Langsung ke konten utama

Boi-Boian

Oleh Amalina Syafaatul Udzma, Mahasiswa PGSD 2013 asal Bangkalan

Permainan tradisional adalah salah satu permainan warisan leluhur atau kebiasaan yang sering dilakukan warga jaman dahulu saban kali waktu menganga luang.  Begitu pun ketika saya masih kecil, permainan menjadi arena untuk mengisi waktu. Karenanya, masa kecilku tumbuh bersama kenangan yang tak lekang oleh waktu.

Permainan yang pernah saya mainkan, dan masih membekas dalam ingatan adalah “Boi-boian”. Boi-boian merupakan permainan tradisional yang sederhana, namun mengasyikan dan menegangkan. Dalam permainan ini, setiap peserta harus pandai-pandai menyelamatkan diri. Boi-boian dimainkan oleh dua kelompok, yaitu kelompok yang bermain dan kelompok yang berjaga. Masing-masing kelompok terdiri atas dua orang atau lebih. Karena itu, permainan ini membutuhkan kerjasama antar-pemain dalam satu kelompok. Semakin banyak anak yang ikut bermain, makin bertambah seru permainannya.

Permainan ini dinamakan permainan”boi-boian” karena pada jaman dahulu para pemainnya lebih banyak anak cowok yang dalam bahasa Inggrisnya “boy”. Karena itu, kami biasa menyebut permainan dengan permainan “boi-boian”. Uniknya permainan ini terletak pada aturan membawa bola.

Kelompok yang berjaga berusaha melempar bola untuk mengenai kelompok bermain, tetapi bukan dengan membawa lari bola lalu melemparkannya mengenai tubuh lawan. Bola harus dioperkan kepada anggota kelompoknya sambil berusaha mengejar dan melemparkan bola. Apabila mereka berhasil menyusun pecahan genting tersebut, mereka berteriak 'Boi-boi', yang artinya mereka memenangkan permainan.

Pada perkembangannya, permainan ini dimainkan oleh anak laki-laki dan perempuan. Sayangnya, saya sudah jarang menjumpai permainan tradisional ini. Dalam kenangan saya, boi-boian hampir sama dengan permainan bowling. Kami harus melempar bola ke sasaran yang akan dituju. Untuk membuat bola, kami bisa menggunakan kertas yang digulung kemudian diikat dengan karet gelang atau kita bisa menggunakan bola kasti. Setelah itu, kami mengumpulkan pecahan batu atau genteng yang nantinya akan disusun menjadi piramida.

Sejarah permainan boi-boian  berasal dari permainan anak-anak Cina. Anak-anak Cina biasa menyebutnya dengan permainan “Cinaboi”. Dahulu kala, anak-anak Cina banyak yang bertransmigrasi ke pulau Madura secara tidak langsung. Mereka memainkan permainan “Cinaboi” ini di daerah Madura, sehingga permainan ini berkembang pesat. Pada perkembangannya, anak-anak Madura menyebutnya dengan permainan”Boi-boian”.

Permainan boi-boian ini harus dimainkan oleh dua kelompok. Satu kelompok bertugas untuk melempar bola sedangkan satunya menyusun kumpulan batu menjadi piramida atau tersusun ke atas. Permainan ini  membutuhkan kecepatan dalam menyusun kumpulan- kumpulan batu dan kerja sama antar-anggota.

Kelompok yang bertugas melempar harus bisa melempar hingga mengenai sasaran. Dalam melempar, kelompok pelempar hendaknya melempar bolanya sekencang-kencangnya, sampai kumpulan batu yang disusun oleh tim penyusun roboh. Pelemparan bola ini harus dilakukan secara bergantian antaranggota. Sedangkan tim penyusun berusaha untuk menghalau lemparan bola. Akan tetapi, dalam menghalau laju bola, tim penyusun berusaha sekuat tenaga dan sejeli-jelinya untuk tidak dikena lemparan. Jika lemparan bola tersebut yang mengenai anggotanya, berarti anggota tersebut tidak bisa melanjutkan permainan.

Kelompok yang bertugas menyusun batu, harus bisa menyusun sampai membentuk piramida. Jika tumpukan batunya roboh terkena bola, tim tersebut harus kembali menyusun batu yang berserakan. Karena itu, kelompok penyusun batu harus menunjuk satu orang yang bertugas menjaga tumpukan batu agar tetap membentuk piramida. Para anggota kelompok penyusun batu harus berhati-hati dalam menjaga batu-piramidanya. Bola yang dilemparkan pelempar jangan sampai mengenai kelompok mereka. Karena kalau mereka dikena bola, mereka dianggap gugur. Anggota yang gugur tidak bisa ikut permainan lagi. Ini berarti kerugian buat kelompok penyusun batu. Anggota mereka berkurang satu. Karena itu pula, dalam menyusun batu kelompok penyusun harus cepat dan cekat, sehingga kelompok pelempar tidak punya kesempatan untuk merobohkannya.

