Langsung ke konten utama

SAHABAT ADA UNTUK SAHABAT

Oleh Mega Agustini

Kaummudapergerakan. Pagi yang indah. Merah sang surya mulai menampakkan diri ke permukaan. Dingin menyeruap menusuk raga. Hingga dalam perjalanan menuju sekolah diriku merasa kedinginan. Pagi itu aku bersama Devi, kakak kelasku.
           
Di sekolah

‘’Marisa apakah kamu sudah mengerjakan tugas Geografi?’’ tanya sahabatku yang mungil, Amel.
‘’Sudah,’’ jawabku.
‘’Aku boleh pinjam tugasmu, soalnya aku belum selesai mengerjakannya?’’ Mintanya dengan nada centilnya padaku.
‘’Baiklah, sesampainya di kelas nanti akan ku kasih tugasnya,’’ jawabku dengan santai.
“Terimah kasih,” ucap sahabatku ini.

Sahabtaku Amel gadis cantik, mungil dan lucu ini kerap kali lupa untuk mengerjakan tugas sekolah. Biasanya dia selalu memintaku untuk membantunya mengerjakan tugas ketika di dalam kelas. Aku dan Amel selalu bersama meski kami memiliki sifat yang berbeda. Amel lincah, periang dan centil, sedangkan aku pendiam dan lembut.

Trinnkk.. trinkk. Bel masuk berbunyi. Aku dan teman-teman bergegas untuk masuk kelas dan mengikuti  jam pelajaran. Namun Amel belum juga menyelesaikan tugasnya hingga guru pengajar masuk ke dalam kelas.

“Aduuh...gimana ini? Aku belum selesai mengerjakan,” ucap Amel dengan panik.
“Memangnya kemarin kamu ke mana? Mengapa gak dikerjakan? Tanyaku dengan mencoba menenangkan kepanikannya.
“Aku lupa kalau sekarang ada tugas,” jawabnya dengan suara yang pelan.
“Kumpulkan tugasnya sekarang! Sambung Ibu lestari dengan nada yang datar.
“Mampus aku, gimana ini? Kepanikan Amel kian memuncak. Wajahnya yang mungil dengan lesung pipi yang manis tiba-tiba berubah menjadi cemberut. Alisnya mengerut.
“Siapa yang tidak mengumpulkan?’ Tanya Ibu Lestari. Kepanikan Amel kian memuncak tingkat maksimal, kemudian dia mengacungkan tangannya seraya berkata, “Saya, Bu.” Dengan suara yang lirih dan kepala menunduk.
“Kenapa kamu tidak mengerjakan Amel? Tanya Ibu Lestari dengan marah.
“Saya lupa, Bu,” jawab Amel.
“Keluar kamu. Saya kasih kamu alfa selama 2 jam!” Perintah Ibu Lestari dan tangannya menunjuk keluar pintu. Dengan rasa penyesalan akhirnya Amel keluar kelas selama pelajaran Ibu Lestari.

Seiring berjalannya waktu bel istirahat berbunyi. Trinkk...trinkk. Aku dan Amel bergegas keluar menuju kantin untuk membeli beberapa makanan ringan. Di tengah perjalanan Amel berkata padaku, “Aku menyesal tidak mengerjakan tugas geografi tadi,” dengan nada penyesalan.
“Makanya kalau ada tugas dikerjakan. Biar tidak dikeluarkan lagi. Kan kasihan kamu gak ada temannya,” sindirku padanya.
“Huu, kamu ini, bukannya bantuin malah menyindirku,” wajahnya yang mungil berubah cemberut.
“Ya, ya maaf. Gimana kalau ada tugas lagi kita kerja kelompok di rumahku?” Tawarku padanya.
“Iya aku setuju,” kepala Amel ikut mengangguk. “Nanti sore aku akan ke rumahmu untuk belajar bersama,” tambahnya lagi.

Bel pulang sekolahpun berbunyi.aku dan semua siswa bergegas pulang. Sorenya, Amel datang kerumahkuuntuk mengerjakan tugas geografi. Tak terasa 2 jam berlalu, akhirnya Amel mengerti dan menyelesaikan tugasnya dengan baik.

