Langsung ke konten utama

Helmi Si Gendut


Oleh Mukhayyaroh, Mahasiswa PBSI 2014, asal Gresik

Pada hari pertama OSPEK PARODI (Pengenalan Program Studi) III PBSI tahun 2016, mahasiswa baru diagendakan hadir di depan gedung RKB-D pada pukul 06:00. Karena itu, panitia “diwajibkan” hadir sebelum pukul 06.00. Pukul 06:00 aku bersiap ke kampus. Pagi itu, aku menunggu balasan BBM dari Iin. Aku biasa nebeng Iin kalau ada acara-acara di HMP. “Jangan-jangan Iin masih di perjalanan,” seruku dalam hati. Pukul 06:07, Iin belum membalas. Bagaimana ia membalas, BBMnya saja masih centang? Pukul 06:08 pesan itu baru terkirim. ‘Kulihat’ dia sedang menulis pesan dan cemplung, pesan darinya masuk. “Aku jemput sekarang Yaroh.”
Pukul 06:23 aku sampai di kampus. Panitia yang lain sudah pada datang. Helmi berjalan mendekati aku dan Iin. “Kok baru datang Yaroh?” Dengan sedikit nyengir aku menjawab, “Maaf Hel, nunggu tebengan dulu.” Helmi sudah terbiasa dengan alasanku yang satu ini. Dia menanggapi dengan senyum datar. “Sudah makan Hel?” Tanyaku padanya. Sudah menjadi kebiasaanku dua hari ini untuk melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang sama setiap kali bertemu dengan Helmi. Ya, tentu saja karena aku masih ingat betul pada peristiwa dua hari yang lalu.
Peristiwa itu terjadi pada Kamis, 1 September. Sekitar pukul 19:22, ia datang ke kosku. “Halo Yaroh,” suara di Gendut –begitu panggilan akrabnya- di ‘seberang sana’, “kamu turun ya! Aku sudah di depan kosmu.”
“Oh iya Hel,” jawabku dari lantai dua kosku, “sek aku turun.” Helmi sudah terbiasa datang ke kosku mendadak. Aku segera  turun ke lantai dasar. Ia sudah nongkrong di depan kos.
“Ada apa Hel?” Tanyaku ketus.
Nggak ada apa-apa, Yaroh. Cuma mau nitip baner ini. Besok pagi mau dipasang.”
“Oalah, saya kira ada apa.”
“Yar, aku lapar. Kamu ada makanan ta?” Helmi melontarkan pertanyaannya dengan raut pucat. Ia terlihat lemas. Tampak sekali kalau ia sedang lapar.
Nggak Hel. Makananku sudah pada habis.” Aku dan Ain, teman satu kamarku baru saja selesai makan. Bau khas ikan asin dan terasi masih melekat di tanganku.
“Kalau begitu aku pinjam uang ya, buat beli nasi.”
Loh, emang kamu nggak makan dari kapan Hel?” Tanyaku cemas melihat raut mukanya semakin memucat.
“Dari tadi pagi, Yar,” suaranya semakin lirih dibandingkan dengan suaranya pada biasanya. Hari itu, jadwal kuliah kami cukup padat. Dari pukul 07.00 sampai pukul 15.40. Hmmm, tentu tidak heran jika ia kelaparan.
“Tunggu dulu, aku ambilkan uang.” Aku bergegas ke lantai dua dengan sedikit tergopoh demi menyelamatkan hidup teman sekelasku itu.
Ketika turun, aku sangat kaget. Helmi tergeletak di tanah. Kenapa dengan anak ini? Aku belum pernah melihatnya seperti ini sebelumnya. Apa yang harus aku lakukan? Pikiranku melayang ke sana ke mari. Bagaimana kalau dia kenapa-kenapa? Siapa yang akan bertanggung-jawab? Bagaimana kalau dia...? Tapi aku segera menghapus selintas pikiran itu. Itu tidak mungkin. Apa sebabnya dia tiba-tiba seperti itu.
