ketika pementasan tengah berlangsung, Habibah merasa sangat grogi. Saya cemas ketika ia berkata kepada saya: “Aduh, aku takut. Aku lupa semua naskahnya.”

Seketika itu saya sungguh panik. Apakah ini kesalahan saya sebagai seorang sutradara? Apakah keputusan menukar peran menjadi sebuah kesalahan? Saya berusaha tenang dan mengatakan all is well. Segalanya akan berjalan dengan baik. Saya katakan kalimat itu kepada Habibah, lalu saya memberinya sedikit suntikan motivasi seperti ini.

“Tenang, Habibah. Jangan takut. Ini hanyalah pementasan kecil. Oke, sekarang, jadilah dirimu sendiri. Perankan karakter Novia sebagaimana kamu bisa. Aku tidak lagi membatasi gerak ruangmu. Coba buat dirimu senyaman mungkin. Anggap aku tak pernah mengomentari peranmu. Anggap pak Set Wahedi tidak pernah memberi materi terkait teori dan praktik. Coba ekspresikan karakter Novia, sebisa kamu!”

Habibah yang semula dengan ekspresi ketakutan, mengubah wajahnya menjadi lebih agak tenang. Hingga pada waktunya ia melangkah memasuki panggung. Dan sebagaimana kita tahu, ia sebenarnya bukanlah aktor yang mudah diremehkan. Apalagi untuk berperan sebagai orang yang memendam konflik batin sekalipun, Habibah adalah nama pertama yang saya rekomendasikan kepada sutradara lainnya, apabila mereka membutuhkan aktor untuk bermain drama bertema nestapa. Habibah adalah aktor sedih yang sebenarnya. Bahkan ada satu kalimat yang membuat saya terpingkal-pingkal usai pementasan.

Eh, Habibah tadi nangis beneran lho!” ucap Fajar di belakang panggung. Membuat kami tertawa hingga perut mulas.

Tak disangka, justru panjangnya proses yang memakan waktu lama. Yang di dalamnya terdapat konflik batin antar-aktor, maupun antara sutradara dan aktor. Justru menjadi cerita yang asyik untuk dikenang. Kami tertawa, seolah menertawakan keegoisan kami di masa-masa silam. Dan itu menjadi semacam anekdot tersendiri bagi kelompok kami, sebab pada hari-hari berikutnya, ketika para aktor bertanya kepada saya:

“Pak Sut, kapan latihan lagi?”
Maka saya menjawabnya dengan enteng.
“Maaf, kontrak kita sudah habis. Saya bukan sutradara lagi, dan kamu bukan aktor”.
Kami tertawa, terpingkal-pingkal.

*Mochamad Gigih Pebrianto, mahasiswa Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, FIP, UTM.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inilah Ciri Khas Kami: Baca Puisi

Oleh Nahdliya, mahasiswa PBSI 2015 asal Pantura Jawa Helmi Yahya? Begitulah penuturannya saat aku pertama kali mengenalnya. Pertama kali kami berjumpa dan bertatap muka, tepatnya saat aku melewati masa-masa ospek di lingkup Prodi PBSI. Aku sempat heran dan meragukan nama aslinya. Apakah benar seperti itu atau hanya sebagai dalih agar dia tenar di kalangan maba. Oh hanya Tuhan yang tahu mengenai namanya. Dia memperkenalkan diri pada kami sebagai wakil ketua HMP saat itu. Aku sempat berpikir keras, mencoba memahami jabatan yang dipegangnya. Bukan meragukan, tapi lebih ke arah tidak percaya. Setahuku dia konyol, lucu, gokil dan entah apa lagi. Segalayang berbau komedi melekat pada dirinya. Itu yang membuat aku tidak percaya dengan jabatan wakil ketua HMP yang dipegangnya. Di awal pertemuan dengan suasana lingkungan perguruan tinggi, aku lebih memilih acuh tak acuh tentang kak Helmi. Entah dia mau menjadi apaatau menjabat apa. Beberapa hari mengikuti ospek, aku mulai mengerti sisi

Es Lilin Cabbi

Oleh  Kuswanto Ferdian, King Favorit UTM 2016 dan Mahasiswa PBSI 2014 asal Pamekasan Perkenalkan namaku Kuswanto Ferdian. Kalian bisa memanggilku Wawan. Kawan-kawan  di desa memanggilku “Phebeng”. Entahlah apa maksud dari panggilan itu. Aku menerima panggilan itu begitu saja. Aku berasal dari Pulau Garam Madura. Waktu aku masih kanak-kanak , aku sering bermain dengan kawan-kawan d esaku, D esa K olpajung, Pamekasan, Madura. Desaku populer dengan julukan “Kampung Hijau”. Julukan itu diberikan karena desaku sering menjuarai lomba “Adipura Kabupaten” yang diadakan setahun sekali. Selain banyak pohon yang rindang serta daunnya yang hijau, di sepanjang jalan desaku banyak bangunan dengan cat warna hijau. Baik bangunan Sekolah, toko, maupun rumah warga. Alasan itulah yang menjadikan desaku mandapat julukan “Kampung Hijau”. Desaku memiliki beberapa permainan tradisional. Permainan yang paling aku sukai waktu kanak-kanak, permainan “ E s Lilin Cabbi ” . P ermainan ini hampir sam

Pak Anu

O leh Dwi Ajeng Kartini Selama kuliah dua semester -dari semester satu sampai semester dua- baru kali ini aku bertemu dan diajar oleh dosen unik. Dikatakan unik karena cara mengajarnya santai dan mudah dipahami. Cara menyampaikan materi sangatlah berbeda dengan dosen lain yang cenderung membuat tegang. Hehe. Beliau adalah Bapak Salamet Wahedi. Sebelum ‘mengenal’nya, kami sudah mengetahuinya. Beliau adalah dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Desas-desisnya, beliau termasuk dosen killer , tentu aku langsung kaget. Aku takut ketika mendengar, beliau dosen yang killer . Aku takut, beliau di kelas sangat kaku, membosankan, dan tentu -saja bicara dosen killer - pelit nilai. Jujur saja, saat petama melihatnya memang benar terlihat seperti dosen killer. Aku sempat bingung karena pertama masuk, beliau duduk hanya diam. Aku sampai berpikir, sebenarnya dosen ini sedang marah atau memang gayanya seperti ini? Dengan tatapan mata yang sinis dan tidak mau menatap mahasiswa,