Langsung ke konten utama

Doa untuk Nenek

Oleh Mafruratul Hasanah

Kaummudapergerakan.com 19 Maret 2015. Kamis sore. Tibalah aku di pamekasan dari tempat perantauanku. Kedatanganku disambut penuh keceriaan oleh semua ponakanku, yang kusebut para kurcaci. Seperti biasa kutemui nenek tersayangku yang terbaring ditempat tidur dari lima tahun lalu. Kucium tangannya sambil mengucapkan salam. Beliau hanya tersenyum melihat kedatanganku.

Tak biasanya nenekku seperti itu. Kuajak berbincang-bincang, ternyata aku baru sadar nenekku tuli dan tak mengenaliku. Kukeraskan suaraku. Kujelaskan siapa diriku dengan menetaskan air mata. Aku tak tega melihatnya. Setelah kukeraskan, dia menyapaku dengan berkata, "Sampeyan pasèra?" Serasa asing kalimat itu bagiku. Tak biasanya beliau menggunakan bahasa halus padaku. Aku menjawab sambil tersenyum. Menjawab semua yang beliau tanyakan. Beliau terus menggunakan bahasa halus padaku seperti kami baru kenal.

Tapi beliau paham siapa saya. Beliau sempat menanyakan uang jatah bulananku yang biasa beliau berikan perbulan padaku yang sudah dititipkan ke sesama teman perantauanku. Selama tiga minggu aku tidak pulang. Ternyata selama aku di perantauan beliau sakit. Sekarang beliau baru sembuh dari batuknya. Pendengarannya memburuk dan ingatannya mulai menghilang. Setiap kutengok, beliau hanya diam, yang biasanya cepat merespon setiap bunyi dan cahaya saat itu beliau hanya diam. Tak tega aku melihatnya. Seseorang nenek yang biasa dijadikan tempat curhat kini tak meresponku. Tak mengenaliku.

Di saat aku harus balik, saya berpamitan pada nenekku. Kuucapkan salam seperti biasa, beliau tak merespon. Kudekatkan suaraku, kuucapkan salam, beliau menjawab dengan suara terbata, "Pasèra sampèyan?" Kujelaskan bahwa saya akan balik ke perantauanku. Kembali beliau merespon dengan bahasa halus, "Sampèyan bââ sangonah? Mon taek nèka ngala’ è dompet."

Aku menjawab, "Bunten. Tak osa. Kaulâ bââ pèssè." Aku kembali teteskan air mata sambil memegang tangannya dan berpamitan. Kututup pintu kamar beliau. Sejenak hanya derit yang mengantara, lalu beliau memanggilku, "Nèka pèssèna ngala’ dhibi’". Aku menghampiri beliau. Aku berbisik, "Bunten, Mbah.  Kabâlenje sampèyan. Kaulâ mangkadhâ." Kuucapkan salam dengan air mata mengalir membasahi pipiku. Kan ku ingat tanggal 22 Maret ini, di mana aku sangat berat meninggalkan nenekku.

Bagiku nenek adalah orang yang paling mengerti saya. Aku ceritakan keluh kesahku. Semua yang kualami kuceritakan pada nenekku. Biayaku sekolah, uang saku bulanan semua nenekku yang menanggung. Begitu banyak kebaikan yang tak bisa saya balas sejak saya kecil sampai saya kuliah saat ini. Ingin sekali saya cepat membahagiakannya. Tak ingin saya membuatnya menangis. Tak ada apa-apanya diriku dibanding semua kebaikan yang telah beliau berikan.

Saat ini saya hanya bisa berdoa, "Ya, Allah… panjangkanlah umur nenek hamba, sampai saya bisa membahagiakan beliau di masa tuanya. Ya, Allah… ampunilah semua dosa-dosa nenek hamba. Hapuskanlah dosa beliau dengan semua kebaikan semasa hidup beliau. Amin Ya, Robbal ‘alamin...”

