Oleh Mochamad Gigih Pebrianto*
“Anggaplah dirimu sebagai orang yang paling penting dalam
sebuah organisasi!”
Itulah
kalimat yang selalu saya tekankan kepada kelompok Pada Suatu Hari, sebelum persiapan pementasan teater semester
empat, beberapa waktu lalu.
Saya
berusaha melakukan yang terbaik menjadi sutradara, dan sungguh itu merupakan tantangan
mahaberat. Bagaimana tidak? Selama dua tahun di UTM sekalipun saya tidak pernah
menjadi aktor maupun sutradara, tahu-tahu, seorang teman bernama Fauzi menunjuk
saya, menjadi ujung tombak sebuah kelompok teater.
Bukan
teater biasa, tapi teater Sempat. Artinya, kalau kelompok kami gagal dalam
pementasan ini, ancaman nilai C bukan lagi isapan jempol, dan itu menjadi momok
bagi setiap mahasiswa.
Ujian Tengah Semester (UTS). Karena
baru kali pertama menjadi sutradara, saya sulit mengorganisasikan kelompok. Akibatnya,
kami jarang latihan. Menjelang UTS, kami kuwalahan.
Kami terpaksa hanya latihan dua minggu secara intens, dua kali sehari.
Siang
hari, kami gunakan untuk latihan vokal dan memahami isi naskah. Malam hari, kami
latihan peran dan tata panggung. Begitu, berjalan terus hingga dua minggu itu
usai. Dan satu hal yang membuat kami tak percaya, yakni saat pementasan UTS
tiba, penonton menyambut dengan penuh antusias. Beberapa di antara mereka
bahkan berkata: “Pementasannya keren!”
Kalimat
itu bukan saja sebuah pujian, tapi juga membuat hati saya melambung. Saya pun optimis
untuk persiapan UAS ke depan!
Tapi,
semangat optimis itu kian hancur kala menjelang bulan Mei. Bulan ini menjadi masa-masa
kritis bagi kelompok kami. Selama tiga minggu Adelia (aktor Janda Genit) tidak
bisa ikut latihan. Alasannya: ada acara
keluarga yang tak dapat ditunda. Dalam waktu yang bersamaan, Fajar (aktor
Kakek) sibuk dengan tugas Leksikografi.
Di akhir bulan Mei, Emil (aktor Nita) sakit sehingga tak bisa ikut latihan. Ria
Harnum (aktor Fera) terpaksa pulang untuk menjenguk ibunya yang juga sakit.
Saya
pusing. Saya bingung bagaimana menghadapi para aktor ini. Saya hanya pasrah dan
mengatakan Ya, hingga hari mendekati
UAS.
Ujian Tengah Semester (UAS).
Dua minggu sebelum UAS. Rencananya, saya kembali menerapkan prinsip dua minggu kebut latihan. Selama dua
pekan, saya ingin kami latihan secara intens dan fokus. Tak ada lagi tugas mata
kuliah lain. Tidak ada lagi alasan lain. Maka, saya katakan kepada kelompok
dengan tegas: “Minggu pertama ini, kita latihan full!” Mereka serempak mengatakan Ya.
Hingga
tujuh hari kemudian, masih ada satu alasan aktor yang tidak bisa hadir. Aktor
Fajar. Ia tetap sibuk menyelesaikan kamusnya. “Padahal dia itu aktor utama!”
kesal saya kepada anggota lain.
Siang
itu saya cukup marah. Bagaimana tidak? Fajar seolah-olah tidak menghargai
kelompok ini. Ia juga tak menghargai anggota aktor lainnya, yang selama ini
selalu ikut latihan –walaupun itu hanya latihan vokal, gerak, dan pendalaman
naskah.
Selama
Fajar tak bisa hadir, kami tidak dapat memulai latihan tata panggung. Yang saya
dapat lakukan, hanyalah memimpin latihan sepotong demi sepotong, pada bagian
dimana tidak ada peran Fajar di sana.
Kalaupun
terpaksa Fajar harus diperankan –misalnya ada Anggun (aktor Nenek) yang
tentunya membutuhkan kehadiran Fajar (sebagai pasangan aktor Kakek)– maka saya
pun menggantikan peran Fajar, demi berlangsungnya latihan.
Detik-detik menjelang UAS. Kami
tetap latihan berjalan dengan sistem “penggantian peran” tersebut. Jika ada anggota
yang tidak hadir, terpaksa saya menggantikan peran yang tidak hadir itu.
Jabatan saya sebagai sutradara pun merangkap jadi aktor.
