Oleh
Mochamad Gigih Pebrianto
Kenyataan
berbicara. Emil dan Habibah hanya menerima kenyataan itu dengan sebal. Saya pun
bersorak dalam hati –akhirnya ada orang yang mendukung saya. Tapi, sebagaimana
orang yang berusaha bijak, saya kembali memberikan penawaran kepada dua aktor
itu: apakah kalian bersedia bertukar
peran? Mereka mengangguk. Masalah selesai. Walaupun ketika usai latihan
saya mendengar Habibah menggumam penuh kesal.
Saya
sedih. Apakah keputusan saya sudah tepat?
Apakah saya terlalu gegabah? Saya merasa tak nyaman ketika ada aktor yang “berbicara
di belakang”. Sebagai seorang pemimpin, tentu saya merasa bahwa kepemimpinan
ini gagal.
Sore
itu saya tak langsung kembali ke kost. Saya menemani Anggun terlebih dulu, sebab
ia tak punya teman tebengan untuk
pulang. Saya sendiri tidak bisa mengantar Anggun. Ban motor saya kempes. Sehingga, apa yang dapat saya
lakukan selanjutnya, tidak lain hanyalah menunggu Fajar menjemput Anggun. Dan
di saat demikian, situasi menjadi benar-benar sunyi. Sepi.
Saya
tipikal orang pemalu. Sulit bagi saya memulai pembicaraan. Apalagi ditambah
situasi konflik yang baru saja terjadi antara saya dengan para aktor. Maka bisa
dibayangkan bagaimana senyapnya situasi yang terjadi antara saya dan Anggun.
Kami sama sekali tak berkomunikasi. Tapi sebelum terjadi kebosanan akut, Anggun
berinisiatif membuka percakapan.
“Senyum
sedikit kenapa, Ge? Kok enggak ada
bahagiannya sama sekali,” Anggun tertawa. Tapi entah kenapa saya tak memiliki
minat bercanda sekalipun. Ada semacam pergolakan batin yang masih saya rasakan.
Dan di saat Anggun sedang mencoba bercanda itulah, dengan penuh keluguan saya
mengangkat wajah. Mengatakan dengan polos, tanpa mempertimbangkan dampak
perkataan sendiri. Saya bilang, “Aku merasa enggak
pantas jadi sutradara”.
“Kok
bilang gitu?” ungkapnya terkejut.
Situasi yang awalnya berniat bercanda berubah menjadi serius. Tiba-tiba saya merasa
sangat menyesal mengatakan hal serupa. Tapi, apa salahnya? Saya mengatakannya
dengan jujur. Dan di sana, hanya ada Anggun yang mengetahui kegelisahan saya.
Jika aktor-aktor lain tahu akan hal ini, keadaan akan jauh lebih fatal.
“Seharusnya,”
kata Anggun, “sebagai seorang sutradara itu kamu harus memotivasi, jangan mudah
menyerah!”
Tak
mampu lagi saya berkata-kata. Antara sedih, semangat, dan kesal. Saya hanya
mengangkat ujung bibir sekian senti, demi menandakan bahwa saya masih bisa
tersenyum. Dalam keadaan demikian, Fajar akhirnya datang menjemput. Anggun nebeng Fajar. Dan saya, pelan-pelan
pulang menelusuri jalanan bersama Semox –nama
motor saya.
Keesokan
harinya kami tetap menjalankan latihan rutin. Konflik yang terjadi di hari-hari
sebelumnya telah mengajari kami, bagaimana arti saling menghargai. Mungkin
inilah yang terpenting dalam suatu organisasi. Ibarat rantai: satu mata
terputus, maka rantai itu sendiri akan terlepas.
Begitupun
organisasi kecil ini. Atau mungkin, boleh saya katakan kelompok Seni Teater
ini. Ibarat satu anggota tak kompak di dalamnya, maka rencana untuk mewujudkan
visi kelompok itu akan sirna. Konflik yang terjadi pada kelompok ini pun
mengajari saya banyak hal, sehingga saya memutus sumber permasalahan dengan
kalimat: mulai hari ini kelompok Pada
Suatu Hari akan bersatu, kompak baik dalam latihan maupun pentas.
Saya
tanamkan kekompakkan, salah satu caranya melalui buka bersama. Alhamdulillah semuanya ikut. Walaupun
ada anggota yang tidak biasa makan setelah Magrib –yakni berbuka puasa setelah
solat Isyak– ia tetap hadir dalam acara Bukber ini, demi sikap saling
menghormati.
Hubungan
mulai membaik ditambah kesadaran para aktor, yang selama ini sering tidak ikut
latihan. Secara tidak langsung mereka meminta maaf kepada saya, yakni dengan
membuat Personal Message, “Yakin
tidak akan mengecewakan pak Sutradara”.
O, hati saya melambung.
Ucapan maaf secara tidak langsung itu, ternyata, justru lebih manis dari
permintaan maaf seperti biasanya. Atau mungkin saya yang terlalu lebay memaknai arti kata minta maaf.
Yang
terpenting, di sisa hari-hari selanjutnya kami latihan secara intens. Dengan
formasi lengkap, kami berusaha membangun keluarga –yang setidaknya harus
bertahan hingga pementasan ini berakhir.
