Langsung ke konten utama

Pak Anu

Oleh Dwi Ajeng Kartini

Selama kuliah dua semester -dari semester satu sampai semester dua- baru kali ini aku bertemu dan diajar oleh dosen unik. Dikatakan unik karena cara mengajarnya santai dan mudah dipahami. Cara menyampaikan materi sangatlah berbeda dengan dosen lain yang cenderung membuat tegang. Hehe. Beliau adalah Bapak Salamet Wahedi.

Sebelum ‘mengenal’nya, kami sudah mengetahuinya. Beliau adalah dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Desas-desisnya, beliau termasuk dosen killer, tentu aku langsung kaget. Aku takut ketika mendengar, beliau dosen yang killer. Aku takut, beliau di kelas sangat kaku, membosankan, dan tentu -saja bicara dosen killer- pelit nilai. Jujur saja, saat petama melihatnya memang benar terlihat seperti dosen killer. Aku sempat bingung karena pertama masuk, beliau duduk hanya diam. Aku sampai berpikir, sebenarnya dosen ini sedang marah atau memang gayanya seperti ini? Dengan tatapan mata yang sinis dan tidak mau menatap mahasiswa, beliau terlihat aneh. Entah kenapa?

Baru-baru ini saja beliau berani menatap mata mahasiswanya. Biasanya beliau selalu menghadap ke bawah saat mengajar. Tapi lama-kelamaan aku jadi tahu, Pak Set –sapaan akrabnya- memang memiliki pembawaan tenang, santai, menyenangkan dan insya Allah tidak pelit nilai. Seperti tak ada beban di hidupnya. Jarang sekali ada dosen yang bersikap seperti teman sendiri pada mahasiswanya. Benar kalimat pertama yang pernah Pak Set utarakan, “Satu semester ini kita akan belajar bersama,” dan memang benar nyatanya.

Tak terasa satu semester berlalu bersama Pak Set, dengan cara mengajar yang unik: menunjuk dua mahasiswa untuk maju dan menjelaskan tentang materi hari itu. Jika ada yang ingin betanya, Pak Set akan menjawabnya. Cara mengajar yang efektif. Karena itu akan membuat anak-anak tidak bosan. Jawaban-jawabannya yang sedikit puitis, membuat kami betah untuk belajar. Dan sepertinya kelasku sedikit tertular gaya puitisnya saat berbicara. Contohnya, saja saat diberi tugas untuk membuat satu paragraf yang berisikan minimal 4 kalimat, seketika teman-teman membuat. Seorang teman membuat paragraf tersebut dengan kata-kata puitis yang bertemakan jodoh. Sepertinya dia tertular kepuitisan Pak Set. Hehe. Salah satu ciri khas Pak Set yang selalu saya ingat adalah ketika beliau mengajar, selalu mengucapkan kata “anu”. Setiap Pak Set berbicara pasti selalu terselip kata itu. Kalau boleh saya sarankan, “Sebaiknya Pak Set mengurangi kata “anu” tersebut. Hehe.” Tapi terlepas dari itu, aku tetap senang bisa diajar Pak Set. Semoga Pak Set selalu menjadi pribadi yang tenang, santai dan menyenangkan. Semoga Pak Set bisa mengajar kelas kami kembali di semester selanjutnya dan tetap menjadi Pak Set yang menyenangkan.

Dwi Ajeng Kartini, mahasiswa angkatan 2016 prodi PGSD, FIP, Universitas Trunojoyo Madura.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inilah Ciri Khas Kami: Baca Puisi

Oleh Nahdliya, mahasiswa PBSI 2015 asal Pantura Jawa Helmi Yahya? Begitulah penuturannya saat aku pertama kali mengenalnya. Pertama kali kami berjumpa dan bertatap muka, tepatnya saat aku melewati masa-masa ospek di lingkup Prodi PBSI. Aku sempat heran dan meragukan nama aslinya. Apakah benar seperti itu atau hanya sebagai dalih agar dia tenar di kalangan maba. Oh hanya Tuhan yang tahu mengenai namanya. Dia memperkenalkan diri pada kami sebagai wakil ketua HMP saat itu. Aku sempat berpikir keras, mencoba memahami jabatan yang dipegangnya. Bukan meragukan, tapi lebih ke arah tidak percaya. Setahuku dia konyol, lucu, gokil dan entah apa lagi. Segalayang berbau komedi melekat pada dirinya. Itu yang membuat aku tidak percaya dengan jabatan wakil ketua HMP yang dipegangnya. Di awal pertemuan dengan suasana lingkungan perguruan tinggi, aku lebih memilih acuh tak acuh tentang kak Helmi. Entah dia mau menjadi apaatau menjabat apa. Beberapa hari mengikuti ospek, aku mulai mengerti sisi

Es Lilin Cabbi

Oleh  Kuswanto Ferdian, King Favorit UTM 2016 dan Mahasiswa PBSI 2014 asal Pamekasan Perkenalkan namaku Kuswanto Ferdian. Kalian bisa memanggilku Wawan. Kawan-kawan  di desa memanggilku “Phebeng”. Entahlah apa maksud dari panggilan itu. Aku menerima panggilan itu begitu saja. Aku berasal dari Pulau Garam Madura. Waktu aku masih kanak-kanak , aku sering bermain dengan kawan-kawan d esaku, D esa K olpajung, Pamekasan, Madura. Desaku populer dengan julukan “Kampung Hijau”. Julukan itu diberikan karena desaku sering menjuarai lomba “Adipura Kabupaten” yang diadakan setahun sekali. Selain banyak pohon yang rindang serta daunnya yang hijau, di sepanjang jalan desaku banyak bangunan dengan cat warna hijau. Baik bangunan Sekolah, toko, maupun rumah warga. Alasan itulah yang menjadikan desaku mandapat julukan “Kampung Hijau”. Desaku memiliki beberapa permainan tradisional. Permainan yang paling aku sukai waktu kanak-kanak, permainan “ E s Lilin Cabbi ” . P ermainan ini hampir sam