Langsung ke konten utama

Dhi’-Dhindhi’

Oleh Mutmainnah (Iin)

Cobalah tanyakan pada anak-anak kecil di Madura, apa saja permainan tradisional yang mereka kenal? Jawabannya boleh jadi sangat mengejutkan, karena amat sedikit yang mengenalnya. Padahal, Madura punya banyak permainan tradisional yang beragam. Bahkan, dalam satu jenis permainan saja, ada banyak model tata cara yang bebeda di masing-masing daerah.

Memang, permainan tradisional anak-anak Madura mulai tidak banyak diminati. Di kampung saya sendiri, Desa Bator, Kec. Klampis, Bangkalan, sudah sangat jarang ditemui anak-anak bermain takjan, tek-eteghan, dan sebagainya. Mereka lebih akrab dengan stick play station (PS), dan iphone atau tombol ponsel.

Tentu saja, fenomena ini punya dampak buruk pada generasi masa depan. Ketergantungan terhadap permainan digital membawa efek psikologis pada anak. Yang paling mengkhawatirkan, pengebirian terhadap imajinasi mereka. Di ruang digital, imajinasi anak terpenjara. Game yang mereka mainkan sudah terstruktur. Pikiran mereka otomatis dikonstruk untuk mengikuti mekanisme yang dibikin oleh pembuat game. Mereka kehilangan kreativitas untuk berimprovisasi.

Dulu, untuk bermain ampol, anak-anak perlu punya kecakapan membuat benda tersebut. Mereka harus mengukur dimensinya agar ketika dimainkan tidak kalang-kabut dan bisa memenangkan pertandingan. Kini, kecakapan tersebut tidak perlu dimiliki oleh anak-anak dalam bermain game. Mereka hanya perlu membeli ponsel atau computer. Beratus-ratus game sudah bisa mereka mainkan tanpa perlu membuatnya sendiri.

Berikut lagu permainan tradisional yang biasa saya mainkan, dhi’- dhindhi’ jegung jhebe// Reng dheje songai// Ka’ berka’an nemmo olar// Olarrah biru // Eluar bedhe tamoi// Amperah taker// Tekerra petdhe// Tambulih tettel// Tettelah berui// Bueng ke patek, pate’eh tedung// Bueng ke songai, songayyah be’e// Bueng ke tase’, tase’eh banjer//Pas teppa’ ke bung najer. Permainan ini bebas dimainkan oleh beberapa orang. Tidak terbatas pemainnya. Biasanya permainan ini dimainkan oleh anak perempuan, tapi anak laki-laki diperbolehkan ikut bermain. Peraturan dalam permainan ini adalah duduk berdempetan atau berdampingan dengan melonjorkan kedua kaki ke depan. Permainan dhi’-dhindhi’ dinyanyiakan oleh satu orang saja. Setelah selesai bernyanyi, di mana tangan yang bernyanyi itu berhenti, kaki pemain tersebut harus ditekuk.

Ketika semua kaki dilonjorkan atau diluruskan ke depan secara berdempetan baru permainnan ini dimulai dan bernyanyi dhi’-dhindhi’. Seterusnya permainan ini dilakukan terus-menerus hingga semua kaki ditekuk ke balakang. Pemain yang kakinya paling belakang ditekuk itulah pemenangnya.

Permainan ini ada sejak dahulu. Aku mengenal permainan ini dari nenek. Dahulu nenekku memperkenalkan permainan ini dengan cara hanya bernyanyi. Tanpa menunjukkan cara permainannya. Setelah teman-temanku berkumpul dan bermain, barulah nenek mencontohkan cara bermain permainan ini.

Tapi sayang permainan ini sangat jarang peminatnya, karena yang dominan bermain permainan ini hanya anak perempuan.  Permainan ini hampir punah dan tidak dimainkan oleh anak-anak lagi. Karena itu, anak zaman sekarang lebih sibuk bermain tablet dan lain sebagainya. Orang tua juga jarang mengkhawatirkan anaknya bermain dengan tablet. Permainan zaman dahulu dan zaman sekarang sangat berbeda jauh. Waktu dulu, aku dan teman-temanku sering memainkan permainan yang melatih kebersamaan dan kekompakan antarteman sebaya.

Ketika kecil aku bermain permainan seperti peta’ umpet, berlari, main kelereng dan lain-lain. Tanpa tahu apa itu tablet dan handpone, hingga pada saat ini permainan dhi’-dhindhi’ sudah mulai punah. Kebanyakan anak tidak tahu permainan dhi’-dhindhi’. Karena itulah, anak-anak sekarang jauh dari teman dan lebih akrab terhadap tablet. Anak juga tidak mengerti tentang kekompakan dan kebersamaan serta cara bekerja sama yang baik antarteman sebaya.

Permainan tradisional memiliki nilai edukatif. Nilai-nilai itu misalnya keakraban, kemandirian, kerja keras, sportivitas, cara mengatur strategi, keseimbangan, dan lain-lain. Semua nilai tersebut sangat membantu terhadap perkembangan karakter anak. Singkatnya, di dalam praktiknya, anak-anak diajarkan hal-hal yang bisa membangun karakter positif dalam diri mereka.