Kami
latihan, dengan sabar. Di siang hari, kami hanya berlatih intonasi dan
pendalaman karakter masing-masing. Di malam hari, kami latihan penuh. Full. Meskipun ada sebagian gerakan yang
belum dimengerti oleh Habibah dan Anggun, kami mencoba memecahkan masalah itu
bersama.
Sebagai
seorang sutradara demokrasi, tentunya saya tak membatasi kreativitas mereka
yang jauh lebih profesional. Ketika ada anggota yang menawarkan suatu ide,
kalau ide itu bagus, maka saya terima. Alhasil, situasi persahabatan dan
kekeluargaan pun mulai merasuk dalam kelompok kecil ini.
Setelah
menjalani masa-masa yang bercampur aduk dengan emosi, pada akhirnya hari
pementasan telah tiba. Malam hari aktor dirias, make-up bersama. Dan saya, sebagai sutradara memanfaatkan
kesempatan untuk ikut membantu tata letak panggung. Saya juga berdiskusi dengan
lighting –yang pada akhirnya saya
menyerahkan semua ihwal pencahayaan itu kepada Hendriyanti, karena ia lebih
paham lighting daripada saya.
Sisanya? Saya membantu menyiapkan properti yang kiranya belum ada. Yakni,
minuman es susu dan jeruk hangat. Saya membelinya di warung Lamongan –nama
sebuah tempat, bukan letak sebuah tempat.
Teng....
Pementasan
dimulai dengan dimainkannya proyektor. Telah muncul gambar-gambar kenangan kakek
dan nenek. Dari usia muda hingga tua. Ilustrasi itu mencerminkan cinta yang
dalam antara dua insan. Sebagaimana naskah ini berisi kisah cinta tentang kakek-nenek
yang romantis.
Tapi
di tengah-tengah bagian, mereka kedatangan tamu. Adalah seorang mantan pacar
Kakek, bernama Nyonya Wenas. Dengan karakternya yang genit, Nyonya Wenas menggoda
Kakek, membuat Nenek gelisah dan cemburu. Akibatnya, pada bagian tertentu si
Nenek mengatakan ingin bercerai dari Kakek.
Dan
perceraian itu tidak dilangsungkan, sebab mereka sadar ketika menyaksikan putrinya
sendiri, yang bernama Novia ingin bercerai dengan suami. Mereka sadar bahwa
cerai, bukanlah jalan yang suci.
Pementasan
ditutup dengan tepuk tangan riuh dari penonton. Tujuh menit. Saya takjub mendapati antusiasme penonton. Saya berdoa,
semoga keberhasilan pementasan ini akan berdampak baik pada nilai kami, amin.
Adakah kisah menarik dibalik keberhasilan pementasan ini?
Ada. Yakni ketika pementasan tengah berlangsung, Habibah merasa sangat grogi.
Saya cemas ketika ia berkata kepada saya: “Aduh, aku takut. Aku lupa semua naskahnya.”
Seketika
itu saya sungguh panik. Apakah ini kesalahan saya sebagai seorang sutradara?
Apakah keputusan menukar peran menjadi sebuah kesalahan? Saya berusaha tenang
dan mengatakan all is well. Segalanya
akan berjalan dengan baik. Saya katakan kalimat itu kepada Habibah, lalu saya
memberinya sedikit suntikan motivasi seperti ini.
“Tenang,
Habibah. Jangan takut. Ini hanyalah pementasan kecil. Oke, sekarang, jadilah dirimu sendiri. Perankan karakter Novia sebagaimana
kamu bisa. Aku tidak lagi membatasi gerak ruangmu. Coba buat dirimu senyaman
mungkin. Anggap aku tak pernah mengomentari peranmu. Anggap pak Set Wahedi
tidak pernah memberi materi terkait teori dan praktik. Coba ekspresikan
karakter Novia, sebisa kamu!”
Habibah
yang semula dengan ekspresi ketakutan, mengubah wajahnya menjadi lebih agak
tenang. Hingga pada waktunya ia melangkah memasuki panggung. Dan sebagaimana
kita tahu, ia sebenarnya bukanlah aktor yang mudah diremehkan. Apalagi untuk
berperan sebagai orang yang memendam konflik batin sekalipun, Habibah adalah
nama pertama yang saya rekomendasikan kepada sutradara lainnya, apabila mereka
membutuhkan aktor untuk bermain drama bertema nestapa. Habibah adalah aktor
sedih yang sebenarnya. Bahkan ada satu kalimat yang membuat saya
terpingkal-pingkal usai pementasan.
“Eh, Habibah tadi nangis beneran lho!” ucap Fajar di belakang panggung.
Membuat kami tertawa hingga perut mulas.
Tak
disangka, justru panjangnya proses yang memakan waktu lama. Yang di dalamnya terdapat
konflik batin antar-aktor, maupun antara sutradara dan aktor. Justru menjadi
cerita yang asyik untuk dikenang. Kami tertawa, seolah menertawakan keegoisan
kami di masa-masa silam. Dan itu menjadi semacam anekdot tersendiri bagi
kelompok kami, sebab pada hari-hari berikutnya, ketika para aktor bertanya
kepada saya:
“Pak
Sut, kapan latihan lagi?”
Maka
saya menjawabnya dengan enteng.
“Maaf,
kontrak kita sudah habis. Saya bukan sutradara lagi, dan kamu bukan aktor”.
Kami
tertawa, terpingkal-pingkal.
Komentar
Posting Komentar