Langsung ke konten utama

Melampaui Kealpaan Manusia Modern

Oleh Wahyudi Kaha

Manusia, dengan segenap hal yang melingkupinya, selalu menjadi tema menarik untuk diperbincangkan, dipersoalkan dan dituliskan. Manusia adalah makhluk yang unik, sekaligus paradoks. Ali Shariati menyebut manusia sebagai masalah yang paling rumit di alam semesta. Sementara itu, filsuf Friedrich Wilhelm Nietszche, menyebut manusia sebagai binatang kekurangan (a shortage animal). Dalam nafsu kebinatangan ini manusia cenderung tidak pernah ‘selesai’ atau tidak pernah puas (das rucht festgestelte).

Tentu saja, Nietszche tak bermaksud merendahkan martabat manusia. Ungkapannya di atas lebih sebagai kritik bagi fenemona nilai kemanusiaan yang mengabur pada masanya. Ironisnya, kecelakaan kemanusiaan ini berlanjut hingga sekarang. Dalam timangan modernisme yang kian menggila, manusia acap kali terjerumus ke jurang kealpaan. Pada masa ini, Yang Sakral tergadaikan dengan Yang Profan. Manusia modern terlena dengan sensasi sambil lalu (me)lupa(kan) substansi. Tepa selira telah dikuburkan. Ketawadhu’an telah disingkirkan.

Alienasi Manusia Modern

Memang benar, modernisme tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Bahkan modernisme dengan perangkat kemajuannya (teknologi informasi) justru memudahkan hidup manusia. Namun demikian, penulis mengingatkan bahwa manusia modern yang menafikan nilai-nilai ultim kemanusian pada detik yang sama menjadi manusia yang gagal menjadi manusia utuh, bahkan diantara kejayaan-kejayaannya. Sebuah kenyataan memilukan, tentu saja. Adakah hidup yang lebih pilu dari kepiluan gagal menjadi manusia dengan segenap jiwanya?

Manusia modern pada tahap selanjutnya ‘hanya’ berjalan berdasar hasrat dan kepentingan-kepentingan. Jadilah manusia kian sibuk dengan dunianya sendiri-sendiri. Mulai berjibaku dengan waktu, mengejar pekerjaan dan karier, memburu kekuasaan hingga lupa untuk sejenak merenung: untuk apa dan mau ke mana ia sebenarnya? Mereka ini, meminjam analogi Ach. Maimun, jangankan mengingat Tuhan, untuk menatap bening bola mata anak sendiri sudah tidak punya waktu.

Manusia modern lambat laun masuk dalam “belenggu mesinisme”. Ditindih kebutuhan-kebutuhan material yang semakin besar, kajaiban teknologi modern yang diharapkan dapat membebaskan manusia dari perbudakan kerja jasmani, tenyata tak sepenuhnya berperan secara ideal. Manusia dan standar nilai-nilai kemanusiaan semakin terseret ke arah pengasingan.

Ketidakmampuan manusia memecahkan misteri kemanusiaan menjadi pangkal penyebab terjadinya tragedi terbesar di abad ilmu dan teknologi kini. Yaitu berupa alienasi manusia modern yang ditandai dengan menipisnya kepekaan rohaniah. Manusia nyaris seperti robot-robot yang bernyawa belaka. Alienasi inilah yang pada gilirannya menggerus harmoni manusia dengan alam, manusia dengan orang lain, manusia dengan masyarakat atau kelompok, bahkan manusia dengan dirinya sendiri.

Menurut Erich Fromm, peyebab alienasi manusia dengan alam adalah ketidaksadaran manusia bahwa ia merupakan bagia dari alam dan berada di dalmnya. Ketidaksadaran ini mendorong manusia melakukan usaha-usaha eksploitatif terhadap alam. Manusia (me)lupa(kan) akan kemestiannya melakukan usaha-usaha kemajuan tanpa merusak kelestarian alam.

Sementara alienasi manusia dengan orang lain dimulai ketika manusia melihat orang lain sebagai objek, bukan sebagai subjek yang lain. Hal ini menyebabkan kecenderungan terhadap orientasi ekploitatif terhadap sesama manusia. Hubungan yang terjalin di antara manusia modern yang mengalami alienasi tidak lebih dari hubungan pemanfaatan manusia atas manusia yang lain.

Alienasi manusia dengan masyarakat atau kelompok hadir sebagai akibat tergerusnya individualitas sebagai pribadi manusia. Ia terbawa arus tren sosial dengan segenap isu dan penyesuaian-penyesuaiannya yang memabukkan. Dalam melakuakan aktivitasnya, manusia modern bukan lagi berdasar penghayatan dan kesadaran bahwa ia memang memerlukannya. Kekhawatiran tidak diterima di tengah-tengah masyarakat acapkali menggiringnya melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak dikehendakinya. Sampai di sini, manusia bukan hanya teralienasi dengan masyarakat atau kelompok, tetapi lebih parah manusia teralienasi dari dirinya sendiri.

