Langsung ke konten utama

Kesendirian

Oleh Nadya Devi

Sendiri, sebuah kata yang bodoh dan menyedihkan. Benarkah ada seseorang yang merasa sendiri dalam hidupnya? Apa belum cukup dengan populasi manusia yang semakin mempersempit dunia ini? Bukankah setiap langkah kita selalu beriringan dengan langkah orang lain? Bukankah setiap orang akan selalu berjumpa dengan orang lain walaupun hanya untuk bertegur sapa? Lalu mengapa sebagian besar orang masih merasa terusik dengan kesendiriannya. Mungkinkah dia menciptakan kesendirian itu atas kehendaknya? Ataukah dia juga tak pernah mengerti bagaimana dia hendak melepas kesendiriannya dan merasakan indahnya sebuah kebersamaan.

Sendiri bukan sekadar seorang diri tanpa  orang lain. Di keramaian pun kesendirian juga masih terasakan. Apa yang menyebabkan keadaan tersebut terjadi? Ada suara yang tak didengar, ada raga yang tak dianggap, hingga tak ada mata yang memandang. Ada orang namun ditiadakan keberadaannya. mungkinkah hal itu yang menyebabkan seseorang merasa sendiri? Hal itulah yang mungkin sebagian orang pernah merasakannya.

Dia hanya mampu diam, mengikuti bagaimana arus waktu berjalan. Sejenak mungkin dia berpikir untuk meninggalkan jejak kepada derasnya arus waktu. Namun di saat jejak hendak ditinggalkannya, selintas pikiran menghentaknya, akankah dia mampu untuk melakukannya? Akankah jejak itu akan berbekas atau hanya terhapus begitu saja oleh waktu? Begitu rumit pertimbangan yang dilakukannya hanya untuk menunjukkan keberadaannya. Dan begitulah, ia terjebak hingga tidak mampu lepas dari belenggu kesendirian.

Pengakuan akan keberadaan menjadi hal yang sangat dibutuhkan seseorang. Namun bagaimana akan datang pengakuan bila tanpa adanya sebuah kelakuan. Begitulah seharusnya hidup berjalan. Alangkah baiknya jika tak pernah lelah mencoba tanpa mempertimbangkan hasil yang didapatkan.

Berpikir mengenai hasil hanya menjadi hambatan dalam melangkah. Hilangkan kata lelah untuk mencoba, puaskan diri dengan sebuah usaha dan suarakan apa yang terpikirkan. Maka yakinlah suatu saat suara akan didengar, mata akan memandang. Di sanalah keberadaan mulai dianggap. Dengan begitu, keramaian orang akan datang sehingga kesendiran akan larut dalam kebersamaan.

Ilustrasi diambil dari anakmudadesa.blogspot.com

Nadya Devi, mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, Unesa. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inilah Ciri Khas Kami: Baca Puisi

Oleh Nahdliya, mahasiswa PBSI 2015 asal Pantura Jawa Helmi Yahya? Begitulah penuturannya saat aku pertama kali mengenalnya. Pertama kali kami berjumpa dan bertatap muka, tepatnya saat aku melewati masa-masa ospek di lingkup Prodi PBSI. Aku sempat heran dan meragukan nama aslinya. Apakah benar seperti itu atau hanya sebagai dalih agar dia tenar di kalangan maba. Oh hanya Tuhan yang tahu mengenai namanya. Dia memperkenalkan diri pada kami sebagai wakil ketua HMP saat itu. Aku sempat berpikir keras, mencoba memahami jabatan yang dipegangnya. Bukan meragukan, tapi lebih ke arah tidak percaya. Setahuku dia konyol, lucu, gokil dan entah apa lagi. Segalayang berbau komedi melekat pada dirinya. Itu yang membuat aku tidak percaya dengan jabatan wakil ketua HMP yang dipegangnya. Di awal pertemuan dengan suasana lingkungan perguruan tinggi, aku lebih memilih acuh tak acuh tentang kak Helmi. Entah dia mau menjadi apaatau menjabat apa. Beberapa hari mengikuti ospek, aku mulai mengerti sisi

Es Lilin Cabbi

Oleh  Kuswanto Ferdian, King Favorit UTM 2016 dan Mahasiswa PBSI 2014 asal Pamekasan Perkenalkan namaku Kuswanto Ferdian. Kalian bisa memanggilku Wawan. Kawan-kawan  di desa memanggilku “Phebeng”. Entahlah apa maksud dari panggilan itu. Aku menerima panggilan itu begitu saja. Aku berasal dari Pulau Garam Madura. Waktu aku masih kanak-kanak , aku sering bermain dengan kawan-kawan d esaku, D esa K olpajung, Pamekasan, Madura. Desaku populer dengan julukan “Kampung Hijau”. Julukan itu diberikan karena desaku sering menjuarai lomba “Adipura Kabupaten” yang diadakan setahun sekali. Selain banyak pohon yang rindang serta daunnya yang hijau, di sepanjang jalan desaku banyak bangunan dengan cat warna hijau. Baik bangunan Sekolah, toko, maupun rumah warga. Alasan itulah yang menjadikan desaku mandapat julukan “Kampung Hijau”. Desaku memiliki beberapa permainan tradisional. Permainan yang paling aku sukai waktu kanak-kanak, permainan “ E s Lilin Cabbi ” . P ermainan ini hampir sam

Pak Anu

O leh Dwi Ajeng Kartini Selama kuliah dua semester -dari semester satu sampai semester dua- baru kali ini aku bertemu dan diajar oleh dosen unik. Dikatakan unik karena cara mengajarnya santai dan mudah dipahami. Cara menyampaikan materi sangatlah berbeda dengan dosen lain yang cenderung membuat tegang. Hehe. Beliau adalah Bapak Salamet Wahedi. Sebelum ‘mengenal’nya, kami sudah mengetahuinya. Beliau adalah dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Desas-desisnya, beliau termasuk dosen killer , tentu aku langsung kaget. Aku takut ketika mendengar, beliau dosen yang killer . Aku takut, beliau di kelas sangat kaku, membosankan, dan tentu -saja bicara dosen killer - pelit nilai. Jujur saja, saat petama melihatnya memang benar terlihat seperti dosen killer. Aku sempat bingung karena pertama masuk, beliau duduk hanya diam. Aku sampai berpikir, sebenarnya dosen ini sedang marah atau memang gayanya seperti ini? Dengan tatapan mata yang sinis dan tidak mau menatap mahasiswa,