Langsung ke konten utama

Cerita Melly (bagian I)

Oleh Rose

Kaummudapergerakan.com Masih terkenang di benakku, di saat nyanyian angsa putih mengisi renungan, bersama tebalnya kabut putih yang menatap betapa terpuruknya aku saat ini.

Keadaanku masih seperti 3 tahun yang lalu. Saat suara rumah menangis sedih dengan keadaan yang masih tetap. Tanpa ada perubahan sedikitpun. Bahkan semakin bertambah parah dari tahun ke tahun.

Melly, “ Suara Ibu serak. “Bisa bantu ibu, Nak?” Nada rendahnya membangunkanku dari renungan. Aku segera bergegas menuju suara ibu. Masih pukul tiga dini hari,” bisikku dengan mata mengantuk. “Ini ambil dan cepat mandi!” Suara Ibu sedikit tegas. Segera kuraih handuk yang lusuh dan melangkah menjauh dari ibu.

Di depan halaman, di bawah pohon yang daunnya tampak menggugurkan diri karena lelah, tampak ibu sedang menunggu dengan bakul jualannya yang hendak dibawa ke pasar. “Mel, bisa lebih cepat, Nak?” Suara lembutnya menapak telingaku. “Iya, Bu,” jawabku dengan berlari, berharap ibu tidak marah padaku. “Mari, Bu”. Sambil membawakan jualannya, aku menda mendahului ibu. “Kau memang anak yang tak bisa membuat kumarah”, bisiknya menjauhiku.

Aku dan ibu melangkah jauh dari rumah berharap kami bisa menemukan apa yang kami cari di pasar. Seperti yang sudah umum di kota-kota lain, pasar begitu ramai. Orang-orang beradu nasib. Itu membuat kami bersemangat, menjajakan jualan hingga habis. Walaupun lebih banyak waktu kemarin daripada hari ini, jualan kami cukup buat menghidupiku, ibu dan ayah.

Hari sudah mulai muncul menampakkkan dirinya. “Alhamdulillah!” Seru Ibu seakan puas dengan hasil yang ia dapatkan sekarang. “Ayo, Nak kita pulang!” Dengan tangannya berada di pundakku, aku mengikuti langkah kakinya yang sudah sedikit rapuh. Berulang aku memberinya seulas senyum. Kami segera melangkah pergi dari tempat keramaian.

“Ini uang saku buatmu,” Ibu menjulurkan sejumlah uang yang didapatnya dari jerih payahnya.
“Tidak, Bu. Terimah kasih. Uang sisa kemarin masih ada,” jawabku meyakinkannya. “Simpanlah untuk kebutuhannmu,” paksanya, membuatku tak bisa menolaknya. “Iya. Baiklah,” sahutku dengan nada malu menatap wajah ibu. Sepertinya matahari ikut bahagia bersama kami, hingga tersenyum begitu lebar menemani langkah kakiku menuju rumah.

Seperti biasanya, aku pun bergegas mandi dan bersiap berangkar ke sekolah. “Hah, lagi-lagi aku tak bertemu ayah,” gerutuku pada ibu dengan wajah yang lesuh.
“Ayahmu berangkat tadi subuh ketika ibu berjualan di pasar,” Ibu mengusap ubun ubunku. Tanpa menghiraukannya aku menjauh dari pandangan ibu dan bersiap untuk berangkat ke sekolah. “Melly, berangkat ya Bu,” pamitku.
“Hati-hati di jalan,” saran Ibu menikam di ulu hati.

Banyak yang mengatakan aku hebat karena aku bisa sekolah di sekolah favorit. Ya, walaupun ayahku seorang sopir metromini, yang berangkat pagi pulang malam, seakan dunia ini hanya miliknya sendiri. Tapi entah, aku menjalani hidup ini bagaikan air yang terjun dari ketinggian. Hanya mengalir. (bersambung….)


Ilustrasi diambil dari vanillavitavita.wordpress.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inilah Ciri Khas Kami: Baca Puisi

Oleh Nahdliya, mahasiswa PBSI 2015 asal Pantura Jawa Helmi Yahya? Begitulah penuturannya saat aku pertama kali mengenalnya. Pertama kali kami berjumpa dan bertatap muka, tepatnya saat aku melewati masa-masa ospek di lingkup Prodi PBSI. Aku sempat heran dan meragukan nama aslinya. Apakah benar seperti itu atau hanya sebagai dalih agar dia tenar di kalangan maba. Oh hanya Tuhan yang tahu mengenai namanya. Dia memperkenalkan diri pada kami sebagai wakil ketua HMP saat itu. Aku sempat berpikir keras, mencoba memahami jabatan yang dipegangnya. Bukan meragukan, tapi lebih ke arah tidak percaya. Setahuku dia konyol, lucu, gokil dan entah apa lagi. Segalayang berbau komedi melekat pada dirinya. Itu yang membuat aku tidak percaya dengan jabatan wakil ketua HMP yang dipegangnya. Di awal pertemuan dengan suasana lingkungan perguruan tinggi, aku lebih memilih acuh tak acuh tentang kak Helmi. Entah dia mau menjadi apaatau menjabat apa. Beberapa hari mengikuti ospek, aku mulai mengerti sisi

Es Lilin Cabbi

Oleh  Kuswanto Ferdian, King Favorit UTM 2016 dan Mahasiswa PBSI 2014 asal Pamekasan Perkenalkan namaku Kuswanto Ferdian. Kalian bisa memanggilku Wawan. Kawan-kawan  di desa memanggilku “Phebeng”. Entahlah apa maksud dari panggilan itu. Aku menerima panggilan itu begitu saja. Aku berasal dari Pulau Garam Madura. Waktu aku masih kanak-kanak , aku sering bermain dengan kawan-kawan d esaku, D esa K olpajung, Pamekasan, Madura. Desaku populer dengan julukan “Kampung Hijau”. Julukan itu diberikan karena desaku sering menjuarai lomba “Adipura Kabupaten” yang diadakan setahun sekali. Selain banyak pohon yang rindang serta daunnya yang hijau, di sepanjang jalan desaku banyak bangunan dengan cat warna hijau. Baik bangunan Sekolah, toko, maupun rumah warga. Alasan itulah yang menjadikan desaku mandapat julukan “Kampung Hijau”. Desaku memiliki beberapa permainan tradisional. Permainan yang paling aku sukai waktu kanak-kanak, permainan “ E s Lilin Cabbi ” . P ermainan ini hampir sam

Pak Anu

O leh Dwi Ajeng Kartini Selama kuliah dua semester -dari semester satu sampai semester dua- baru kali ini aku bertemu dan diajar oleh dosen unik. Dikatakan unik karena cara mengajarnya santai dan mudah dipahami. Cara menyampaikan materi sangatlah berbeda dengan dosen lain yang cenderung membuat tegang. Hehe. Beliau adalah Bapak Salamet Wahedi. Sebelum ‘mengenal’nya, kami sudah mengetahuinya. Beliau adalah dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Desas-desisnya, beliau termasuk dosen killer , tentu aku langsung kaget. Aku takut ketika mendengar, beliau dosen yang killer . Aku takut, beliau di kelas sangat kaku, membosankan, dan tentu -saja bicara dosen killer - pelit nilai. Jujur saja, saat petama melihatnya memang benar terlihat seperti dosen killer. Aku sempat bingung karena pertama masuk, beliau duduk hanya diam. Aku sampai berpikir, sebenarnya dosen ini sedang marah atau memang gayanya seperti ini? Dengan tatapan mata yang sinis dan tidak mau menatap mahasiswa,