Satu ‘babak’ permainan ini akan dianggap selesai, jika kelompok penyusun berhasil menyusun batu sampai membentuk piramida. Setelah batu-batu tersebut tersusun, kelompok penyusun harus cepat mengatakan “Boi”. Dengan demikian, kelompok pelempar bola akan bertukar posisi dengan kelompok penyusun.

Biasanya, aku dan teman-teman memainkan permainan ini di saat jam istirahat sekolah atau ketika pelajaran olahraga berlangsung. Kadang-kadang, kami juga bermain saat pulang dari sekolah. Kalau teman-teman yang sudah SMP dan SMA, biasanya memainkan permainan ini saat pulang dari sekolah dan pada sore hari sebelum maghrib.


Permainan boi-boian ini mengajari kami untuk pandai menjaga kesehatan tubuh. Kebiasaan berlari dan kesigapan dalam menyusun batu dan melempar batu, membuat tubuh kamisegar-bugar. Dengan permainan kami pun berlatih bekerja-sama dengan orang lain sebagai satu   kelompok. Dengan berkemlompok ini, kami berjuang untuk memenangkan satu permainan. Kecuali itu, dengan permainan ini kami menempa kesabaran, melatih ketangkasan, dan mengasah kecerdikan dalam mengalahkan lawan-lawan kami.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inilah Ciri Khas Kami: Baca Puisi

Oleh Nahdliya, mahasiswa PBSI 2015 asal Pantura Jawa Helmi Yahya? Begitulah penuturannya saat aku pertama kali mengenalnya. Pertama kali kami berjumpa dan bertatap muka, tepatnya saat aku melewati masa-masa ospek di lingkup Prodi PBSI. Aku sempat heran dan meragukan nama aslinya. Apakah benar seperti itu atau hanya sebagai dalih agar dia tenar di kalangan maba. Oh hanya Tuhan yang tahu mengenai namanya. Dia memperkenalkan diri pada kami sebagai wakil ketua HMP saat itu. Aku sempat berpikir keras, mencoba memahami jabatan yang dipegangnya. Bukan meragukan, tapi lebih ke arah tidak percaya. Setahuku dia konyol, lucu, gokil dan entah apa lagi. Segalayang berbau komedi melekat pada dirinya. Itu yang membuat aku tidak percaya dengan jabatan wakil ketua HMP yang dipegangnya. Di awal pertemuan dengan suasana lingkungan perguruan tinggi, aku lebih memilih acuh tak acuh tentang kak Helmi. Entah dia mau menjadi apaatau menjabat apa. Beberapa hari mengikuti ospek, aku mulai mengerti sisi

Es Lilin Cabbi

Oleh  Kuswanto Ferdian, King Favorit UTM 2016 dan Mahasiswa PBSI 2014 asal Pamekasan Perkenalkan namaku Kuswanto Ferdian. Kalian bisa memanggilku Wawan. Kawan-kawan  di desa memanggilku “Phebeng”. Entahlah apa maksud dari panggilan itu. Aku menerima panggilan itu begitu saja. Aku berasal dari Pulau Garam Madura. Waktu aku masih kanak-kanak , aku sering bermain dengan kawan-kawan d esaku, D esa K olpajung, Pamekasan, Madura. Desaku populer dengan julukan “Kampung Hijau”. Julukan itu diberikan karena desaku sering menjuarai lomba “Adipura Kabupaten” yang diadakan setahun sekali. Selain banyak pohon yang rindang serta daunnya yang hijau, di sepanjang jalan desaku banyak bangunan dengan cat warna hijau. Baik bangunan Sekolah, toko, maupun rumah warga. Alasan itulah yang menjadikan desaku mandapat julukan “Kampung Hijau”. Desaku memiliki beberapa permainan tradisional. Permainan yang paling aku sukai waktu kanak-kanak, permainan “ E s Lilin Cabbi ” . P ermainan ini hampir sam

Pak Anu

O leh Dwi Ajeng Kartini Selama kuliah dua semester -dari semester satu sampai semester dua- baru kali ini aku bertemu dan diajar oleh dosen unik. Dikatakan unik karena cara mengajarnya santai dan mudah dipahami. Cara menyampaikan materi sangatlah berbeda dengan dosen lain yang cenderung membuat tegang. Hehe. Beliau adalah Bapak Salamet Wahedi. Sebelum ‘mengenal’nya, kami sudah mengetahuinya. Beliau adalah dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Desas-desisnya, beliau termasuk dosen killer , tentu aku langsung kaget. Aku takut ketika mendengar, beliau dosen yang killer . Aku takut, beliau di kelas sangat kaku, membosankan, dan tentu -saja bicara dosen killer - pelit nilai. Jujur saja, saat petama melihatnya memang benar terlihat seperti dosen killer. Aku sempat bingung karena pertama masuk, beliau duduk hanya diam. Aku sampai berpikir, sebenarnya dosen ini sedang marah atau memang gayanya seperti ini? Dengan tatapan mata yang sinis dan tidak mau menatap mahasiswa,