Langsung ke konten utama

Cuu

Oleh Ria Puspita Rani

Masa-lalu selalu membawa kita kepada cerita indah nan lucu tak terlupakan. Sejuta kenangan terpatri dalam khayalan-khayalan, memaksa kita mengulas kembali masa-masa yang dirajut dengan penuh suka cita. Tak banyak makna yang bisa dirangkai, tetapi kilas balik masa kanak-kanak selalu meminta saya untuk mengurainya kembali. Kilas balik meminta saya untuk mengingatkan yang hampir hilang setiap kali menyaksikan anak-anak kecil yang berlarian di depan saya. Dalam canda mereka, saya menemukan canda tawa yang selalu di iringi dengan goresan-goresan kisah masalalu. Masa di mana saya memainkan masa kanak-kanak saya. Menghiasi hari-hari dengan adegan penuh tawa.

Kilas balik masa kanak-kanak itu saya temukan pada suatu malam dengan purnama sumringah. Saya temukan setelah duapuluh tahun usiaku kuhabiskan bersama kegiatan-kegiatanku yang memaksaku jungkir balik. Cahaya purnama terang, bintang-gemintang yang mengiringinya mengingatkanku pada teman-teman ketika kami bermain di malam hari. Kami terbiasa memainkan permainan Cuu. 

Konon –begitulah saya mencoba menggali ingatan saya- permainan Cuu pernah saya mainkan pada usia 12 tahun. Usia ketika ingatan saya mulai beranjak tumbuh. Ketika ingatan saya mulai mengenali dan menyimpan ingatan tentang adegan-adegan masa kanak-kanak yang berkesan.

Cuu, begitulah kami merayakan malam-purmana. Bagi anak-anak kecil di desa kami, permainan Cuu terbilang unik dan langka. Karena itu, kami seolah punya satu alasan dan hasrat yang tak kunjung habis untuk memainkannya. Desa kecil kami terletak di ujung timur kota gerbang salam Pamekasan. Tapi posisi ini tidak menyebabkan kami kehilangan selera untuk mempertahankan kekhasan dari daerahnya, termasuk permainan Cuu.

Mengingat kembali masa itu, saya ingin tertawa. Di bawah tatapan purnama yang terang, saya bergegas ke lapangan di sebelah rumah. Lebih dari 10 anak sudah menantiku di sana. Mereka teman bermainku saat kecil. Tak ada keluh maupun kesah ketika kami bersama. Candaan dan tawa mengalir begitu saja. Ketika malam semakin larut, kami bersiap-siap memulai permainan. Kami membagi diri-kami menjadi dua regu. Kami mulai menghitung jumlah orang anak karena syarat dari permainan ini tiap tim harus sama, misalnya tim pemburu dan tim yang dikejar sama-sama berjumlah 5 orang Sebelum itu kami melakukan hompimpa untuk membagi kelompok agar tidak saling berebut. Setelah kelompok terbagi, kami siap-siap untuk bermain. Babak 1 berdurasi 15 menit, dan istirahat 5 menit dan babak kedua berdurasi 15 menit setelah itu permainan berakhir. Permainan Cuu ini membutuhkan lapangan berbentuk persegi panjang dan garis sebagai pembatas, dengan malu-malu aku mulai mengambil pecahan genting untuk menggaris lapangan. Setelah itu kami mulai bermain.

Aku mendapatkan giliran sebagai pemburu bersama empat temanku, sedangkan lima temanku yang lain mendapatkan giliran sebagai tim lawan. Sorak gembira dari teman-temanku di luar lapangan mulai bergemuruh. Sesekali aku mendengar namaku dieluhkan. Dengan antusias, aku semakin bersemangat untuk bermain.

Desi, temanku yang mendapatkan giliran pertama untuk berlari sambil mengucapkan kata Cuu sudah bergegas. Dalam hitungan satu-dua-tiga pun dia berlari sangat kencang sambil mengucapkan kata “Cuuuuuuuuuuuuuuu” dengan menahan nafas dan memburu tim lawan. Regu lawan pun tak mau ketinggalan. Dengan sangat kencangnya mereka berlari untuk menghindari agar tubuh mereka tidak dapat dipegang oleh Desi.

Saya sempat menahan nafas menyaksikan Desy memburu tim lawan. Ah, ternyata usaha Desy tidak sia-sia. Usahanya untuk menahan nafas dan mengejar lawan membuahkan hasil memegang seorang anggota dari tim lawan. Dalam masalah tahan nafas, saya akui Desy memang jagonya. Desy berhasil memegang satu anggota dari tim lawan, tim pemburu pun berhak untuk mendapatkan satu poin. Untuk satu poin yang dihasilkan Desy, kami pun mendapatkan tepuk tangan dari teman-teman yang berda di luar lapangan.

Kemudian, permainan dimulai lagi. Sekarang giliranku untuk berlari sambil mengucapkan kata “Cuu”. Kemudian, aku mulai mengambil nafas dalam-dalam. Aku mengucapkan “Cuu” sambil berlari mengejar tim lawan penuh kesetanan.

Di tengah pengejaranku terhadap tim lawan, nafasku tiba-tiba tersengal. Lawanku yang kuhadapi cukup lihai dalam berlari. Dengan serempak teman-teman yang tadi kukejar balik menyerbu dan mengejarku.