“Helmi, Helmi. Hel, kamu kenapa Hel? Ya, Allah kenapa anak ini? Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana ini? Apa yang bisa aku lakukan?” Selain panik, aku tidak mampu menggeser badannya seinci pun. Tapi masak aku membiarkannya tergeletak di tanah begitu saja? Aku memanggil Mbak Syamsiah, penjaga kos. Aku lari ke kamarnya, “Mbak Syam, boleh minta bantuannya?”
“Bantuan apa Yaroh?”
“Ayo ke sini dulu, Mbak.”
Mbak Syamsiah terlihat heran, seakan-akan siap melempar banyak pertanyaan padaku.
“Kenapa ini Yaroh?”
“Aku nggak tahu Mbak. Bisa minta tolong bantu aku untuk memindahkannya ke ruang tamu, Mbak?”
“Oalah, iya, ayo.”
Aku dan Mbak Syamsiah berusaha menggotong Helmi. Sungguh Si Gendut ini berat sekali, rutukku dalam hati.
“Panggil Anggun, Yaroh.”
“Iya, Mbak.” Aku memanggil Anggun. Dia kebingunggan. Aku memanggilnya tanpa menjelaskan maksudku. Dengan kebingungan memancar di matanya, Anggun ikut membantu menggotong Si Gendut. Kami dapat menggotongnya ke ruang tamu. Kami berusaha ‘menyadarkannya.’ Kupancing kesadarannya dengan bau minyak kayu putih. Si Gendut masih tidak sadarkan diri. Kuolesi pelipisnya dengan minyak kayu putih. Selang beberapa detik, Helmi membuka mata.
“Helmi, Hel. Kamu bisa mendengar suaraku?”
“Iya, Yaroh, boleh kuminta air gula?”
“Air gula? Baiklah, tunggu sebentar.”
Kupikir saat ini Helmi sudah paham betul dengan apa yang terjadi pada tubuhnya. Begitu pula dengan apa yang harus dilakukan untuk menangani ini semua. Kusodorkan air gula dengan raut muka santai. Aku berusaha menyembunyikan kebingungan. Kulihat ia teramat bingung untuk menjelaskan kejadian itu.
Setelah menghabiskan air gula, ia bergegas pamit pulang. Aku serahkan uang yang tadinya akan dipinjamnya untuk membeli nasi.
“Yaroh, aku pulang dulu ya. Mbak-Mbak terima kasih ya. Maaf merepotkan sekali.”
“Iya, Hel. Ini uangnya. Hati-hati.”
Kuantarkan ia keluar hingga menaiki sepeda motornya. Kupastikan, ia baik-baik saja.
“Aku tidak apa-apa, Yaroh. Nanti di waktu luang, aku ceritakan semuanya. Kenapa tadi bisa seperti itu.”
“Iya, Hel. Hati-hati. Bismillah dulu.” Aku nyengir, berusaha mencairkan suasana. Aku pastikan, aku menanggapi kejadian itu dengan santai.
“Oke, Yaroh.”
Dia meninggalkan kosku. Aku mengikutinya dengan ujung mataku hingga benar-benar tubuh gendutnya lenyap di tikungan jalan. Aku masuk kos. Aku lihat Mbak Syamsiah dan Anggun masih kebingungan.
“Sebenarnya tadi ada apa, Mbak Yaroh?” Anggun bertanya, bingung.
“Aku juga kurang paham, Nggun. Baru kali ini dia seperti itu.”
“Memangnya dia siapa, Mbak?”
“Teman sekelasku, Nggun. Ya udah, makasih ya udah dibantu Mbak, Nggun. Aku mau ke atas dulu,” aku segera ke atas, menghindari pukulan-pukulan pertanyaan yang tentu saja tidak semuanya dapat kutangkis nantinya.
“Oh, iya,” jawab mereka.
Sejak kejadian itu, aku tidak pernah mengungkit-ungkit lagi. Akan kutunggu dia bercerita. Hanya saja, aku sering bertanya padanya ‘apakah dia sudah makan?’ entah kenapa aku yakin, kejadian malam itu berkaitan erat dengan pola makannya yang sangat tidak teratur. Sejak menjadi ketua HMP dia benar-benar fokus untuk memajukan HMP. Mesti saya akui, sejak kepemimpinannya, banyak kegiatan dan prestasi yang sudah dilakukan HMP PBSI. Tapi, tetap akan kutunggu saja dia mau bercerita dengan sendirinya.

