Oleh Rose
Kaummudapergerakan.com
Masih
terkenang di benakku, di saat nyanyian angsa
putih mengisi renungan, bersama tebalnya kabut putih yang menatap betapa
terpuruknya aku saat ini.
Keadaanku masih seperti 3 tahun yang lalu.
Saat suara
rumah menangis sedih dengan keadaan yang masih tetap.
Tanpa
ada perubahan sedikitpun. Bahkan semakin bertambah parah dari tahun ke
tahun.
“Melly, “ Suara Ibu serak. “Bisa bantu ibu, Nak?” Nada
rendahnya membangunkanku
dari renungan. Aku segera bergegas menuju suara
ibu. “Masih pukul
tiga dini
hari,” bisikku dengan mata mengantuk.
“Ini
ambil dan cepat mandi!” Suara Ibu sedikit tegas. Segera kuraih
handuk
yang lusuh dan melangkah menjauh dari ibu.
Di depan halaman, di bawah pohon yang daunnya tampak menggugurkan diri karena lelah,
tampak
ibu sedang menunggu dengan bakul jualannya yang hendak dibawa ke pasar. “Mel,
bisa lebih cepat, Nak?” Suara lembutnya menapak telingaku. “Iya, Bu,” jawabku
dengan berlari, berharap ibu tidak marah padaku. “Mari, Bu”. Sambil membawakan
jualannya, aku menda mendahului ibu. “Kau memang anak yang tak bisa membuat
kumarah”, bisiknya menjauhiku.
Aku dan ibu melangkah jauh dari rumah berharap kami
bisa menemukan apa yang kami cari di pasar. Seperti yang sudah umum di kota-kota
lain, pasar begitu ramai. Orang-orang beradu nasib. Itu membuat kami bersemangat,
menjajakan jualan hingga habis. Walaupun lebih banyak waktu kemarin daripada hari
ini, jualan kami cukup buat menghidupiku, ibu dan ayah.
Hari sudah mulai muncul menampakkkan dirinya. “Alhamdulillah!”
Seru Ibu seakan puas dengan hasil yang ia dapatkan sekarang. “Ayo, Nak kita
pulang!” Dengan tangannya berada di pundakku, aku mengikuti langkah kakinya
yang sudah sedikit rapuh. Berulang aku memberinya seulas senyum. Kami segera
melangkah pergi dari tempat keramaian.
“Ini uang saku buatmu,” Ibu menjulurkan sejumlah uang yang didapatnya dari jerih payahnya.
“Tidak, Bu. Terimah kasih. Uang sisa kemarin masih ada,”
jawabku meyakinkannya. “Simpanlah untuk kebutuhannmu,” paksanya, membuatku tak
bisa menolaknya. “Iya. Baiklah,” sahutku dengan nada malu menatap wajah ibu.
Sepertinya matahari ikut bahagia bersama kami, hingga tersenyum begitu lebar
menemani langkah kakiku menuju rumah.
Seperti biasanya, aku pun bergegas mandi dan bersiap
berangkar ke sekolah. “Hah, lagi-lagi
aku tak bertemu ayah,” gerutuku pada ibu dengan wajah yang lesuh.
“Ayahmu berangkat tadi subuh ketika ibu berjualan di
pasar,” Ibu mengusap ubun ubunku. Tanpa menghiraukannya aku menjauh dari
pandangan ibu dan bersiap untuk berangkat ke sekolah. “Melly, berangkat ya Bu,”
pamitku.
“Hati-hati di jalan,” saran Ibu menikam di ulu hati.
Banyak yang mengatakan aku hebat karena aku bisa
sekolah di sekolah favorit. Ya, walaupun ayahku seorang sopir metromini, yang
berangkat pagi pulang malam, seakan dunia ini hanya miliknya sendiri. Tapi
entah, aku menjalani hidup ini bagaikan air yang terjun dari ketinggian. Hanya
mengalir. (bersambung….)
Ilustrasi diambil dari vanillavitavita.wordpress.com
Komentar
Posting Komentar