Maka,
selama latihan berlangsung, saya dapat menjadi aktor Kakek, aktor Janda Genit,
aktor anak kecil Mela dan Fera, bahkan aktor Ijah. Bisa dibayangkan, semakin
banyak aktor yang tidak bisa hadir, maka semakin capek saya menirukan dialog beragam tokoh dengan berbagai latar
belakang itu.
Akibat
dari seringnya ketidakhadiran aktor, saya termenung. Apakah ini semacam bentuk ujian, Tuhan? Saya mohon, angkatlah ujian ini
dari kelompok kami agar kami bisa kompak untuk latihan. Saya mohon! Doa saya pun terkabul.
Satu
minggu sebelum penampilan UAS. Anggota kami lengkap. Delapan aktor berkumpul.
Anggun, Adel, Emil, Habibah, Ida, Ria, Yeyen, dan Fajar. Lengkap, tanpa
terkecuali.
Hari
pertama, pertanda kebahagiaan menyambut. Semangat saya terlecut. Pagi hari saya
meminjam kunci lab di pak Alul. Rencananya kami latihan di laboratorium,
diiringi instrumen yang telah saya siapkan. Rencananya kami akan latihan peran
dari awal hingga akhir. Anggap saja, sebuah latihan gladi bersih.
Mulanya
berjalan dengan lancar. Hubungan antara Fajar dan Anggun, sebagai tokoh
Kakek-Nenek, mulai terjalin kemistri.
Hanya sedikit intruksi kecil dari saya kepada mereka terkait gerakan menari
yang kurang kompak. Ada juga koreksi kecil-kecilan, seperti peringatan untuk
Anggun yang mudah lupa tata panggung. Di luar itu? Awalnya berjalan lancar-lancar saja.
Masalah
mulai muncul saat bagian antara Nita dan Novia, yang diperankan oleh Emil dan
Habibah. Emil selalu terlihat dengan ekspresi tegang, sedangkan, di sisi lain,
ia harus berperan sebagai Novia yang memiliki perangai sedih. Sebaliknya,
Habibah, yang memiliki “wajah-wajah cengeng”, sebenarnya harus berperan sebagai
orang bijak.
Selama
latihan berlangsung, mereka berdua seakan tertukar ekspresi. Seolah-olah dialog
yang mereka ucapkan tidak nyambung dari tokoh yang diperankan. Singkat kata,
mereka salah memerankan tokoh. Sebab itulah, saya melakukan keputusan yang sembrono.
“Tokoh
Habibah dan Emil harus ditukar!” sontak, semuanya shock. Ditukar? Ya, itu artinya, dalam waktu dekat ini mereka harus
berganti peran. Habibah yang semula memerankan Nita, harus ditukar menjadi
peran Novia. Begitupun dengan Emil, yang semula memerankan Novia, harus diubah
menjadi peran Nita.
“Apa
kau yakin, Ge?” tanya Habibah tak percaya, “ini waktunya mepet!”
“Ini
demi pementasan kita!”
“Gak
mungkin!” sahut Emil. Keributan kecil terjadi.
“Apa
kau kira menghafal naskah itu mudah?”
“Tapi
kau lebih nyaman memerankan tokoh sedih!”
“Ini
terlalu mendadak!”
“Siapa
yang menyuruh mendadak? Kemarin-kemarin kita satu kelompok ini kemana saja?
Kita tidak pernah kumpul lengkap! Sibuk dengan kegiatannya masing-masing!” saya
naik pitam.
Sunyi.
Masih sunyi.
Hingga
kemudian saya meredakan emosi. Dengan tenang saya berusaha memberikan
pengertian kepada Habibah dan Emil.
“Baiklah,
maafkan saya. Coba sekarang kita fokus latihan. Coba berperanlah sebaik mungkin....”
Saya berharap dengan sedikit konflik ini kelompok tak akan terpecah, setidaknya
hingga pementasan selesai. Saya pun pada akhirnya benar-benar meminta maaf.
Dan
soal keputusan berganti peran itu, saya kembalikan lagi kepada aktor. Jika
mereka lebih nyaman memerankan suatu tokoh, maka saya biarkan ia memilih tokoh
itu.
Latihan
pun berjalan seperti awal. Tak ada perubahan. Saya menghargai usaha Habibah dan
Emil, yang berusaha memerankan tokoh masing-masing –meskipun menurut saya tokoh
yang mereka perankan tidak sesuai dengan karakter diri-sendiri, sehingga
menciptakan tontonan yang tampak agak aneh.
Yang
terdengar selanjutnya, bukan lagi komentar dari saya, melainkan berasal dari
Anggun (aktor Nenek) dan Umi (selaku Manajemen). Keduanya mengatakan kepada
Emil dan Habibah, “Kelihatannya, kalian memang seharusnya bertukar peran dech!”
Komentar
Posting Komentar