Langsung ke konten utama

Kepala yang Hilang: Catatan Htanzil

Membaca kesembilan cerpen Set Wahedi, penulis muda kelahiran Sumenep, Madura ini memberikan keasyikan sendiri. Selain menghibur, beberapa di antaranya menghadirkan realita-realita sosial berupa ketidakadilan yang sepertinya sudah menjadi bagian kehidupan kita di negeri setengah makmur dan setengah demokrasi ini.

Cerpen yang secara kuat mengangkat realita sosial yang terjadi di negeri ini antara lain terdapat pada cerpen Kepala yang Terpenggal yang dijadikan judul buku antologi ini. Kepala yang Hilang  mengisahkan seorang lelaki yang mencari kepala ayahnya yang hilang karena bersikap kritis terhadap pembagian BLT (Bantuan Langsung Tunai). Cerpen ini menarik selain karena judulnya yang membuat penasaran kita juga seolah diajak menyusuri hilangnya kepala sang ayah. Namun cerpen ini juga sedikit  membingungkan karena realita dan khayalan bercampur menjadi satu. Pembaca yang kritis tentunya akan bertanya-tanya apakah ini cerpen realis atau surealis.

Kisah-kisah ketidakadilan seperti BLT, kenaikan BBM, nasib TKW, dll adalah hal yang nyata dan dikisahkan secara realis, namun pencarian kepala oleh sang tokoh ke kota-kota yang aneh disuguhkan dalam gaya surealis. Saya tidak tahu apakah percampuran antara gaya realis dan surealis ini sengaja dihadirkan sebagai bagian dari eksperimen penulis atas karyanya atau sebuah ketidaksengajaan?

Selain Kepala yang Hilang, dua cerpen berikutnya yaitu Syam, dan Pemulung juga mengangkat realita sosial yang terjadi di negeri ini. Cerpen Syam dan Pemulung memiliki kesamaan yaitu menceritakan penyair  yang bersikap kritis terhadap pemerintah. Seperti halnya cerpen Kepala yang Terpenggal, Syam dan Pemulung memiliki nasib yang sama yaitu dibungkamkan dengan cara keji.

Masih ada satu tokoh lagi kritis lagi dalam cerpen berjudul Mbah Karna yang dibungkam, namun kali ini dengan cara yang lain. Mbah Karna di masa mudanya adalah seorang sarjana yang memilih menjadi petani, hingga masa tuanya ia rajin melahap semua berita di koran. Sikap kritisnya ia tuangkan dalam tulisan yang coba ia kirimkan ke sebuah koran. Sayangnya setelah lama menanti dan berharap akan dimuat tulisan Mbah Karna ditolak oleh koran tersebut karena dianggap dapat dapat merusak suasana demokrasi.

Selain nuansa realita sosial yang diangkat sebagai bahan baku cerpen, penulis juga mengangkat salah satu tradisi lokal Madura lewat cerpen Di Malam Nyadar. Nyadar adalah ritual yang lahir atas niatan mensyukuri tumbuhnya garam di Pinggir Papas, Madura. Selain tradisi, kisah Legenda Madura tentang kelahiran Jokotole juga dimunculkan dalam cerpen Anak Bulan. Di cerpen ini kelahiran Jokotole dikonstekstualkan dengan sang tokoh yang hidup di masa kini  yang juga sedang mencari siapa sesungguhnya ayahnya.

Tema perselingkuhan yang juga telah menjadi berita sehari-hari di kalangan masyarakat kita dimunculkan dalam dua cerpen yaitu Haemi dan Hand Phone. Cerpen Hand Phone yang mengisahkan bagaimana  teknologi komunikasi yang tadinya diniatkan untuk mempermudah pekerjaan pasangan suami istri nelayan pada akhirnya malah menjadi sarana untuk perselingkuhan. Pada cerpen ini dimasukkan percakapan dalam bahasa Madura.

Buku ini ditutup dengan cerpen  Boneka David Joseph yang mengisahkan bagaimana sebuah boneka dari Amerika yang pada awalnya menjadi kebanggan dan membahagiakan seluruh anggota keluarganya ternyata hanya menghadirkan kebahagiaan semu.

Secara keseluruhan kesembilan cerpen dalam buku ini memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi, walau terangkai dalam kalimat-kalimat sastrawi dalam setiap cerpennya namun semua itu tersaji dengan porsi yang cukup sehingga keindahan kata tidak mengganggu pembacanya baik dari pemahaman kisah maupun alur ceritanya. Ending di beberapa cerpen juga cukup menarik sehingga membuat kita tersenyum, terhentak, dan terhenyak setiap kita mengakhiri pembacaan dari masing-masing cerpen.