Keesokan harinya, Amel  dapat mengikuti pelajaran geografi. Ia berjanji jika tidak mengerti maka ia akan bertanya dan dia akan mengerjakan semua tugasnya dengan segera. Karena ia takut jika tidak dapat mengikuti pelajaran lagi. Ia takut kalau orang tuanya sampai tahu.

Kebersamaanku dengan Amel terjalin setiap hari. Amel adalah sahabatku yang baik. Aku membutuhkan Amel, Amel juga membutuhkan aku. Kami saling membutuhkan.

Mega Agustini, siswa SMAN 1 Kalianget, Sumenep
Catatan: ilustrasi ini diambil dari miri4evernet.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inilah Ciri Khas Kami: Baca Puisi

Oleh Nahdliya, mahasiswa PBSI 2015 asal Pantura Jawa Helmi Yahya? Begitulah penuturannya saat aku pertama kali mengenalnya. Pertama kali kami berjumpa dan bertatap muka, tepatnya saat aku melewati masa-masa ospek di lingkup Prodi PBSI. Aku sempat heran dan meragukan nama aslinya. Apakah benar seperti itu atau hanya sebagai dalih agar dia tenar di kalangan maba. Oh hanya Tuhan yang tahu mengenai namanya. Dia memperkenalkan diri pada kami sebagai wakil ketua HMP saat itu. Aku sempat berpikir keras, mencoba memahami jabatan yang dipegangnya. Bukan meragukan, tapi lebih ke arah tidak percaya. Setahuku dia konyol, lucu, gokil dan entah apa lagi. Segalayang berbau komedi melekat pada dirinya. Itu yang membuat aku tidak percaya dengan jabatan wakil ketua HMP yang dipegangnya. Di awal pertemuan dengan suasana lingkungan perguruan tinggi, aku lebih memilih acuh tak acuh tentang kak Helmi. Entah dia mau menjadi apaatau menjabat apa. Beberapa hari mengikuti ospek, aku mulai mengerti sisi

Es Lilin Cabbi

Oleh  Kuswanto Ferdian, King Favorit UTM 2016 dan Mahasiswa PBSI 2014 asal Pamekasan Perkenalkan namaku Kuswanto Ferdian. Kalian bisa memanggilku Wawan. Kawan-kawan  di desa memanggilku “Phebeng”. Entahlah apa maksud dari panggilan itu. Aku menerima panggilan itu begitu saja. Aku berasal dari Pulau Garam Madura. Waktu aku masih kanak-kanak , aku sering bermain dengan kawan-kawan d esaku, D esa K olpajung, Pamekasan, Madura. Desaku populer dengan julukan “Kampung Hijau”. Julukan itu diberikan karena desaku sering menjuarai lomba “Adipura Kabupaten” yang diadakan setahun sekali. Selain banyak pohon yang rindang serta daunnya yang hijau, di sepanjang jalan desaku banyak bangunan dengan cat warna hijau. Baik bangunan Sekolah, toko, maupun rumah warga. Alasan itulah yang menjadikan desaku mandapat julukan “Kampung Hijau”. Desaku memiliki beberapa permainan tradisional. Permainan yang paling aku sukai waktu kanak-kanak, permainan “ E s Lilin Cabbi ” . P ermainan ini hampir sam

Pak Anu

O leh Dwi Ajeng Kartini Selama kuliah dua semester -dari semester satu sampai semester dua- baru kali ini aku bertemu dan diajar oleh dosen unik. Dikatakan unik karena cara mengajarnya santai dan mudah dipahami. Cara menyampaikan materi sangatlah berbeda dengan dosen lain yang cenderung membuat tegang. Hehe. Beliau adalah Bapak Salamet Wahedi. Sebelum ‘mengenal’nya, kami sudah mengetahuinya. Beliau adalah dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Desas-desisnya, beliau termasuk dosen killer , tentu aku langsung kaget. Aku takut ketika mendengar, beliau dosen yang killer . Aku takut, beliau di kelas sangat kaku, membosankan, dan tentu -saja bicara dosen killer - pelit nilai. Jujur saja, saat petama melihatnya memang benar terlihat seperti dosen killer. Aku sempat bingung karena pertama masuk, beliau duduk hanya diam. Aku sampai berpikir, sebenarnya dosen ini sedang marah atau memang gayanya seperti ini? Dengan tatapan mata yang sinis dan tidak mau menatap mahasiswa,