Setelah aku dipegang lawanku, maka satu poin juga didapatkan oleh tim lawan. Tukar posisi pun terjadi. Sekarang aku tak lagi sebagai tim pemburu. Aku dan timku sebagai regu yang diburu. Permainan ini berlangsung dengan sorak dan canda tawa dari teman-teman. Tak terasa malampun semakin larut.

Lambaian angin semakin membuatku kedinginan. Suara hening mulai terasa di bagian kanan dan kiriku. Suara jangkrik yang merdu mulai semakin melengking. Tak terasa 2 jam kami menghabiskan rentang kebersamaan. Rasa lelah dan capek seolah tak membekas. Hanya kesenangan dan kegembiraan yang terasa.

Permainan ini berakhir dengan tim lawan digendong oleh tim kami. Mereka unggul satu  poin di atas timku. Meskipun kalah, cucuran keringat yang mengalir di tubuhku membuatku bangga. Permainan ini termasuk bagian dari olahraga, sehinggarasa lelah yang tadi kami rasakan terbayarkan dengan senyuman hangat yang dipersunggikan oleh teman-teman sebayaku.

Duapuluh tahun lalu, usia 12 tahun lalu saya berlalu. Tapi gemuruh permainan Cuu tetap terngiang. Setiap kali musim liburan, setiap kali saya menginjakkan kaki di desa kecilku, setiap kali anak-anak kecil melintas, saya seolah disergap oleh teriakan Cuu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inilah Ciri Khas Kami: Baca Puisi

Oleh Nahdliya, mahasiswa PBSI 2015 asal Pantura Jawa Helmi Yahya? Begitulah penuturannya saat aku pertama kali mengenalnya. Pertama kali kami berjumpa dan bertatap muka, tepatnya saat aku melewati masa-masa ospek di lingkup Prodi PBSI. Aku sempat heran dan meragukan nama aslinya. Apakah benar seperti itu atau hanya sebagai dalih agar dia tenar di kalangan maba. Oh hanya Tuhan yang tahu mengenai namanya. Dia memperkenalkan diri pada kami sebagai wakil ketua HMP saat itu. Aku sempat berpikir keras, mencoba memahami jabatan yang dipegangnya. Bukan meragukan, tapi lebih ke arah tidak percaya. Setahuku dia konyol, lucu, gokil dan entah apa lagi. Segalayang berbau komedi melekat pada dirinya. Itu yang membuat aku tidak percaya dengan jabatan wakil ketua HMP yang dipegangnya. Di awal pertemuan dengan suasana lingkungan perguruan tinggi, aku lebih memilih acuh tak acuh tentang kak Helmi. Entah dia mau menjadi apaatau menjabat apa. Beberapa hari mengikuti ospek, aku mulai mengerti sisi

Es Lilin Cabbi

Oleh  Kuswanto Ferdian, King Favorit UTM 2016 dan Mahasiswa PBSI 2014 asal Pamekasan Perkenalkan namaku Kuswanto Ferdian. Kalian bisa memanggilku Wawan. Kawan-kawan  di desa memanggilku “Phebeng”. Entahlah apa maksud dari panggilan itu. Aku menerima panggilan itu begitu saja. Aku berasal dari Pulau Garam Madura. Waktu aku masih kanak-kanak , aku sering bermain dengan kawan-kawan d esaku, D esa K olpajung, Pamekasan, Madura. Desaku populer dengan julukan “Kampung Hijau”. Julukan itu diberikan karena desaku sering menjuarai lomba “Adipura Kabupaten” yang diadakan setahun sekali. Selain banyak pohon yang rindang serta daunnya yang hijau, di sepanjang jalan desaku banyak bangunan dengan cat warna hijau. Baik bangunan Sekolah, toko, maupun rumah warga. Alasan itulah yang menjadikan desaku mandapat julukan “Kampung Hijau”. Desaku memiliki beberapa permainan tradisional. Permainan yang paling aku sukai waktu kanak-kanak, permainan “ E s Lilin Cabbi ” . P ermainan ini hampir sam

Pak Anu

O leh Dwi Ajeng Kartini Selama kuliah dua semester -dari semester satu sampai semester dua- baru kali ini aku bertemu dan diajar oleh dosen unik. Dikatakan unik karena cara mengajarnya santai dan mudah dipahami. Cara menyampaikan materi sangatlah berbeda dengan dosen lain yang cenderung membuat tegang. Hehe. Beliau adalah Bapak Salamet Wahedi. Sebelum ‘mengenal’nya, kami sudah mengetahuinya. Beliau adalah dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Desas-desisnya, beliau termasuk dosen killer , tentu aku langsung kaget. Aku takut ketika mendengar, beliau dosen yang killer . Aku takut, beliau di kelas sangat kaku, membosankan, dan tentu -saja bicara dosen killer - pelit nilai. Jujur saja, saat petama melihatnya memang benar terlihat seperti dosen killer. Aku sempat bingung karena pertama masuk, beliau duduk hanya diam. Aku sampai berpikir, sebenarnya dosen ini sedang marah atau memang gayanya seperti ini? Dengan tatapan mata yang sinis dan tidak mau menatap mahasiswa,