Selain kesembilan cerpen, buku ini dilengkapi dengan empat ulasan pembaca. Pemuatan ulasan/review dari pembaca awal sebuah buku seperti ini termasuk jarang ditemukan di buku-buku kumpulan cerpen kita. Biasanya kalaupun ada itu hanyalah sebuah pengantar baik dari penulisnya sendiri ataupun seorang tokoh terkenal. Namun buku ini menghadirkan empat ulasan sekaligus. Hal ini tentunya memberi sebuah masukan positif bagi pembacanya. Karena selain dihibur dengan cerpen-cerpennya, pembaca juga diajak memahami keseluruhan cerpen menurut sudut pandang para pengulasnya.

Judul               : Kepala yang Hilang - Kumpulan Cerpen Set Wahedi
Penulis            : Set Wahedi
Penerbit        : dbuku
Cetakan          : I, Agustus 2014
Tebal              : 100 hlm
ISBN                : 978-602-98997-9-5

*Tulisan ini diambil dari http://bukuygkubaca.blogspot.com/2014/10/kepala-yang-hilang-by-set-wahedi.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inilah Ciri Khas Kami: Baca Puisi

Oleh Nahdliya, mahasiswa PBSI 2015 asal Pantura Jawa Helmi Yahya? Begitulah penuturannya saat aku pertama kali mengenalnya. Pertama kali kami berjumpa dan bertatap muka, tepatnya saat aku melewati masa-masa ospek di lingkup Prodi PBSI. Aku sempat heran dan meragukan nama aslinya. Apakah benar seperti itu atau hanya sebagai dalih agar dia tenar di kalangan maba. Oh hanya Tuhan yang tahu mengenai namanya. Dia memperkenalkan diri pada kami sebagai wakil ketua HMP saat itu. Aku sempat berpikir keras, mencoba memahami jabatan yang dipegangnya. Bukan meragukan, tapi lebih ke arah tidak percaya. Setahuku dia konyol, lucu, gokil dan entah apa lagi. Segalayang berbau komedi melekat pada dirinya. Itu yang membuat aku tidak percaya dengan jabatan wakil ketua HMP yang dipegangnya. Di awal pertemuan dengan suasana lingkungan perguruan tinggi, aku lebih memilih acuh tak acuh tentang kak Helmi. Entah dia mau menjadi apaatau menjabat apa. Beberapa hari mengikuti ospek, aku mulai mengerti sisi

Es Lilin Cabbi

Oleh  Kuswanto Ferdian, King Favorit UTM 2016 dan Mahasiswa PBSI 2014 asal Pamekasan Perkenalkan namaku Kuswanto Ferdian. Kalian bisa memanggilku Wawan. Kawan-kawan  di desa memanggilku “Phebeng”. Entahlah apa maksud dari panggilan itu. Aku menerima panggilan itu begitu saja. Aku berasal dari Pulau Garam Madura. Waktu aku masih kanak-kanak , aku sering bermain dengan kawan-kawan d esaku, D esa K olpajung, Pamekasan, Madura. Desaku populer dengan julukan “Kampung Hijau”. Julukan itu diberikan karena desaku sering menjuarai lomba “Adipura Kabupaten” yang diadakan setahun sekali. Selain banyak pohon yang rindang serta daunnya yang hijau, di sepanjang jalan desaku banyak bangunan dengan cat warna hijau. Baik bangunan Sekolah, toko, maupun rumah warga. Alasan itulah yang menjadikan desaku mandapat julukan “Kampung Hijau”. Desaku memiliki beberapa permainan tradisional. Permainan yang paling aku sukai waktu kanak-kanak, permainan “ E s Lilin Cabbi ” . P ermainan ini hampir sam

Pak Anu

O leh Dwi Ajeng Kartini Selama kuliah dua semester -dari semester satu sampai semester dua- baru kali ini aku bertemu dan diajar oleh dosen unik. Dikatakan unik karena cara mengajarnya santai dan mudah dipahami. Cara menyampaikan materi sangatlah berbeda dengan dosen lain yang cenderung membuat tegang. Hehe. Beliau adalah Bapak Salamet Wahedi. Sebelum ‘mengenal’nya, kami sudah mengetahuinya. Beliau adalah dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Desas-desisnya, beliau termasuk dosen killer , tentu aku langsung kaget. Aku takut ketika mendengar, beliau dosen yang killer . Aku takut, beliau di kelas sangat kaku, membosankan, dan tentu -saja bicara dosen killer - pelit nilai. Jujur saja, saat petama melihatnya memang benar terlihat seperti dosen killer. Aku sempat bingung karena pertama masuk, beliau duduk hanya diam. Aku sampai berpikir, sebenarnya dosen ini sedang marah atau memang gayanya seperti ini? Dengan tatapan mata yang sinis dan tidak mau menatap mahasiswa,