Langsung ke konten utama

“Oh, Pak Set, Too...”

Oleh Imsiyah Kholifatus Solihah*
           
Malam yang aku jalani sudah usai,” gumamku dalam hati. Badanku masih lelah bangun pagi, karena aktivitas melelahkan di hari kemarin. Sayup-sayup kokok ayam di rumah belakang asrama terdengar. Aku bangun dengan perlahan. Seolah enggan meninggalkan tempatku berjelajah ke dunia mimpi.  Aku sangat lelah membuka mata. Sukmaku terasa tak bersatu dengan raga.

Semua lelahku dan malasku pecah oleh suara pujian yang melengking dari mushalla asrama. Aku bergegas berwudhu’ untuk menghadap Sang Ilahi Robbi. Memanjatkan doa-doaku. Salah satunya saya memohon kelancaran atas perjalananku mecari ilmu. Perjalanan untuk tugas suci yang mulia.

Aku lihat mentari memancarkan sinarnya untuk menyapa dunia. Tak pernah aku melupakan kebiasaanku di rumah keduaku: menatap sang mentari muncul dari ufuk timur. Sunset itu terlihat indah. Tak lupa kulihat genting-genting rumah penduduk, berjejeran jelas walau dari kejauhan. Aku punya alasan menatap rumah-rumah itu. Aku merasa dekat dengan rumahku sendiri. Rumah itu persis dengan rumahku jika dilihat dari belakang. Setidaknya aku bisa melampiaskan kerinduan walau tempat pelampiasan itu jauh dari tempat yang benar-benar aku rindukan.

Kicauan burung seakan melantunkan sebuah nada tentang kerinduan. Tak ingin ada tetesan air mata yang menetes di pagi cerah  itu, aku segera mandi. Aku bersiap untuk kuliah pagi itu. Seperti biasa aku berangkat kuliah dengan kedua temanku. Selama di perjalanan menuju kampus seperti biasa kami bercerita tentang banyak hal. Bercerita tentang mata kuliah untuk pagi hari hingga sore hari.

Bahasa dan Sastra Madura, mata kuliah yang harus aku tempuh pagi itu. Kudengar mata kuliah ini akan diampu oleh Pak Salamet Wahedi, yang biasa dipanggil Pak Set. Aku tidak pernah diajari olehnya. Aku pun tidak pernah tahu bagaimana dia mengajari mahasiswanya. Pelitkah dia terhadap nilai?, terbesit rasa takut di pikiranku tentang hal itu. Akan tetapi yang aku tahu dia berbeda dengan dosen lainnya. Dia lebih dekat dengan mahasiswa dan suka berbaur.

Aku pernah melihatnya di kantin kampus bersama dengan mahasiswanya. Mungkin mereka semester 5? Kulihat seperti tak ada jarak ataupun perbedaan antara dosen dan mahasiswa. Sungguh awalnya aku menganehkan hal itu.

Jam kuliah masuk. Pak Set terlihat memakai kemeja abu-abu dan celana dongker tua. Pagi itu hanya kontrak kuliah dan perkenalan. Mungkin saja sebentar. Cepat pulang. Pak Set memperkenalkan diri. Suaranya terdengar jelas. “Nama saya Salamet Wahedi biasa dipanggil Set Wahedi,” ujarnya. Setelah perkenalan dan kontrak kuliah, Pak Set memberikan pengantar (penjelasan) tentang mata kuliah Bahasa dan Sastra Madura.

Setelah begitu lama aku mengikuti pembelajaran, rasa takut akan tak mengerti pada penjelasan suatu materi yang harus dipelajari perlahan hilang. Penjelasan yang diberikan Pak Set tentang mata kuliah itu sangat jelas. Aku bisa mengertinya. Aku sedikit mengantuk pagi itu. Bukan karena penjelasan Pak Set membosankan. Mungkin karena efek obat yang kuminum pagi itu. Sebelum masuk kuliah kepalaku sedikit pusing.

Aku dengar Pak Set seorang sastrawan. Kabar itu membuatku semakin ingin mengenal dekat dengan Pak Set, seperti kedekatannya dengan kakak-kakak kelasku yang pernah makan bersama di kantin itu. Aku ingin belajar dan berdiskusi tentang banyak hal, salah satunya tentang menulis. Hobiku menulis. Menulis cerpen dan puisi. Tapi aku sedikit aneh. Aku tidak hobi membaca. Padahal untuk bisa menulis, kita harus membaca terlebih dahulu.

