Oleh Amrullah, Mahasiswa FIP 2015 asal Problinggo
Malam
pecah. Fajar menggeliat dari balik pohon asam di pinggir pesantrenku. Kicau
burung lamat-lamat bersautan, terbangun dari tidur lelap-nyenyak semalam. Rona
merah bak pipi Cleopatra timbul di sudut timur utara jendela kamarku, menandai
pagi menjejak langit-bumi. Mengisyaratkan upacara baru akan dilaksanakan,
setelah beberapa kali agenda pertemuan terlaksana. Ya, sekarang hari pelantikan
pengurus baru HMP PBSI 2016-2017. Konsep pelantikan kali ini berbeda dari tahun
sebelumnya. Agenda dan kegiatan baru yang dilaksanakan setelah pelantikan
selesai: Kemah Sastra. Nama baru dalam memori otakku.
Bukan
perihal keawaman tentang kemah. Toh, semenjak Tsanawiyah tubuh ini telah berkutat
dengan tenda, angin malam, nyanyian penyemangat, bahkan telah kebal dengan
jarum-jarum lancip kebanggaan pasukan nyamuk. Namun sastra? Kemah sastra? Pikiranku
belum mampu menerawang di dalamnya. Belum mampu menelaah kegiatan yang akan
dilaksanakan. Sehingga timbul pertanyaan yang terus menggeranyangi pikiranku,
“Apakah terdapat kata seru di dalam kemah sastra?” Saya pun bergegas menuju
Auditorium seraya memantrakan lagu IMABSII, lagu yang akan dilantunkan tatkala
pelantikan berlangsung. Setibanya di lokasi, aku disambut oleh banner yang
terpampang sejak semalam. Ruangan seakan tersenyum melihat segerombolan
mahasiswa beralmamater biru dongker dengan hidung kembang-kempis menanti mandat
yang akan diucapkan.
Pelantikan
berjalan dengan khidmat. Berawal dengan salam, syahadah, serta janji setia yang
terucapkan. Pascaprosesi pelantikan, seluruh anggota HMP berhamburan keluar,
mempersiapkan kemah sastra nanti malam. Sebagian orang telah berganti kaos,
sibuk membangun tenda sebagai tempat menginap. Ada pula yang bermesraan dengan
tungku api. Sedang di sudut lapangan terlihat kakak sekaligus saudara saya,
Helmi Yahya sedang bertarung dengan segala hal yang belum sempurna. Tanpa lelah
dari selatan ke utara, barat ke timur, dia lalui dengan semangat yang berpusat
pada perutnya yang layaknya tabung air ukuran sedang itu. Dialah Ketua Umum HMP
PBSI yang terus mengayomi anggotanya. Tak sedikitpun kata penat terucap
darinya. Semua lelah disimpannya di balik punggungnya, hingga kami mengerti apa
tujuan utamanya. Tujuan yang begitu mulia, bukan untuk dirinya. Tujuan untuk
Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Prodi yang telah menjadi rumah
bagi kami selaku mahasiswa.
Malam
pun menyapa kembali, rombongan shalat isya’ telah kembali. Semua peserta kemah
sastra berkumpul di tengah lapangan, di bawah sorot cahaya lampu. Malam sastra
yang merupakan puncak dari kemah ini. Terlantun beberapa puisi, mulai dari
puisi karya sendiri hingga karya-karya milik sastrawan yang telah mafhum
namanya. Gerimis pun mengiringi kegiatan ini, seakan langit turut
berpartisipasi dalam kemah ini. Jam menunjukkan angka 22.15, kentongan satpam
sudah dipukul semenjak tadi, yang berarti sudah sampai di penghujung acara.
Pembawa acara berbasa-basi, berpamit diri pada para penikmat sastra yang
semenjak tadi tak henti-hentinya bersorak. Namun seakan enggan tuk berakhir,
Kak Helmi menjadi provokator agar malam sastra ini tetap berlanjut.
“Pak
Set! Pak Set! Pak Set!” Kak Helmi bersorak kegirangan mengumandangkan nama
tersebut. Seakan terhipnotis, kami turut serta dengan sorakan tersebut.
“Pak
Set! Pak Set! Pak Set!” lapangan bola mendadak menjadi sarang lebah, berkat
sorakan yang amat bergemuruh. Alhasil, sorakan kami menuntun seseorang yang
telah kami kenal ke panggung. Pak Set Wahedi. Beliau membuka dengan salam,
menjelaskan maksud puisi yang akan dibacakan.
“Melva...”
suasana mendadak hening. Sejuk oleh guyuran gerimis yang semenjak tadi
menyelimuti. Pak Set membaca puisi kesukaannya, “Menjadi Penyair Lagi” karya
Acep Zamzam Noor. Puisi “Menjadi Penyair Lagi” menggema pada sudut-sudut
gendang telinga. Penuh penghayatan Pak Set membawakan puisi tersebut, membuat
saya terbawa dalam alur hening yang mendalam. Antara mengerti maksud puisi
tersebut dengan bingung yang beradu. Seakan Melva tengah berpayung gerimis di
tengah kami.
“Lengkap
sudah,” celetukku dalam hati. Kemah sastra ini pun diakhiri oleh Melva yang
entah seperti apa perawakannya. Kemah Sastra yang diusulkan oleh Kak Helmi ini
pun berjalan lancar dan serasa nikmat berkat Melva yang hadir di dalamnya. Kami
pun menuju tenda kami, sekadar mengobati kantuk yang mulai mendera. Kurebahkan
tubuh ini di sudut tenda, sedang pikiranku masih tetap berkelana mencari satu
nama. “Oh Melva, inginku berjumpa denganmu.”
Tetap berkaryaaaa
BalasHapusTetap berkaryaaaa
BalasHapus