Oleh Set Wahedi
Amerika
Latin, mula-mula saya kenal saya lewat para “idola” heroiknya: Fidel Castro,
Che Guevara, Hugo Chaves, Evo Morales dan lainnya. Dari para idola ini, saya
mendapati banyak cerita tentang kegigihan anak negeri berbuat dan berbakti pada
negara-bangsa dan kemanusiaan. Kemudian, saya semakin familiar dengan Amerika
Latin bersama para pemain sepak bolanya: Maradona, Pele, Romario, Ronaldo,
Ronaldinho, Suarez, Messi, dan lainnya. Merekalah pemain yang meruntuhkan
segala keangkuhan dunia Barat dengan seni gocekan si kulit bundar. Kemegahan panggung
sepak bola Eropa, tanpa mereka seakan tanpa asam-garam.
Tidak
berhenti di situ. Berikutnya, para pengarang Amerika Latin memberikan referensi
cerita yang energik. Sebut saja Octavio Paz, Pablo Neruda, Gabriel Garcia
Marques, Mario Vargas Llosa dan lainnya. Pada umumnya, para pengarang Amerika
Latin ini memiliki suara “sengak” dan sikap tegas dalam dinamika politik
negerinya. Mereka sadar betul akan kekuatan kata dalam perlawanan. Tak urung, karya-karya
Amerika Latin identik dengan drama sisi gelap kekuasaan.
Sikap
politik para pengarang negara bekas jajahan Spanyol ini tidak hanya mendengung
dalam kata-kata. Mereka sering ambil bagian dalam kancah politik untuk
menyatakan keberpihakannya. Karena sikap politik seperti itulah, Neruda menjadi
aktivis Partai Komunis Kuba, Octavio Paz menjadi diplomat Chile lalu
mengundurkan diri, dan Jorge Mario Pedro Vargas
Llosarset
terjung dalam pemilihan Presiden Peru. Menariknya, pergulatan mereka terhadap
kondisi sosial politik di negaranya tidak serta merta membuat mereka terjebak.
Mereka tetap lantang untuk menjadi suara lain bagi sejarah negaranya. “Berpolitik”
seolah seruan lain mereka dalam berkarya.
Jorge Mario Pedro Vargas
Llosarset atau yang lebih dikenal Mario
Vargas Llosa, merupakan pengarang yang memperjuangkan cita-cita politiknya
dengan ambil bagian dalam pemilihan Presiden Peru. Karya-karya peraih Nobel
Sastra tahun 2010 menunjukkan kepiawaiannya dalam memetakan struktur kekuasaan.
Ia mampu menggambarkan tajamnya lika-liku perlawanan, pemberontakan dan
kekalahan individu.
Salah satu karya pengarang kelahiran 23 Maret
1936 ini, ¿Quién mató a Palomino Molero? (:Siapa Pembunuh Palomino Molero).
Novel yang berlatar tahun 50-an ini dapat dikatakan novel bergenre detektif.
Novel ini dibuka dengan ditemukannya jasad Palomino Molero. Palomino mengalami
kematian yang cukup tragis dan mengenaskan. Anak semata wayang janda Dona
Asunta ini mati dengan hidung
dan mulut robek, muka lebam penuh luka sayat dan sundutan rokok, dan buah zakar
melorot menutupi pangkal paha. Kematian Palomino menggambarkan sisi lain sifat
manusia: binatang.
Dari
kematian Palomino itu, dua polisi desa, Letnan Silva dan bawahannya, Lituma
melakukan penyelidikan. Penelusuran awal dua polisi desa itu menemukan cerita “klise”
kaum remaja: pembunuhan dengan motif cinta (:cemburu). Palomino yang ganteng
dan pandai bernyanyi diduga telah melakukan selingkuh dengan salah seorang
istri penggede Angkatan Udara. Hipotesa awal ini menemukan titik terang ketika
dua polisi itu bertandang ke Amotape. Kesaksian Dona Lupe tentang dua pasangan
–yang diyakini sebagai Palomino dan kekasihnya- memberi sinyal-sinyal positif
bagi dua polisi desa itu dalam merumuskan “siapa” pembunuh Palomino. Sosok pembunuh
Palomino semakin jelas ketika Alicia
Mindreau, sang pacar Palomino membeberkan lika-liku cinta-kasih mereka.
Serangkaian peristiwa
yang disuguhkan Llosa, tidak jauh beda dengan
serakan ‘mozaik’ teka-teki novel dektektif pada umumnya: kematian korban,
pembunuh yang misterius, motif pembunuhan dan detik-detik tegang
pengungkapannya. Sayangnya Llosan tidak
tidak memiliki gairah kuat untuk menyuguhkan ketegangan yang membius.