Komentar

  1. Keren ...
    Semangat untuk selalu menulis mbak Yaroh🙌 ...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inilah Ciri Khas Kami: Baca Puisi

Oleh Nahdliya, mahasiswa PBSI 2015 asal Pantura Jawa Helmi Yahya? Begitulah penuturannya saat aku pertama kali mengenalnya. Pertama kali kami berjumpa dan bertatap muka, tepatnya saat aku melewati masa-masa ospek di lingkup Prodi PBSI. Aku sempat heran dan meragukan nama aslinya. Apakah benar seperti itu atau hanya sebagai dalih agar dia tenar di kalangan maba. Oh hanya Tuhan yang tahu mengenai namanya. Dia memperkenalkan diri pada kami sebagai wakil ketua HMP saat itu. Aku sempat berpikir keras, mencoba memahami jabatan yang dipegangnya. Bukan meragukan, tapi lebih ke arah tidak percaya. Setahuku dia konyol, lucu, gokil dan entah apa lagi. Segalayang berbau komedi melekat pada dirinya. Itu yang membuat aku tidak percaya dengan jabatan wakil ketua HMP yang dipegangnya. Di awal pertemuan dengan suasana lingkungan perguruan tinggi, aku lebih memilih acuh tak acuh tentang kak Helmi. Entah dia mau menjadi apaatau menjabat apa. Beberapa hari mengikuti ospek, aku mulai mengerti sisi

Es Lilin Cabbi

Oleh  Kuswanto Ferdian, King Favorit UTM 2016 dan Mahasiswa PBSI 2014 asal Pamekasan Perkenalkan namaku Kuswanto Ferdian. Kalian bisa memanggilku Wawan. Kawan-kawan  di desa memanggilku “Phebeng”. Entahlah apa maksud dari panggilan itu. Aku menerima panggilan itu begitu saja. Aku berasal dari Pulau Garam Madura. Waktu aku masih kanak-kanak , aku sering bermain dengan kawan-kawan d esaku, D esa K olpajung, Pamekasan, Madura. Desaku populer dengan julukan “Kampung Hijau”. Julukan itu diberikan karena desaku sering menjuarai lomba “Adipura Kabupaten” yang diadakan setahun sekali. Selain banyak pohon yang rindang serta daunnya yang hijau, di sepanjang jalan desaku banyak bangunan dengan cat warna hijau. Baik bangunan Sekolah, toko, maupun rumah warga. Alasan itulah yang menjadikan desaku mandapat julukan “Kampung Hijau”. Desaku memiliki beberapa permainan tradisional. Permainan yang paling aku sukai waktu kanak-kanak, permainan “ E s Lilin Cabbi ” . P ermainan ini hampir sam

Pak Anu

O leh Dwi Ajeng Kartini Selama kuliah dua semester -dari semester satu sampai semester dua- baru kali ini aku bertemu dan diajar oleh dosen unik. Dikatakan unik karena cara mengajarnya santai dan mudah dipahami. Cara menyampaikan materi sangatlah berbeda dengan dosen lain yang cenderung membuat tegang. Hehe. Beliau adalah Bapak Salamet Wahedi. Sebelum ‘mengenal’nya, kami sudah mengetahuinya. Beliau adalah dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Desas-desisnya, beliau termasuk dosen killer , tentu aku langsung kaget. Aku takut ketika mendengar, beliau dosen yang killer . Aku takut, beliau di kelas sangat kaku, membosankan, dan tentu -saja bicara dosen killer - pelit nilai. Jujur saja, saat petama melihatnya memang benar terlihat seperti dosen killer. Aku sempat bingung karena pertama masuk, beliau duduk hanya diam. Aku sampai berpikir, sebenarnya dosen ini sedang marah atau memang gayanya seperti ini? Dengan tatapan mata yang sinis dan tidak mau menatap mahasiswa,