Demikian melalui serangkaian refleksi fiolosofis, penulis mengajak pada kita untuk keluar dari kealpaan akut manusia modern. Yang sepintas terlihat melenakan, tetapi sesungguhnya amat memilukan. Sebab nilai-nilai hidup yang bersendikan spiritualitas, akhlak, persaudaraan, local wisdom, dan kebajikan batin tak dapat disangkal sebagai elemen paling primordial yang membedakan manusia sebagai makhluk berakal dan berjiwa. Selamat membaca!

Judul               :Cerita Pilu Manusia Kekinian
Penulis            :Edi AH Iyubenu
Penerbit         :IRCiSoD, Yogyakarta
Cetakan          :Pertama, Februari 2016
Tebal              :264 halaman
ISBN                :978-602-0806-71-6

*Wahyudi Kaha, tekun mengaji Filsafat Agama di UIN Sunan Kalijaga sambari bergiat di Lingkaran Metalogi Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inilah Ciri Khas Kami: Baca Puisi

Oleh Nahdliya, mahasiswa PBSI 2015 asal Pantura Jawa Helmi Yahya? Begitulah penuturannya saat aku pertama kali mengenalnya. Pertama kali kami berjumpa dan bertatap muka, tepatnya saat aku melewati masa-masa ospek di lingkup Prodi PBSI. Aku sempat heran dan meragukan nama aslinya. Apakah benar seperti itu atau hanya sebagai dalih agar dia tenar di kalangan maba. Oh hanya Tuhan yang tahu mengenai namanya. Dia memperkenalkan diri pada kami sebagai wakil ketua HMP saat itu. Aku sempat berpikir keras, mencoba memahami jabatan yang dipegangnya. Bukan meragukan, tapi lebih ke arah tidak percaya. Setahuku dia konyol, lucu, gokil dan entah apa lagi. Segalayang berbau komedi melekat pada dirinya. Itu yang membuat aku tidak percaya dengan jabatan wakil ketua HMP yang dipegangnya. Di awal pertemuan dengan suasana lingkungan perguruan tinggi, aku lebih memilih acuh tak acuh tentang kak Helmi. Entah dia mau menjadi apaatau menjabat apa. Beberapa hari mengikuti ospek, aku mulai mengerti sisi

Es Lilin Cabbi

Oleh  Kuswanto Ferdian, King Favorit UTM 2016 dan Mahasiswa PBSI 2014 asal Pamekasan Perkenalkan namaku Kuswanto Ferdian. Kalian bisa memanggilku Wawan. Kawan-kawan  di desa memanggilku “Phebeng”. Entahlah apa maksud dari panggilan itu. Aku menerima panggilan itu begitu saja. Aku berasal dari Pulau Garam Madura. Waktu aku masih kanak-kanak , aku sering bermain dengan kawan-kawan d esaku, D esa K olpajung, Pamekasan, Madura. Desaku populer dengan julukan “Kampung Hijau”. Julukan itu diberikan karena desaku sering menjuarai lomba “Adipura Kabupaten” yang diadakan setahun sekali. Selain banyak pohon yang rindang serta daunnya yang hijau, di sepanjang jalan desaku banyak bangunan dengan cat warna hijau. Baik bangunan Sekolah, toko, maupun rumah warga. Alasan itulah yang menjadikan desaku mandapat julukan “Kampung Hijau”. Desaku memiliki beberapa permainan tradisional. Permainan yang paling aku sukai waktu kanak-kanak, permainan “ E s Lilin Cabbi ” . P ermainan ini hampir sam

Pak Anu

O leh Dwi Ajeng Kartini Selama kuliah dua semester -dari semester satu sampai semester dua- baru kali ini aku bertemu dan diajar oleh dosen unik. Dikatakan unik karena cara mengajarnya santai dan mudah dipahami. Cara menyampaikan materi sangatlah berbeda dengan dosen lain yang cenderung membuat tegang. Hehe. Beliau adalah Bapak Salamet Wahedi. Sebelum ‘mengenal’nya, kami sudah mengetahuinya. Beliau adalah dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Desas-desisnya, beliau termasuk dosen killer , tentu aku langsung kaget. Aku takut ketika mendengar, beliau dosen yang killer . Aku takut, beliau di kelas sangat kaku, membosankan, dan tentu -saja bicara dosen killer - pelit nilai. Jujur saja, saat petama melihatnya memang benar terlihat seperti dosen killer. Aku sempat bingung karena pertama masuk, beliau duduk hanya diam. Aku sampai berpikir, sebenarnya dosen ini sedang marah atau memang gayanya seperti ini? Dengan tatapan mata yang sinis dan tidak mau menatap mahasiswa,