Oh, namanya Set wahedi. Baru aku mengerti, mengenal orang tak harus aku lihat dari penampilannya. Jujur saja penampilan Pak Set itu tidak sama dengan penampilan dosen. Awalnya aku kira dia bukan dosen di kampus tercintaku. Yah, maklumlah namanya sastrawan. Itu pandanganku waktu aku masih mahasiswa baru di kampus. Akan tetapi semakin lama, Pak Set saat ini terlihat lebih rapi. Penampilannya bisa disamakan dengan dosen-dosen lain.

*Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FIP, Universitas Trunojoyo Madura.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inilah Ciri Khas Kami: Baca Puisi

Oleh Nahdliya, mahasiswa PBSI 2015 asal Pantura Jawa Helmi Yahya? Begitulah penuturannya saat aku pertama kali mengenalnya. Pertama kali kami berjumpa dan bertatap muka, tepatnya saat aku melewati masa-masa ospek di lingkup Prodi PBSI. Aku sempat heran dan meragukan nama aslinya. Apakah benar seperti itu atau hanya sebagai dalih agar dia tenar di kalangan maba. Oh hanya Tuhan yang tahu mengenai namanya. Dia memperkenalkan diri pada kami sebagai wakil ketua HMP saat itu. Aku sempat berpikir keras, mencoba memahami jabatan yang dipegangnya. Bukan meragukan, tapi lebih ke arah tidak percaya. Setahuku dia konyol, lucu, gokil dan entah apa lagi. Segalayang berbau komedi melekat pada dirinya. Itu yang membuat aku tidak percaya dengan jabatan wakil ketua HMP yang dipegangnya. Di awal pertemuan dengan suasana lingkungan perguruan tinggi, aku lebih memilih acuh tak acuh tentang kak Helmi. Entah dia mau menjadi apaatau menjabat apa. Beberapa hari mengikuti ospek, aku mulai mengerti sisi

Es Lilin Cabbi

Oleh  Kuswanto Ferdian, King Favorit UTM 2016 dan Mahasiswa PBSI 2014 asal Pamekasan Perkenalkan namaku Kuswanto Ferdian. Kalian bisa memanggilku Wawan. Kawan-kawan  di desa memanggilku “Phebeng”. Entahlah apa maksud dari panggilan itu. Aku menerima panggilan itu begitu saja. Aku berasal dari Pulau Garam Madura. Waktu aku masih kanak-kanak , aku sering bermain dengan kawan-kawan d esaku, D esa K olpajung, Pamekasan, Madura. Desaku populer dengan julukan “Kampung Hijau”. Julukan itu diberikan karena desaku sering menjuarai lomba “Adipura Kabupaten” yang diadakan setahun sekali. Selain banyak pohon yang rindang serta daunnya yang hijau, di sepanjang jalan desaku banyak bangunan dengan cat warna hijau. Baik bangunan Sekolah, toko, maupun rumah warga. Alasan itulah yang menjadikan desaku mandapat julukan “Kampung Hijau”. Desaku memiliki beberapa permainan tradisional. Permainan yang paling aku sukai waktu kanak-kanak, permainan “ E s Lilin Cabbi ” . P ermainan ini hampir sam

Pak Anu

O leh Dwi Ajeng Kartini Selama kuliah dua semester -dari semester satu sampai semester dua- baru kali ini aku bertemu dan diajar oleh dosen unik. Dikatakan unik karena cara mengajarnya santai dan mudah dipahami. Cara menyampaikan materi sangatlah berbeda dengan dosen lain yang cenderung membuat tegang. Hehe. Beliau adalah Bapak Salamet Wahedi. Sebelum ‘mengenal’nya, kami sudah mengetahuinya. Beliau adalah dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Desas-desisnya, beliau termasuk dosen killer , tentu aku langsung kaget. Aku takut ketika mendengar, beliau dosen yang killer . Aku takut, beliau di kelas sangat kaku, membosankan, dan tentu -saja bicara dosen killer - pelit nilai. Jujur saja, saat petama melihatnya memang benar terlihat seperti dosen killer. Aku sempat bingung karena pertama masuk, beliau duduk hanya diam. Aku sampai berpikir, sebenarnya dosen ini sedang marah atau memang gayanya seperti ini? Dengan tatapan mata yang sinis dan tidak mau menatap mahasiswa,