Pada hari pertama OSPEK PARODI
(Pengenalan Program Studi) III PBSI tahun 2016, mahasiswa baru diagendakan
hadir di depan gedung RKB-D pada pukul 06:00. Karena itu, panitia “diwajibkan” hadir
sebelum pukul 06.00. Pukul 06:00 aku bersiap ke kampus. Pagi itu, aku menunggu
balasan BBM dari Iin. Aku biasa nebeng
Iin kalau ada acara-acara di HMP. “Jangan-jangan Iin masih di perjalanan,” seruku
dalam hati. Pukul 06:07, Iin belum membalas. Bagaimana ia membalas, BBMnya saja
masih centang? Pukul 06:08 pesan itu baru terkirim. ‘Kulihat’ dia sedang
menulis pesan dan cemplung, pesan darinya masuk. “Aku jemput sekarang Yaroh.”
Pukul 06:23 aku sampai di kampus. Panitia
yang lain sudah pada datang. Helmi berjalan mendekati aku dan Iin. “Kok baru datang Yaroh?” Dengan sedikit nyengir aku menjawab, “Maaf Hel, nunggu tebengan dulu.” Helmi sudah
terbiasa dengan alasanku yang satu ini. Dia menanggapi dengan senyum datar. “Sudah
makan Hel?” Tanyaku padanya. Sudah menjadi kebiasaanku dua hari ini untuk
melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang sama setiap kali bertemu dengan Helmi.
Ya, tentu saja karena aku masih ingat betul pada peristiwa dua hari yang lalu.
Peristiwa itu terjadi pada Kamis, 1
September. Sekitar pukul 19:22, ia datang ke kosku. “Halo Yaroh,” suara di
Gendut –begitu panggilan akrabnya- di ‘seberang sana’, “kamu turun ya! Aku sudah
di depan kosmu.”
“Oh iya Hel,” jawabku dari lantai dua
kosku, “sek aku turun.” Helmi sudah
terbiasa datang ke kosku mendadak. Aku segera
turun ke lantai dasar. Ia sudah nongkrong di depan kos.
“Ada apa Hel?” Tanyaku ketus.
“Nggak
ada apa-apa, Yaroh. Cuma mau nitip baner ini. Besok pagi mau dipasang.”
“Oalah, saya kira ada apa.”
“Yar, aku lapar. Kamu ada makanan ta?” Helmi melontarkan pertanyaannya dengan
raut pucat. Ia terlihat lemas. Tampak sekali kalau ia sedang lapar.
“Nggak
Hel. Makananku sudah pada habis.” Aku dan Ain, teman satu kamarku baru saja
selesai makan. Bau khas ikan asin dan terasi masih melekat di tanganku.
“Kalau begitu aku pinjam uang ya, buat
beli nasi.”
“Loh,
emang kamu nggak makan dari kapan
Hel?” Tanyaku cemas melihat raut mukanya semakin memucat.
“Dari tadi pagi, Yar,” suaranya semakin
lirih dibandingkan dengan suaranya pada biasanya. Hari itu, jadwal kuliah kami
cukup padat. Dari pukul 07.00 sampai pukul 15.40. Hmmm, tentu tidak heran jika
ia kelaparan.
“Tunggu dulu, aku ambilkan uang.” Aku
bergegas ke lantai dua dengan sedikit tergopoh demi menyelamatkan hidup teman
sekelasku itu.
Ketika turun, aku sangat kaget. Helmi
tergeletak di tanah. Kenapa dengan anak ini? Aku belum pernah melihatnya
seperti ini sebelumnya. Apa yang harus aku lakukan? Pikiranku melayang ke sana
ke mari. Bagaimana kalau dia kenapa-kenapa? Siapa yang akan bertanggung-jawab?
Bagaimana kalau dia...? Tapi aku segera menghapus selintas pikiran itu. Itu
tidak mungkin. Apa sebabnya dia tiba-tiba seperti itu.
“Helmi, Helmi. Hel, kamu kenapa Hel? Ya,
Allah kenapa anak ini? Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana ini? Apa yang bisa
aku lakukan?” Selain panik, aku tidak mampu menggeser badannya seinci pun. Tapi
masak aku membiarkannya tergeletak di tanah begitu saja? Aku memanggil Mbak
Syamsiah, penjaga kos. Aku lari ke kamarnya, “Mbak Syam, boleh minta
bantuannya?”
