Langsung ke konten utama

Inilah Ciri Khas Kami: Baca Puisi

Oleh Nahdliya, mahasiswa PBSI 2015 asal Pantura Jawa
Helmi Yahya? Begitulah penuturannya saat aku pertama kali mengenalnya. Pertama kali kami berjumpa dan bertatap muka, tepatnya saat aku melewati masa-masa ospek di lingkup Prodi PBSI. Aku sempat heran dan meragukan nama aslinya. Apakah benar seperti itu atau hanya sebagai dalih agar dia tenar di kalangan maba. Oh hanya Tuhan yang tahu mengenai namanya. Dia memperkenalkan diri pada kami sebagai wakil ketua HMP saat itu. Aku sempat berpikir keras, mencoba memahami jabatan yang dipegangnya. Bukan meragukan, tapi lebih ke arah tidak percaya. Setahuku dia konyol, lucu, gokil dan entah apa lagi. Segalayang berbau komedi melekat pada dirinya. Itu yang membuat aku tidak percaya dengan jabatan wakil ketua HMP yang dipegangnya.
Di awal pertemuan dengan suasana lingkungan perguruan tinggi, aku lebih memilih acuh tak acuh tentang kak Helmi. Entah dia mau menjadi apaatau menjabat apa. Beberapa hari mengikuti ospek, aku mulai mengerti sisi lain sosok Kak Helmi. Mungkin aku termasuk orang yang streotip. Aku mudah menilai orang dari luar tanpa mengetahui seluk beluk karakter dan kepribadiannya. Setelah mencoba memahaminya, aku tahu jika sosoknya bisa jadi panutan. Kak Helmi bisa mengerti dan memposisikan diridengan baik. Jika saat bercanda, dia akan totalmembuat kami tertawa. Tapi, jangan salah, jika serius, dia jauh lebih terlihat bijaksana.
Masa ospek selesai. Kami, mahasiswa baru merasakan betulperan dan fungsi HMP sebagai wadah organisasi di lingkup PBSI. Yang aku ingat betul, saat peringatan bulan bahasa. Itu satu kenangan yang sulit terlupakan. Kenangan itu lagi-lagi melibatkan si Helmi. Saat itu aku mendaftarkan diri sebagai peserta lomba cerpen. Tempat pendaftarannya di depan Auditorium. Aku dan teman-teman yang mendaftar disambut hangat oleh kakak panitia, termasuk Kak Helmi. Kami bercanda-gurau layaknya teman lama. Kami serasa keluarga sendiri.
Kekonyolan berawal dari seorang temanku, Desi. Dia melihat KTP milik Kak Helmi. Dia kelahiran 1997. Desi yang kelahiran 1996. Dia mulai gelagak tawa di antara kami. Desi menuturkan “Kenapa aku harus panggil kamu “Kak”? Seharusnya kamu yang panggil aku “Mbak”! Sontak gelagak tawa memecah suasana. Aku merasa tersindir. Aku juga kelahiran tahun 1996. Tapi aku lebih memilih diam. Aku menikmati canda gurau bersama mereka.
Beberapa bulan kemudian, diadakan pemilihan  ketua HMP yang baru. Kak Helmi salah seorang kandidat. Hasil akhir penghitungan suara, Kak Helmi terpilih menjadi ketua HMP yang baru. Mungkin aku dan teman-teman yang lain memiliki pemikiran yang sama, kami ingin seperti Kak Helmi dan kakak-kakak lainnya bisa menjadi bagian dari HMP. Tidak lama setelah Kak Helmi terpilih,pendaftaran untuk menjadi anggota HMP dibuka. Kami “berbondong-bondong” mendaftar. Aku mengikuti alur yang ada. Pengumuman keluar. Namaku tertulis di sana.
Lambat laun, seiring berjalannya waktu, selama menjadi anggota HMP, aku mulai memahami roda organisasi di sini. Yang menjadi pusat perhatianku, ketua HMP itu sendiri, Helmi Yahya. Dulu dia yang aku kenal sebagai sosok yang penuh kekonyolan, kini berdiri di hadapan kamisebagai pemimpin kami. Saat rapat kami digilir untuk membaca puisi. Dia berdalih, cara ini dilakukan sebagai pembeda kita dengan HMP yang lain. Inilah ciri khas HMP PBSI.
Tapi aku tahu dari strategi yang diterapkan tersebut tidak lain, untuk melatih kami. Kami sebagai kader-kader di PBSI diharapkan dapat jadi contoh untuk yang lain, terutama untuk melatih diri kami sebagai anak PBSI agar mahir berpuisi. Selain itu, pada setiap rapat dan acara yang kami laksanakan, kami merasa banyak sekali mendapat ‘pelajaran’ dari Kak Helmi, mulai dari kepemimpinannya, kebijaksanaannya, cara dia memberikan solusi dan lainnya. Terlebih, aku berselera humor tinggi. Jika aku dihadapkan dengan sosok seperti Kak Helmi, aku seperti menemukan teman sejatiku. Bagaimana tidak? Gelagak tawa dan canda gurau selalu ada di antara kami semua. Jika persepsi yang lain rapat itu melelahkan, membosankan dan membuat kami mengantuk, hal itu tidak berlaku dalam rapat HMP PBSI Kak Helmi. Rapat yang penuh dengan pemikiran kritis dan berbagai solusi dalam pemecahan suatu permasalahan tidak lain dari ketua kami, Kak Helmi, sekaligus canda tawa yang tidak akan pernah hilang di sela-sela rapat kami.
Meskipun sering disindir gara-gara sering absen dalam rapat, aku menjawabnya dengan memberikan senyuman termanisku padanya. Dia tidak memarahiku. Dia tetap peduli dan membimbingku jika menemui kesulitan dalam kepanitiaan dan setiap acara. Dia juga tidak akan lupa untuk memanggilku “Donat”. Mungkin itu panggilan kesayangannya padaku. Karena panggilan itu, aku juga semakin menyayanginya sebagai ketua HMP PBSI.
Intinya dia pemimpin yang tegas dan bijaksana. Aku salut pada satu sifat yang ada padanya, yakni mampu dan mengerti memposisikan diriuntuk bisa tegas, bijaksana pada situasi serius. Meskipun kadang-kadang dia gila, suka bercanda, konyol, gokil dan lain sebagainya. Hal-hal semacam itu, menjadi penyemangat dan pelipur hati kami di saat kami merasa lelah dan penat. Dengan begitu, aku menjadi sangat paham betul sisi lain dari kekonyolannya,  yaitu sifat pemimpin dan kebijaksanaannya yang membuat HMP PBSI ini semakin maju. Beberapa acara telah kami tuntaskan: Ospek PARODI III, Peringatan Hari Besar Islam (PHBI), Bulan Bahasa, Dies Natalis dan PSPS. Semangat untuk Kak Helmi. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pak Anu

