Langsung ke konten utama

Bindhara Faisol: di PMII Saya Punya Mimpi. Bukan Ambisi

Oleh Abede Karim*

Pertengahan Februari, Kota Malang benar-benar basah. Saya menghabiskan minggu penghujung liburan semester gasal di kos Iron (baca Gus Choi). Setelah semalaman bertarung dengan gerimis dari terminal Arjosari ke perumahan Permai Lansungsari Indah, pagi Kamis ini hujan kembali menyergap. Hujan tidak hanya membuat waktu membeku. Hujan juga diam-diam membuat jadwal kunjunganku menjadi kabur: Selecta, BNS, Pulau Sempu, dan lainnya dan lainnya.

Untuk mengobati kekecewaan, saya dan iron memutuskan untuk menghabiskan pagi Kamis itu di warung kopi depan kampus UMM dekat pom bensin. “Kopinya di sana enak. Seperti kopi rumah,” jelas Iron. Saya pun mengiyakan. Sambil menembus gerimis-tepung, Iron pun menguraikan, kalau di warung kopi itu banyak mahasiswa aktivis. Mereka biasanya menghabiskan pagi, siang dan malamnya dengan kopi.

Setelah duduk menunggu kopi pesanan, seorang teman Iron datang dengan rambut sedikit basah. Jaket hitamnya terlihat lembab. “Sudah dari tadi Ron?” katanya dengan logat berat sambil mengibaskan butir gerimis di pundaknya.

Setelah dua tegukan kopi dan sebatang rokok, kami pun larut dalam percakapan yang tiba-tiba hangat. Faisol, begitu dia memperkenalkan diri. Namanya panjangnya, Ach. Faisoal Arifin. “Tapi panggil saja Faisol,” pintanya. Saya sempat mengusulkan bagaimana kalau dipanggil Fachri? Dia ngakak, kemudian dia berkilah, “Kalau dipanggil Fachri saya nanti seperti artis. Saya orang desa Mas.” Kami pun tertawa.

Kamis minggu kedua itu, hujan benar-benar menutup ruang imajinasi untuk mengelilingi Kota Malang. Seharian saya pun menghangatkan tubuh dan keinginan dengan mendengarkan cerita Faisol. Dari sekian cerita lelaki kelahiran Sumenep, 03 Maret 1991 ini, dia punya “mimpi” untuk maju menjadi calon Ketua Umum Pengurus Koordinator Cabang (PKC) PMII Jawa Timur pada Konferensi Koordinator Cabang (Konkorcab) PMII Jawa Timur, akhir April 2016. Wuih, itulah kata pertama yang menyembul dalam hati saya. Bukan alay atau hiperbola kata itu menyembul. Saya selalu menaruh hormat pada setiap orang yang memiliki cita-cita besar dan mulia tentang negeri ini.

Menginjak sore, Faisol bercerita panjang lebar kelahiran mimpinya untuk menahkodai Koorcab PMII Jawa Timur. Menurutnya, PMII itu bukan sekadar organisasi mahasiswa. Akan tetapi dia menjadi wadah bagi generasi muda Islam, terutama generasi muda NU untuk menempa diri, mempersiapkan diri dan membawa diri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih beradab dengan semangat rahmatan lil’alamin. “Di PMII, saya belajar banyak untuk membaca keadaan tidak hanya secara logis dan dialektik. Di PMII, saya juga belajar untuk ikhlas, bekerja dengan baik, mengabdi dengan tulus dalam rangka memahami ayat-ayat Tuhan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.”

Ketika disinggung tentang modalnya untuk maju menjadi calon, Faisol memperdengarkan tawa renyah, serenyah rintik yang memelan di sore hari. “Saya hanya punya mimpi,” Faisol mengucapkan ‘mimpinya’ dengan mantap. “Saya punya mimpi tiga hal tentang PMII.” Kemudian, alumni Pondok Pesantren Annuqayah ini menuturkan tiga mimpinya. Pertama, kaderisasi. PMII sebagai organisasi mahasiswa harus mampu melakukan kaderisasi secara berkesinambungan. Artinya, PMII bukan sekadar mencari massa atau anggota sebanyak-banyaknya. Akan tetapi PMII punya tanggung jawab untuk mencetak kader yang ulul-albab. “Saya lihat, dewasa ini, berbagai organisasi mahasiswa mengabaikan eksistensi dirinya. Mereka lebih sibuk dengan kepentingan-kepentingan pragmatis. Mereka seolah kehilangan idealisme dan orientasi sebagai organisasi kemahasiswaan,” tutur Faisol. Karena itu, jika dirinya terpilih sebagai Ketua Umum PKC PMII Jawa Timur, penguatan kaderisasi akan menjadi prioritas utama.

Kedua, ideologisasi. Bagi Faisol, ideologisasi dalam PMII bukan sekadar menanamkan paham atau aliran tertentu. Ideologisasi di sini dapat diterjemahkan sebagai upaya menguatkan dan meneguhkan keyakinan kader PMII terhadap nilai-nilai ke-Islam-an, spitualitas Nilai Dasar Pergerakan (NPD), cara pandang ke-Aswaja-an dan rasa cinta ke-Indonesia-an. Dengan ideologisasi ini, kader PMII diharapkan menjadi garda depan pengawal NKRI tanpa keraguan. Lebih jauh, Faisol menuturkan, “Ideologisasi dalam PMII ini bertujuan untuk memperkuat kader-kader PMII dalam menghadang laju radikalisme dan paham ultranasional.”