“Bantuan apa Yaroh?”
“Ayo ke sini dulu, Mbak.”
Mbak Syamsiah terlihat heran, seakan-akan
siap melempar banyak pertanyaan padaku.
“Kenapa ini Yaroh?”
“Aku nggak
tahu Mbak. Bisa minta tolong bantu aku untuk memindahkannya ke ruang tamu, Mbak?”
“Oalah, iya, ayo.”
Aku dan Mbak Syamsiah berusaha menggotong
Helmi. Sungguh Si Gendut ini berat sekali, rutukku dalam hati.
“Panggil Anggun, Yaroh.”
“Iya, Mbak.” Aku memanggil Anggun. Dia
kebingunggan. Aku memanggilnya tanpa menjelaskan maksudku. Dengan kebingungan
memancar di matanya, Anggun ikut membantu menggotong Si Gendut. Kami dapat menggotongnya
ke ruang tamu. Kami berusaha ‘menyadarkannya.’ Kupancing kesadarannya dengan
bau minyak kayu putih. Si Gendut masih tidak sadarkan diri. Kuolesi pelipisnya
dengan minyak kayu putih. Selang beberapa detik, Helmi membuka mata.
“Helmi, Hel. Kamu bisa mendengar
suaraku?”
“Iya, Yaroh, boleh kuminta air gula?”
“Air gula? Baiklah, tunggu sebentar.”
Kupikir saat ini Helmi sudah paham betul
dengan apa yang terjadi pada tubuhnya. Begitu pula dengan apa yang harus
dilakukan untuk menangani ini semua. Kusodorkan air gula dengan raut muka
santai. Aku berusaha menyembunyikan kebingungan. Kulihat ia teramat bingung
untuk menjelaskan kejadian itu.
“Yaroh, aku pulang dulu ya. Mbak-Mbak
terima kasih ya. Maaf merepotkan sekali.”
“Iya, Hel. Ini uangnya. Hati-hati.”
Kuantarkan ia keluar hingga menaiki
sepeda motornya. Kupastikan, ia baik-baik saja.
“Aku tidak apa-apa, Yaroh. Nanti di waktu
luang, aku ceritakan semuanya. Kenapa tadi bisa seperti itu.”
“Iya, Hel. Hati-hati. Bismillah dulu.” Aku
nyengir, berusaha mencairkan suasana. Aku pastikan, aku menanggapi kejadian itu
dengan santai.
“Oke, Yaroh.”
Dia meninggalkan kosku. Aku mengikutinya
dengan ujung mataku hingga benar-benar tubuh gendutnya lenyap di tikungan
jalan. Aku masuk kos. Aku lihat Mbak Syamsiah dan Anggun masih kebingungan.
“Sebenarnya tadi ada apa, Mbak Yaroh?”
Anggun bertanya, bingung.
“Aku juga kurang paham, Nggun. Baru kali
ini dia seperti itu.”
“Memangnya dia siapa, Mbak?”
“Teman sekelasku, Nggun. Ya udah, makasih
ya udah dibantu Mbak, Nggun. Aku mau ke atas dulu,” aku segera ke atas,
menghindari pukulan-pukulan pertanyaan yang tentu saja tidak semuanya dapat
kutangkis nantinya.
“Oh, iya,” jawab mereka.
Sejak
kejadian itu, aku tidak pernah mengungkit-ungkit lagi. Akan kutunggu dia
bercerita. Hanya saja, aku sering bertanya padanya ‘apakah dia sudah makan?’
entah kenapa aku yakin, kejadian malam itu berkaitan erat dengan pola makannya
yang sangat tidak teratur. Sejak menjadi ketua HMP dia benar-benar fokus untuk
memajukan HMP. Mesti saya akui, sejak kepemimpinannya, banyak kegiatan dan
prestasi yang sudah dilakukan HMP PBSI. Tapi, tetap akan kutunggu saja dia mau
bercerita dengan sendirinya.
Keren ...
BalasHapusSemangat untuk selalu menulis mbak Yaroh🙌 ...