Helmi Yahya? Begitulah penuturannya
saat aku pertama kali mengenalnya. Pertama kali kami berjumpa dan bertatap
muka, tepatnya saat aku melewati masa-masa ospek di lingkup Prodi PBSI. Aku
sempat heran dan meragukan nama aslinya. Apakah benar seperti itu atau hanya
sebagai dalih agar dia tenar di kalangan maba. Oh hanya Tuhan yang tahu
mengenai namanya. Dia memperkenalkan diri pada kami sebagai wakil ketua HMP
saat itu. Aku sempat berpikir keras, mencoba memahami jabatan yang dipegangnya.
Bukan meragukan, tapi lebih ke arah tidak percaya. Setahuku dia konyol, lucu,
gokil dan entah apa lagi. Segalayang berbau komedi melekat pada dirinya. Itu
yang membuat aku tidak percaya dengan jabatan wakil ketua HMP yang dipegangnya.
Di awal pertemuan dengan suasana
lingkungan perguruan tinggi, aku lebih memilih acuh tak acuh tentang kak Helmi.
Entah dia mau menjadi apaatau menjabat apa. Beberapa hari mengikuti ospek, aku
mulai mengerti sisi lain sosok Kak Helmi. Mungkin aku termasuk orang yang
streotip. Aku mudah menilai orang dari luar tanpa mengetahui seluk beluk
karakter dan kepribadiannya. Setelah mencoba memahaminya, aku tahu jika sosoknya
bisa jadi panutan. Kak Helmi bisa mengerti dan memposisikan diridengan baik.
Jika saat bercanda, dia akan totalmembuat kami tertawa. Tapi, jangan salah,
jika serius, dia jauh lebih terlihat bijaksana.
Masa ospek selesai. Kami, mahasiswa
baru merasakan betulperan dan fungsi HMP sebagai wadah organisasi di lingkup
PBSI. Yang aku ingat betul, saat peringatan bulan bahasa. Itu satu kenangan
yang sulit terlupakan. Kenangan itu lagi-lagi melibatkan si Helmi. Saat itu aku
mendaftarkan diri sebagai peserta lomba cerpen. Tempat pendaftarannya di depan Auditorium.
Aku dan teman-teman yang mendaftar disambut hangat oleh kakak panitia, termasuk
Kak Helmi. Kami bercanda-gurau layaknya teman lama. Kami serasa keluarga
sendiri.
Kekonyolan berawal dari seorang temanku,
Desi. Dia melihat KTP milik Kak Helmi. Dia kelahiran 1997. Desi yang kelahiran
1996. Dia mulai gelagak tawa di antara kami. Desi menuturkan “Kenapa aku harus
panggil kamu “Kak”? Seharusnya kamu yang panggil aku “Mbak”! Sontak gelagak
tawa memecah suasana. Aku merasa tersindir. Aku juga kelahiran tahun 1996. Tapi
aku lebih memilih diam. Aku menikmati canda gurau bersama mereka.
Beberapa bulan kemudian, diadakan
pemilihan ketua HMP yang baru. Kak Helmi
salah seorang kandidat. Hasil akhir penghitungan suara, Kak Helmi terpilih
menjadi ketua HMP yang baru. Mungkin aku dan teman-teman yang lain memiliki pemikiran
yang sama, kami ingin seperti Kak Helmi dan kakak-kakak lainnya bisa menjadi
bagian dari HMP. Tidak lama setelah Kak Helmi terpilih,pendaftaran untuk
menjadi anggota HMP dibuka. Kami “berbondong-bondong” mendaftar. Aku mengikuti
alur yang ada. Pengumuman keluar. Namaku tertulis di sana.
Lambat laun, seiring berjalannya waktu,
selama menjadi anggota HMP, aku mulai memahami roda organisasi di sini. Yang
menjadi pusat perhatianku, ketua HMP itu sendiri, Helmi Yahya. Dulu dia yang
aku kenal sebagai sosok yang penuh kekonyolan, kini berdiri di hadapan
kamisebagai pemimpin kami. Saat rapat kami digilir untuk membaca puisi. Dia
berdalih, cara ini dilakukan sebagai pembeda kita dengan HMP yang lain. Inilah
ciri khas HMP PBSI.
Tapi aku tahu dari strategi yang
diterapkan tersebut tidak lain, untuk melatih kami. Kami sebagai kader-kader di
PBSI diharapkan dapat jadi contoh untuk yang lain, terutama untuk melatih diri
kami sebagai anak PBSI agar mahir berpuisi. Selain itu, pada setiap rapat dan
acara yang kami laksanakan, kami merasa banyak sekali mendapat ‘pelajaran’ dari
Kak Helmi, mulai dari kepemimpinannya, kebijaksanaannya, cara dia memberikan
solusi dan lainnya. Terlebih, aku berselera humor tinggi. Jika aku dihadapkan
dengan sosok seperti Kak Helmi, aku seperti menemukan teman sejatiku. Bagaimana
tidak? Gelagak tawa dan canda gurau selalu ada di antara kami semua. Jika
persepsi yang lain rapat itu melelahkan, membosankan dan membuat kami mengantuk,
hal itu tidak berlaku dalam rapat HMP PBSI Kak Helmi. Rapat yang penuh dengan
pemikiran kritis dan berbagai solusi dalam pemecahan suatu permasalahan tidak lain
dari ketua kami, Kak Helmi, sekaligus canda tawa yang tidak akan pernah hilang
di sela-sela rapat kami.
Meskipun sering disindir gara-gara
sering absen dalam rapat, aku menjawabnya dengan memberikan senyuman termanisku
padanya. Dia tidak memarahiku. Dia tetap peduli dan membimbingku jika menemui
kesulitan dalam kepanitiaan dan setiap acara. Dia juga tidak akan lupa untuk
memanggilku “Donat”. Mungkin itu panggilan kesayangannya padaku. Karena
panggilan itu, aku juga semakin menyayanginya sebagai ketua HMP PBSI.
Intinya
dia pemimpin yang tegas dan bijaksana. Aku salut pada satu sifat yang ada
padanya, yakni mampu dan mengerti memposisikan diriuntuk bisa tegas, bijaksana
pada situasi serius. Meskipun kadang-kadang dia gila, suka bercanda, konyol,
gokil dan lain sebagainya. Hal-hal semacam itu, menjadi penyemangat dan pelipur
hati kami di saat kami merasa lelah dan penat. Dengan begitu, aku menjadi
sangat paham betul sisi lain dari kekonyolannya, yaitu sifat pemimpin dan kebijaksanaannya yang
membuat HMP PBSI ini semakin maju. Beberapa acara telah kami tuntaskan: Ospek
PARODI III, Peringatan Hari Besar Islam (PHBI), Bulan Bahasa, Dies Natalis dan
PSPS. Semangat untuk Kak Helmi.
Komentar
Posting Komentar