Nilai edukatif dalam permainan dhi’-dhindhi’ antara lain, pertama, kesolidan. Permainan itu membutuhlan beberapa orang. Dengan demikian, permainan itu bisa menumbukan nilai persaudaraan dan kekompakan antar-teman. Kedua, kecermatan. Bagaimanapun, setelah permainan itu dimulai anak-anak akan mengikuti berhentinya lagu itu. Ketiga keberanian. Mereka harus punya inisiatif mengambil langkah-langkah berani untuk mengikuti lagu permainan yang berhenti.

Keempat keakraban dengan teman sebaya. Dengan permainan ini anak-anak bisa bercanda barsama dan saling kompak satu sama lainnya. Meskipun ada perselisihan antarteman yang curang dalam permainan itu, salah satu anak yang berselisih itu bisa mengatasinya dan memulai lagu perainan tersebut kembali.

Demikianlah, cerita permainan dhi’-dhindhi’ yang mengandung nilai-nilai edukatif. Sayangnya permainan itu mulai redup dari daftar permainan anak-anak di Madura. Di sebagian tempat mungkin masih ada yang mempraktikkannya. Tapi lambat laun ia mulai digantikan oleh game-game digital dari negeri seberang. 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inilah Ciri Khas Kami: Baca Puisi

Oleh Nahdliya, mahasiswa PBSI 2015 asal Pantura Jawa Helmi Yahya? Begitulah penuturannya saat aku pertama kali mengenalnya. Pertama kali kami berjumpa dan bertatap muka, tepatnya saat aku melewati masa-masa ospek di lingkup Prodi PBSI. Aku sempat heran dan meragukan nama aslinya. Apakah benar seperti itu atau hanya sebagai dalih agar dia tenar di kalangan maba. Oh hanya Tuhan yang tahu mengenai namanya. Dia memperkenalkan diri pada kami sebagai wakil ketua HMP saat itu. Aku sempat berpikir keras, mencoba memahami jabatan yang dipegangnya. Bukan meragukan, tapi lebih ke arah tidak percaya. Setahuku dia konyol, lucu, gokil dan entah apa lagi. Segalayang berbau komedi melekat pada dirinya. Itu yang membuat aku tidak percaya dengan jabatan wakil ketua HMP yang dipegangnya. Di awal pertemuan dengan suasana lingkungan perguruan tinggi, aku lebih memilih acuh tak acuh tentang kak Helmi. Entah dia mau menjadi apaatau menjabat apa. Beberapa hari mengikuti ospek, aku mulai mengerti sisi

Es Lilin Cabbi

Oleh  Kuswanto Ferdian, King Favorit UTM 2016 dan Mahasiswa PBSI 2014 asal Pamekasan Perkenalkan namaku Kuswanto Ferdian. Kalian bisa memanggilku Wawan. Kawan-kawan  di desa memanggilku “Phebeng”. Entahlah apa maksud dari panggilan itu. Aku menerima panggilan itu begitu saja. Aku berasal dari Pulau Garam Madura. Waktu aku masih kanak-kanak , aku sering bermain dengan kawan-kawan d esaku, D esa K olpajung, Pamekasan, Madura. Desaku populer dengan julukan “Kampung Hijau”. Julukan itu diberikan karena desaku sering menjuarai lomba “Adipura Kabupaten” yang diadakan setahun sekali. Selain banyak pohon yang rindang serta daunnya yang hijau, di sepanjang jalan desaku banyak bangunan dengan cat warna hijau. Baik bangunan Sekolah, toko, maupun rumah warga. Alasan itulah yang menjadikan desaku mandapat julukan “Kampung Hijau”. Desaku memiliki beberapa permainan tradisional. Permainan yang paling aku sukai waktu kanak-kanak, permainan “ E s Lilin Cabbi ” . P ermainan ini hampir sam

Pak Anu

O leh Dwi Ajeng Kartini Selama kuliah dua semester -dari semester satu sampai semester dua- baru kali ini aku bertemu dan diajar oleh dosen unik. Dikatakan unik karena cara mengajarnya santai dan mudah dipahami. Cara menyampaikan materi sangatlah berbeda dengan dosen lain yang cenderung membuat tegang. Hehe. Beliau adalah Bapak Salamet Wahedi. Sebelum ‘mengenal’nya, kami sudah mengetahuinya. Beliau adalah dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Desas-desisnya, beliau termasuk dosen killer , tentu aku langsung kaget. Aku takut ketika mendengar, beliau dosen yang killer . Aku takut, beliau di kelas sangat kaku, membosankan, dan tentu -saja bicara dosen killer - pelit nilai. Jujur saja, saat petama melihatnya memang benar terlihat seperti dosen killer. Aku sempat bingung karena pertama masuk, beliau duduk hanya diam. Aku sampai berpikir, sebenarnya dosen ini sedang marah atau memang gayanya seperti ini? Dengan tatapan mata yang sinis dan tidak mau menatap mahasiswa,