O leh Dwi Ajeng Kartini Selama kuliah dua semester -dari semester satu sampai semester dua- baru kali ini aku bertemu dan diajar oleh dosen unik. Dikatakan unik karena cara mengajarnya santai dan mudah dipahami. Cara menyampaikan materi sangatlah berbeda dengan dosen lain yang cenderung membuat tegang. Hehe. Beliau adalah Bapak Salamet Wahedi. Sebelum ‘mengenal’nya, kami sudah mengetahuinya. Beliau adalah dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Desas-desisnya, beliau termasuk dosen killer , tentu aku langsung kaget. Aku takut ketika mendengar, beliau dosen yang killer . Aku takut, beliau di kelas sangat kaku, membosankan, dan tentu -saja bicara dosen killer - pelit nilai. Jujur saja, saat petama melihatnya memang benar terlihat seperti dosen killer. Aku sempat bingung karena pertama masuk, beliau duduk hanya diam. Aku sampai berpikir, sebenarnya dosen ini sedang marah atau memang gayanya seperti ini? Dengan tatapan mata yang sinis dan tidak mau menatap mahasiswa,

Manis Pahit Berorganisasi

Oleh Rohmatur Rizqiyah        Matahari memancarkan sinarnya ke celah-celah jendela kamar. Suara kokok ayam sedari tadi menyeruak di telinga. Alarm hand-phone beberapa kali berusaha membangunkan saya. Itu semua sia-sia, sepertinya pagi ini mata saya tidak mau bersahabat dengan saya, atau mungkin mata ini sudah mulai merasakan lelah karena setiap hari saya ajak begadang demi acara final ini. Acara final? Ya, ini adalah acara puncaknya HMP PBSI sekaligus progam kerja kami yang terakhir. Acara ini mungkin berbeda dengan acara-acara lainnya. Dalam acara ini, kami juga mengundang beberapa SMAN di Madura untuk berpartisipasi. Nama acara ini adalah Pekan Sastra Pelajar Se-Madura yang disingkat dengat PSPS. Acara ini berupa lomba baca puisi antarSMA se-Madura.         Acara ini adalah acara pertama tanpa kehadiran ketum PBSI yaitu Helmi Yahya. Dia sedang menghadiri acara Ikatan Mahasiwa Bahasa dan Sastra Indonesia se-Indonesia (IMABSII) yang bertempat di Bali. Meskipun tidak bisa hadi