Oleh Teduh Sunyi AP
Kaummudapergerakan-Pandau. Salam
Golput. Di sini Ahad. Suara keran air di kamar mandi. Dan orang mengaji di
mesjid. Dan aku ingin bercerita padamu.
Rimbo Panjang. Dulu kakekku pernah
melewati daerah ini dengan sepeda sewaktu hendak ke Pekanbaru berjumpa Tuok
Onga-ku yang sedang sekolah di SGO (Sekolah Guru Olahraga). Sebenarnya itu jarak
yang lumayan jauh. Untuk sampai ke Pekanbaru dari kampung kami dengan sepeda
motor atau mobil biasanya menghabiskan waktu hampir dua jam.
Tapi, ketika itu kakek bersepeda karna rindunya yang
sangat pada Tuok Onga-ku, sedangkan kakek tak punya uang untuk ongkos. Di
belakang sepedanya diikatkan kotak kayu yang di dalamnya bekal sebulan untuk
Tuok Onga. Dan dulu Rimbo Panjang itu masihlah seperti namanya, Rimba yang
panjang. Keadaan jalan serta kendaraan yang melewatinya tentulah tidak seperti
sekarang. Dan aku melihat Kakek melintas di situ dengan kayuh sepedanya.
Rimbo Panjang. Kemarin aku melewatinya ketika hendak
ke Pekanbaru menjalankan rutinitasku setelah rehat sejenak di kampung. Tidak
pakai sepeda, tapi motor Supra. Dan Rimbo Panjang tidaklah lagi seperti namanya
dulu. Walaupun masih ada beberapa kebun karet tersisa, tapi ruko-ruko sudah
banyak berdiri. Lahan-lahan sudah banyak dibuka dan disulap menjadi perumahan
dengan rumah kecil-kecil berjejer rapi saling berdempetan dan tanpa
pohon-pohon. Dan di tepi jalan Rimbo Panjang itu juga sudah berdiri sekolah.
Ada sekolah dasar dan yang paling baru ada Pasantren Gontor khusus untuk putri.
Tentang inilah sebenarnya kuingin bercerita padamu,
pengalamanku sewaktu melewati Sekolah Dasar di daerah Rimbo Panjang. Jika kita
melewati daerah itu tepat pada jam pulang sekolah maka akan banyak anak-anak
yang melambaikan tangan untuk mendapatkan tumpangan. Jarak rumah mereka ke
sekolah cukup jauh sedang orang tua mereka tidak sempat menjemput.
Kendaraan umum untuk anak sekolah di daerah itu
setahuku tidak ada pula. Hanya ada superben (travel putih) yang melintas
menuju Pekanbaru. Tapi biasanya sudah penuh penumpang dan tentu tidak ada
tempat untuk anak sekolah yang ongkosnya pun paling seribu rupiah. Dan mencari
tumpangan menjadi alternatif. Amankah ini? Bagaimana kalau ada yang berniat
jahat? Anak-anak itu tinggal dibawa dan dilarikan tanpa ada orang bisa
melacaknya. Aku khawatir. Tapi sejauh ini untunglah belum ada terdengar cerita
serupa itu. Semoga Allah senantiasa melindungi mereka.
Dan hari itu, ada dua orang anak perempuan yang
melambaikan tangan padaku. Salah satunya bernama Melda. Melda aku lupa kelas
berapa. Tapi masih kecil. Ternyata perjalanannya cukup jauh. Dua kali ia mesti
mencari tumpangan. Dari Rimbo Panjang ia mencari tumpangan hingga sampai
Simpang Panam. Kemudian di Simpang Panam ia mesti ke arah Kubang. Jarak yang ia
mesti tempuh lebih kurang dari UGM ke daerah Krapyak.
Bagi yang berkendaraan tentu ini belum terlalu jauh
sangat. Tapi bagi seorang anak kecil yang hanya mengharapkan tumpangan dari
orang lain (dari orang yang tidak dikenalnya), menurutku ini cukup jauh dan
riskan. Dan ketika ditanya mengapa tidak cari sekolah yang dekat saja, katanya
biaya pindah mahal.
Dulu ketika Ibunya masih hidup mereka memang tinggal
di Rimbo Panjang. Tapi, setelah Ibunya meninggal, mereka pindah. Ayahnya
tinggal di daerah Pasar Pusat sedangkan kakaknya pindah ke Kubang dan Melda
tinggal bersama kakaknya.
Begitulah. Yang kupikirkan sewaktu itu, bahwa ternyata
masih banyak orang baik di tengah hidup yang keras dan mencemaskan. Dan
anak-anak itu bisa bertahan dengan cara seperti itu. Setidaknya, masih ada
penyejuk saat segala kepesimisan dan kecemasanku datang.
Sampai di sini dulu suratku kali ini temanku, Set Wahedi.
Semoga sehat dan damai selalu kamu di sana
Salamku,
Teduh Sunyi AP
Pandau,
28 April 2014
Teduh
Sunyi AP, magarsari Desa Pandau, Riau.
Komentar
Posting Komentar