Oleh Anggun Putri AM, Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa
Indonesia Universitas Trunojoyo Madura/aktivis Komunitas Karsa dan TBM Lembu
Madura
Parade pentas teater yang
digelar paro Juni 2016 lalu oleh Teater Sempat (Semester Empat) belum usai
meski naskah pilihan yang diambil dari sepuluh sastrawan ternama naik di atas
panggung pementasan. Teater yang digawangi mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa
Indonesia Universitas Trunojoyo Madura (PBI UTM) itu, alhasil masih membuahkan
buntut berupa segebok diary.
Setumpuk catatan harian tersebut merupakan
tumpahan rasa, keluh kesah, amarah, keharuan, kekhawatiran, berbagai gagasan
kreatif dan pertukaran pikiran yang mereka catat selama proses awal hingga
akhir. Catatan dari sederet proses panjang itulah yang mereka tuliskan dengan
apik sebagai tugas akhir semester dan kini menjadi segebok antologi diary.
Pilihan naskah, seleksi aktor, pembentukan tim,
bedah naskah, olah vokal, olah tubuh, hingga set panggung yang
menguras banyak tenaga dan pemikiran itu bukan hal mudah karena pengemban mata
kuliah seni teater ini bukanlah pemain lama. Proses yang singkat, pengalaman
pas-pasan merupakan tantangan bagi mahasiswa PBI angkatan 2014 dalam menggarap
proyek besar pentas teater yang telah digadang-gadang naik pentas bertepatan di
malam Ramadlan silam.
“Menguras tenaga, menegangkan dan menguji
kesabaran,” begitu komentar Arum Puriani,
pimpinan produksi sepuluh naskah tersebut. Postur tubuh Ajo yang terlalu besar
merupakan contoh sekelumit permasalahan yang membuat tim manajemen pementasan
banting otak. Ke sana ke mari mencari kostum Belanda putih yang pas untuk
dikancingkan pada tubuh Ajo sebagai Van Ress menjadi
kisah yang menarik untuk dibuka dan dibaca kembali dari catatan harian yang
mereka tuliskan.
Teater Sempat, sempat tampil, sempat eksis,
menjadi jargon ampuh memacu semangat 120 mahasiswa PBI semester empat mulai
dari tim sutradara, aktor, hingga 45 tim manajemen untuk kerja total di dalam
panggung nyata pementasan. Mulai dari hal-hal rumit seperti membuat banner,
pamplet, buklet, stiker, pinjam kostum, set panggung dan
menciptakankecocokan antar pemain. Alhasil, dari kerja tim mereka mampu menjual
800 lebih tiket.
Sekaligus dapat mendatangkan aktivis teater asal
Sumenep, Mahendra, Lubet Arga Tengah dari Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta
Surabaya, Alek Subairi,
aktivis teater TI Unesa, untuk menjadi tamu undangan yang memberikan tambahan
ilmu pengetahuan mengenai keaktoran dan pementasan dalam diskusi-diskusi di
belakang maupun di depan panggung parade pementasan Teater Sempat.
Hari pertama dimulai dengan pementasan naskah Arifin C Noor dengan
judul Pada Suatu Hari, Usmar Ismail Ayahku Pulang, Motinggo
Busye Malam Jahanam. Hari kedua diunggah naskah Nano Riantiarno berjudul Jam
Dinding yang Berdetak, kemudian Karya Utuy Tatang Sontani. Hari ketiga dimainkan
karya Saini dengan judul Dunia Orang-orang Mati, dilanjutkan karya
Iwan Simatupang Petang di Taman, kemudian karya Arifin C Noor dengan
judul Mega-mega, terakhir karya Putu Wijaya berjudul Lautan
Bernyanyi.
Dosen pengampu mata kuliah teater, Set Wahedi,
alumnus magister of Art Universitas Gajah Mada tak ketinggalan turut
menampilkan naskah Orang Bijak yang terinspirasi dari cerpen Hero karya Putu Wijaya pada
pentas monolognya sebelum parade pementasan teater ditutup.
Menyasar seluruh warga kampus UTM untuk
berbondong-bondong menyaksikan parade pementasan sepuluh naskah tersebut akan
menciptakan rasa cinta pada kesenian. Menyadari bahwa banyak nilai moral
dan religiusitas yang dapat diambil dari sebuah pementasan. Karena teater
adalah cermin kehidupan.
Komentar
Posting Komentar