Mafruratul Hasanah mahasiswa Prodi PGPAUD semeseter 4 FKIP, Universitas Trunojoyo Madura

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inilah Ciri Khas Kami: Baca Puisi

Oleh Nahdliya, mahasiswa PBSI 2015 asal Pantura Jawa Helmi Yahya? Begitulah penuturannya saat aku pertama kali mengenalnya. Pertama kali kami berjumpa dan bertatap muka, tepatnya saat aku melewati masa-masa ospek di lingkup Prodi PBSI. Aku sempat heran dan meragukan nama aslinya. Apakah benar seperti itu atau hanya sebagai dalih agar dia tenar di kalangan maba. Oh hanya Tuhan yang tahu mengenai namanya. Dia memperkenalkan diri pada kami sebagai wakil ketua HMP saat itu. Aku sempat berpikir keras, mencoba memahami jabatan yang dipegangnya. Bukan meragukan, tapi lebih ke arah tidak percaya. Setahuku dia konyol, lucu, gokil dan entah apa lagi. Segalayang berbau komedi melekat pada dirinya. Itu yang membuat aku tidak percaya dengan jabatan wakil ketua HMP yang dipegangnya. Di awal pertemuan dengan suasana lingkungan perguruan tinggi, aku lebih memilih acuh tak acuh tentang kak Helmi. Entah dia mau menjadi apaatau menjabat apa. Beberapa hari mengikuti ospek, aku mulai mengerti sisi

Es Lilin Cabbi

Oleh  Kuswanto Ferdian, King Favorit UTM 2016 dan Mahasiswa PBSI 2014 asal Pamekasan Perkenalkan namaku Kuswanto Ferdian. Kalian bisa memanggilku Wawan. Kawan-kawan  di desa memanggilku “Phebeng”. Entahlah apa maksud dari panggilan itu. Aku menerima panggilan itu begitu saja. Aku berasal dari Pulau Garam Madura. Waktu aku masih kanak-kanak , aku sering bermain dengan kawan-kawan d esaku, D esa K olpajung, Pamekasan, Madura. Desaku populer dengan julukan “Kampung Hijau”. Julukan itu diberikan karena desaku sering menjuarai lomba “Adipura Kabupaten” yang diadakan setahun sekali. Selain banyak pohon yang rindang serta daunnya yang hijau, di sepanjang jalan desaku banyak bangunan dengan cat warna hijau. Baik bangunan Sekolah, toko, maupun rumah warga. Alasan itulah yang menjadikan desaku mandapat julukan “Kampung Hijau”. Desaku memiliki beberapa permainan tradisional. Permainan yang paling aku sukai waktu kanak-kanak, permainan “ E s Lilin Cabbi ” . P ermainan ini hampir sam

Pak Anu

O leh Dwi Ajeng Kartini Selama kuliah dua semester -dari semester satu sampai semester dua- baru kali ini aku bertemu dan diajar oleh dosen unik. Dikatakan unik karena cara mengajarnya santai dan mudah dipahami. Cara menyampaikan materi sangatlah berbeda dengan dosen lain yang cenderung membuat tegang. Hehe. Beliau adalah Bapak Salamet Wahedi. Sebelum ‘mengenal’nya, kami sudah mengetahuinya. Beliau adalah dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Desas-desisnya, beliau termasuk dosen killer , tentu aku langsung kaget. Aku takut ketika mendengar, beliau dosen yang killer . Aku takut, beliau di kelas sangat kaku, membosankan, dan tentu -saja bicara dosen killer - pelit nilai. Jujur saja, saat petama melihatnya memang benar terlihat seperti dosen killer. Aku sempat bingung karena pertama masuk, beliau duduk hanya diam. Aku sampai berpikir, sebenarnya dosen ini sedang marah atau memang gayanya seperti ini? Dengan tatapan mata yang sinis dan tidak mau menatap mahasiswa,