Ketiga, islamisasi. Intervensi pihak asing ke Indonesia tidak hanya dalam bentuk kebijakan. Pihak asing juga menetralisir nilai-nilai budaya dan keagamaan. Dalam budaya, pihak asing mencekoki Bangsa Indonesia dengan acara-acara pertelevisian dan gaya hidup yang bertentangan dengan nilai budaya masyarakat Indonesia. Sementara dalam agama, pihak asing memasukkan nilai-nilai radikalisme dan menjadi agama sebagai komuditas. Dengan demikian, Indonesia menjadi medan pertempuran yang rumit. Akibatnya, gesekan antara agama dan budaya cukup rumit. Gesekan antaragama pun menjurus ke perseteruan sektarian. Dalam kondisi seperti inilah, menurut Faisol, PMII memikul tanggungjawab membuka “jalan damai” yang dirintis oleh para wali songo. “Islamisasi bukanlah upaya menjadi semuanya menjadi Islam. Islamisasi dalam mimpi saya adalah bagaimana Islam menjadi strategi dan metode kehidupan berbangsa dan bernegara seperti para wali-songo dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa,” jelas Faisol.

Setelah menjelaskan tiga mimpinya, Faisol seperti plong. Matanya berkaca-kaca, senyumnya tampak sumringah, lalu kalimatnya meluncur renyah, “Itu hanya mimpi. Tapi saya yakin, semua kader PMII punya mimpi yang sama. Meski bahasa yang mereka gunakan berbeda.”

Di penghujung Kamis itu, saya benar-benar kagum dengan lika-liku Faisol dalam berorganisasi. Dia aktif di PMII sejak 2009 sebagai anggota rayon ekonomi PMII Country Malang, Koordinator Bidang Kaderisasi (2010-2011), Ketua Komisariat PMII Country (2011-2012), Koordinator Pendidikan dan Perguruan Tinggi Cabang PMII Malang (2012-2013), dan Bendahara Umum PC PMII Malang (2013-2014). Dan ketika tulisan ini ditulis, saya hanya membayangkan dan berharap semoga orang seperti Faisol diberi mandat dan kepercayaan oleh segenap kader PMII untuk mewujudkan mimpinya.

*S. Wahedi, esais dan cerpenis asal Pinggir Papas, Sumenep.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inilah Ciri Khas Kami: Baca Puisi

Oleh Nahdliya, mahasiswa PBSI 2015 asal Pantura Jawa Helmi Yahya? Begitulah penuturannya saat aku pertama kali mengenalnya. Pertama kali kami berjumpa dan bertatap muka, tepatnya saat aku melewati masa-masa ospek di lingkup Prodi PBSI. Aku sempat heran dan meragukan nama aslinya. Apakah benar seperti itu atau hanya sebagai dalih agar dia tenar di kalangan maba. Oh hanya Tuhan yang tahu mengenai namanya. Dia memperkenalkan diri pada kami sebagai wakil ketua HMP saat itu. Aku sempat berpikir keras, mencoba memahami jabatan yang dipegangnya. Bukan meragukan, tapi lebih ke arah tidak percaya. Setahuku dia konyol, lucu, gokil dan entah apa lagi. Segalayang berbau komedi melekat pada dirinya. Itu yang membuat aku tidak percaya dengan jabatan wakil ketua HMP yang dipegangnya. Di awal pertemuan dengan suasana lingkungan perguruan tinggi, aku lebih memilih acuh tak acuh tentang kak Helmi. Entah dia mau menjadi apaatau menjabat apa. Beberapa hari mengikuti ospek, aku mulai mengerti sisi

Es Lilin Cabbi

Oleh  Kuswanto Ferdian, King Favorit UTM 2016 dan Mahasiswa PBSI 2014 asal Pamekasan Perkenalkan namaku Kuswanto Ferdian. Kalian bisa memanggilku Wawan. Kawan-kawan  di desa memanggilku “Phebeng”. Entahlah apa maksud dari panggilan itu. Aku menerima panggilan itu begitu saja. Aku berasal dari Pulau Garam Madura. Waktu aku masih kanak-kanak , aku sering bermain dengan kawan-kawan d esaku, D esa K olpajung, Pamekasan, Madura. Desaku populer dengan julukan “Kampung Hijau”. Julukan itu diberikan karena desaku sering menjuarai lomba “Adipura Kabupaten” yang diadakan setahun sekali. Selain banyak pohon yang rindang serta daunnya yang hijau, di sepanjang jalan desaku banyak bangunan dengan cat warna hijau. Baik bangunan Sekolah, toko, maupun rumah warga. Alasan itulah yang menjadikan desaku mandapat julukan “Kampung Hijau”. Desaku memiliki beberapa permainan tradisional. Permainan yang paling aku sukai waktu kanak-kanak, permainan “ E s Lilin Cabbi ” . P ermainan ini hampir sam

Pak Anu

O leh Dwi Ajeng Kartini Selama kuliah dua semester -dari semester satu sampai semester dua- baru kali ini aku bertemu dan diajar oleh dosen unik. Dikatakan unik karena cara mengajarnya santai dan mudah dipahami. Cara menyampaikan materi sangatlah berbeda dengan dosen lain yang cenderung membuat tegang. Hehe. Beliau adalah Bapak Salamet Wahedi. Sebelum ‘mengenal’nya, kami sudah mengetahuinya. Beliau adalah dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Desas-desisnya, beliau termasuk dosen killer , tentu aku langsung kaget. Aku takut ketika mendengar, beliau dosen yang killer . Aku takut, beliau di kelas sangat kaku, membosankan, dan tentu -saja bicara dosen killer - pelit nilai. Jujur saja, saat petama melihatnya memang benar terlihat seperti dosen killer. Aku sempat bingung karena pertama masuk, beliau duduk hanya diam. Aku sampai berpikir, sebenarnya dosen ini sedang marah atau memang gayanya seperti ini? Dengan tatapan mata yang sinis dan tidak mau menatap mahasiswa,