Penyelidikan yang dilakukan dua polisi desa berjalan datar-datar saja. Mereka
tidak menemui satu kendala serius dalam mengorek data. Penyelidikan itu semakin
hambar ketika Kolonel Mindreau mengakui perbuatannya dan melakukan bunuh diri.
Kalau novel itu benar “diniatkan” sebagai novel detektif, Llosa dapat dikatakan
sebagai penulis yang kurang serius. Teka-teki yang dibangun sejak awal tak
memiliki tangga dramatik kuat, layaknya pengungkapan sebuah misteri. Akan
tetapi, Llosa ternyata punya perspektif lain terhadap realitas penyelidikan
siapa pembunuh Palomino - berdasarkan desas-desus melibatkan para penggede
militer- hingga pengakuan Kolonel Mindrau.
Fakta, mungkin serangkaian peristiwa yang dapat disaksikan panca indera
dalam situasi dan kondisi tertentu dapat menjadi fiksi. Rangkaian fakta yang
disusun oleh Letnan Silva dan Lituma merupakan serakan puzzle yang hampir utuh.
Letnan Silva pun merasa yakin untuk menunjuk hidung pembunuh Palomino. Pada
saat teka-teki ini akan terbongkar dan mengarah pada satu orang, Llosa ternyata
menggantung cerita. Ia memberikan ancangan lain: delusions. Kematian Palomino, Kolonel Mindreau dan anaknya, Alicia
bukanlah serangkaian pembunuhan karena cinta. Ternyata isu selingkuh hanya
pengalihan. Percintaan Palomino dan Alicia, rasa kesal Konolnel Mindrau, pun
bukan fakta yang dapat dijadikan patokan untuk menentukan siapa pembunuh
Palomino. Rangkaian puzzle itu ternyata hanya fiksi. Lewat tokoh Don Jeronomi, supir
langganan dua polisi desa itu, Llosa bermain fiksi dari fakta dalam fiksinya.
Fakta mungkin lebih fiksi dari fiksi. Mungkin itulah yang ditekankan
Llosa ketika berhadapan dengan fakta yang melibatkan orang-orang besar. Fakta
atau peristiwa skandal yang melibatkan tokoh penguasa seolah menggantung. Ia
hanya dapat ditafsirkan, dikonkretkan sebagai fakta kalau mampu menghadirkan
sosok penguasa seutuhnya. Tapi kalau fakta itu menyangkut sisi lain kekuasaan,
ia adalah rumah dengan seribu pintu. Semua orang dibuat tak punya legal
standing untuk melakukan justifikasi terhadap kebenaran dan kesalahan.
Sebagai karya fiksi, novel “Siapa pembunuh Palomino Molero” kurang
menggigit. Tapi sebagai kesaksian, novel ini menemukan sentuhannya pada
keinginan untuk membongkar “tradisi kelam” para penguasa absolut. Llosa,
seperti halnya para pengarang Amerika Latin lainnya, begitu sadar untuk menjadikan
karyanya sebagai suara lain sejarah. Kediktatoran kaum militer atau pun
keculasan kaum kapitalis telah menjadi teror menakutkan. Maka, karya sastra menjadi
fakta lain dari fakta yang menakutkan itu.
Dalam konteks Indonesia, novel Llosa itu sangat “enak” untuk dibaca
sambil mendengarkan berita bentrok TNI-Polri atau suara live dialog para pejuang HAM. Kalau di Amerika Latin kesemuan fakta
disebabkan kekuasaan absolut penguasa-militer, di Indonesia fakta menjadi fiksi
karena politik impunitas. Kalau di Amerika Latin, kasus pembunuhan menjadi
fiksi karena keotoriteran, di Indonesia kekaburan fakta karena konspirasi elite
politik.
Kasus penculikan para aktivis oleh Tim Mawar, penembakan empat mahasiswa
Trisakti, Pembunuhan Aktivis HAM Munir, hingga kasus HAM lainnya menjadi
serangkaian cerita fiksi mendebarkan. Dari satu forum ke forum berikutnya
berbagai kasus itu seperti serangkaian bab novel tak kunjung usai. Berbagai
dalih, upaya, tokoh dan teori disuguhkan. Olok-olok pada janji pemimpin tak
mampu mengubah kadar “imajinasi” insiden kelam kemanusiaan itu.
Sejauh ini, tidak etis kalau kita berkata negara ini diam atas
berbagai kasus kemanusiaan itu. Berbagai upaya dan langkah mungkin telah
dilakukan. Seperti dua polisi desa yang melakukan penyelidikan terhadap pembunuh
Palomino. Tapi sejauh ini pula, kita hanya disuguhi laporan peristiwa-peristiwa
“fiksi” menggelikan. Toh, kalau pun
ada yang ditindak tegas, mereka hanya kelas teri. Mereka adalah Palomino yang
mesti disingkirkan dengan cerita cinta dan perselingkuhan. ()
Komentar
Posting Komentar