Oleh Arum Puriani, Mahasiswa PBSI 2014 asal Nganjuk
Langit
di kota angin terlihat begitu gelap, tapi jalanan kota terlihat begitu sangat
padat. Hari ini tanggal 1 Muharram atau biasa orang jawa menyebutnya tanggal 1
Suro, tapi apapun namanya tanggal itu di kalenderku
tetap berwarna hitam yang menandakan aktivitasku tetap harus berjalan. Tak ada
yang spesial menurutku, ketika banyak orang membicarakan rangkaian ritiual
siraman Sedudo yang akan berlangsung sehari penuh itu sebagai tanda perayaan
Suro-an. Tiba-tiba saja perasaanku terasa aneh ketika pemikiran “terkadang” ini
muncul dibalik setumpuk pemikiran aneh yang ku miliki. Terkadang aku begitu
merasa sangat mencintai adat-istiadat yang memang butuh penangan yang tepat
agar tidak luntur dengan begitu saja, tapi terkadang aku seperti enyah dengan
rangkaian adat-istiadat yang menurutku nyleneh.
Aku
selalu merasa otakku kosong ketika harus diberi pertanyaan tentang
adat-istiadat. Aku merasa tak perlulah menjawab pertanyaan-pertanyaa itu,
karena meski terjawab terkadang pertanyaan logis itu mematikan adat-istiadat. Biarlah
pertanyaan itu menumpuk dan berjubel, adat tetaplah adat yang akan terus
berjalan beriringan bersama sebuah kedamaian. Seperti adat ritual siraman
Sedudo yang menjadi begitu khas ditelinga masyarakat kota Nganjuk. Ritual
Siraman sedudo adalah sebuah perayaan untuk memperingati tanggal 1 Muharram
atau yang lebih sering disebut dengan perayaan grebek suro. Sebelum
berlangsungnya adat ritual siraman sedudo, serangkaian acara telah dipersiapkan
sebagai pengiring perayaan tersebut.
Acara
yang pertama kirap masal yang dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat kota
Nganjuk, kirap ini biasa dimulai dari jalan Ahmad Yani hingga air terjun
Sedudo. Jika ingin mengikuti kirap ini, saranku sebaiknya jangan menggunakan sepatu
karena akan banyak lecet yang membekas dan juga bau kaki yang begitu menyengat.
Lebih baik menggunakan sandal jepit saja yang tidak akan meninggalkan lecet
atau bau kaki yang menyengat. Karena kirap yang akan dijalankan dari jalan
Ahmad Yani hingga air terjun Sedudo memiliki medan jalanan yang cukup panas dan
memiliki jarak yang cukup jauh.
Selanjutnya
setelah seluruh masyarakat kota Nganjuk telah sampai di air terjun sedudo, akan
ada acara makan bersama. Acara makan bersama ini memiliki tujuan utnuk
menumbuhkan rasa solidaritas sesama masyarakat kota Nganjuk. Cara makan bersama
ini dengan bergerumbul dalam satu tampah besar. Rasa lelah yang sempat
menggroti tubuh tiba-tiba menghilang begitu saja ketika setumpuk makanan lezat
menawarkan kenikmatan tersendiri. Alunan gemericik air terjun menambah suasana
menjadi begitu indah.
Setelah
acara makan bersama usai, segrombolan wanita setengah baya membersihkan seluruh
tempat yang dijadikan makan bersama tadi dan menyulapnya menjadi tempat yang
bersih untuk tempat tujuh wanita cantik. Para wanita cantik tersebut adalah para
ramaja berusia ± 17 tahun yang berdandang mengenakan pakian adat jawa, dengan
rambut terurai dan membawa kendi yang berisikan kembang tujuh rupa. Kemudian
para wanita-wanita cantik itu menarik, meliuk-liukkan tubuhnya diiringi oleh
pukulan gamelan, setelah menari-nari para wanita tersebut masuk ke dalam kolam
tergenangnya air terjun, dan berdiri berjajar tepat di bawah jatuhnya air.
Rambut mereka yang terurai dibiarkan terguyur oleh air terjun langsung.
Para
wanita cantik tersebut kemudian menumpahkan kendi yang berisi kembang tujuh
rupa tersebut di genangan air terjun. Para wanita cantik tersebut kemudian
menenggelamkan tubuhnya ke dalam genangan air terjun tersebut. Setelah seluruh
tubuhnya basah para wanita tersebut kemudian keluar dari genangan air tersebut
dan mengeringkan tubuhnya. Selanjutnya para lelaki yang membawa keris atau
pedang pegangannya bergantian mencucinya dengan air genangan tersebut. Kemudian
para warga kota Nganjuk pun bergantian mandi di bawah guyuran air terjun Sedudo
terebut, para warga mempercayainya jika mandi di bawah guyuran air terjun
Sedudo membuat awet muda dan menambah aura diwajah.
Entahlah, ketika aku mengikut serangkaian ritual siraman Sedudo ada
pemikiran yang menggelitik diotakku tapi enggan kusampaikan. Karena aku mencoba
menghormati mereka yang mempercayai serangkain ritual tersebut, meski terkadang
batas logikaku ingin muntah, mendorongku untuk menanyakan berbagai alasan
mereka mempercayai ritual tersebut. Ah sudahlah, ritual itu pun sudah menjadi
adat yang telah mendarah daging di kota angin itu, biar logika kadang tak
sampai pada kenyataan adat. Siraman Sedudo akan tetap menjadi ritul tahunan
yang melegendaris di kota Nganjuk.
Komentar
Posting Komentar