Langsung ke konten utama

Penghisapan Keringat Itu Tidak Adil, Tuan Tanah!

petani garam lagi mikul
Oleh Ki Ageng Linglung

Kaummudapergerakan-Guluk-Guluk. Tuan Tanah Terhormat, bagaimana kabarmu? Semoga baik, sehat dan lancar-tenteram dalam beribadah.

Hari ini (Rabu, 17 September 2014) kami ingin berbagi cerita tentang acara Lokakarya Nasional “Garam Indonesia dan Kendala Kesejahteraan Petaninya”  di PP. Annuqayah, Guluk-guluk, Sumenep. Acara ini akan berlangsung selama empat hari, yaitu mulai tanggal 15-18 September 2014. Dalam acara itu, kami bertemu dengan para petani dari berbagai daerah di Indonesia, sebut saja Indramayu, Jepara, Cirebon, Palu, NTB, NTT, dan Sumenep.

Dalam lokakarya yang diselenggarakan oleh KIARA itu, para petani berbagi cerita dan keluh-kesah sebagai petani garam. Banyak hal yang sebenarnya mereka utarakan dan pertanyakan tentang kebijakan pemerintah terkait petani garam, terutama ketidakstabilan harga garam dan keputusan mengimpor garam.

Tuan Tanah Terhormat, tapi bukan itu yang ingin kami cerita padamu. Kami ingin bercerita tentang komentar seorang petani garam dari Indramayu tentang sistem tellon atau leman yang selama ini kita anut. Petani Indramayu itu dengan mata tak percaya dan kepala menggeleng, mengungkapkan, bahwa sistem tellon yang membagi hasil garam dengan porsi satu bagian untuk petani dan dua bagian untuk pemilik tanah atau sistem leman yang menghendaki dua bagian untuk petani dan tiga bagian untuk pemilik tanah, itu tidak adil.

Petani garam dari Indramayu itu juga menambahkan, apa rasionalisasi penerapan sistem tellon dan leman yang selama ini kita anut? Bukankah yang berjemur dan pontang-panting menghasilkan garam itu petani? Sedangkan pemilik tanah hanya ongkang-ongkang kaki dan bergoyang-goyang sambil menikmati suguhan kopi?

Di Indramayu, Tuan Tanah, yang terjadi justru sebaliknya. Sistem tellon di Indramayu membagi hasil garam dengan pola 2 bagian untuk petani dan 1 bagian untuk pemilik tanah, dan leman dengan pola 3 bagian untuk petani dan 2 bagian untuk pemilik tanah.

Di akhir komentarnya, petani Indramayu itu menegaskan bahwa sistem tellon dan leman yang kita anut selama ini sebagai penghisapan keringat. “Sedangkan penghisapan keringat itu tidak adil. Itu tidak adil,” pungkas petani garam Indramayu itu. Mendengar penjelasan itu, kami hanya manggut-manggut.

Tuan Tanah Terhormat, melalui cerita ini kami juga bertanya: “Menurut Tuan Tanah bagaimana? Sudah adilkah pembagian dengan sistem tellon dan leman yang selama ini kita anut? Menurut Tuan Tanah benarkah penghisapan keringat itu tidak adil? Setujukah Tuan Tanah, kalau penghisapan keringat itu dikatakan seperti cara para penjajah menjajah kita?”

Oh ya, satu lagi Tuan Tanah yang ingin kami ceritakan, di berbagai daerah bantuan untuk petani garam (:PUGAR) itu diperuntukkan untuk para petani. Tujuannya agar petani tidak terlilit hutang dalam masa awal produksi atau dengan bantuan itu para petani dapat meningkatkan hasil produksi dengan cara membeli alat-alat yang dapat mendukung proses produksi garam seperti geo-mimbran. Tapi selama ini, bantuan itu kan lebih banyak dinikmati oleh Tuan kan?

Mohon maaf, Tuan Tanah Terhormat kalau “cerita” ini semacam keluh kesah dan sedikit tidak etis. Semoga Tuan Tanah segera naik haji lagi. Kami minta tolong, berdoalah di dekat ka’bah semoga penghisapan keringat para petani oleh Tuan Tanah segera berakhir. Semoga para petani sejahtera dan bisa naik haji seperti Tuan Tanah menunaikan perintah Tuhan ke tanah suci Makkah-Madinah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inilah Ciri Khas Kami: Baca Puisi

Oleh Nahdliya, mahasiswa PBSI 2015 asal Pantura Jawa Helmi Yahya? Begitulah penuturannya saat aku pertama kali mengenalnya. Pertama kali kami berjumpa dan bertatap muka, tepatnya saat aku melewati masa-masa ospek di lingkup Prodi PBSI. Aku sempat heran dan meragukan nama aslinya. Apakah benar seperti itu atau hanya sebagai dalih agar dia tenar di kalangan maba. Oh hanya Tuhan yang tahu mengenai namanya. Dia memperkenalkan diri pada kami sebagai wakil ketua HMP saat itu. Aku sempat berpikir keras, mencoba memahami jabatan yang dipegangnya. Bukan meragukan, tapi lebih ke arah tidak percaya. Setahuku dia konyol, lucu, gokil dan entah apa lagi. Segalayang berbau komedi melekat pada dirinya. Itu yang membuat aku tidak percaya dengan jabatan wakil ketua HMP yang dipegangnya. Di awal pertemuan dengan suasana lingkungan perguruan tinggi, aku lebih memilih acuh tak acuh tentang kak Helmi. Entah dia mau menjadi apaatau menjabat apa. Beberapa hari mengikuti ospek, aku mulai mengerti sisi

Es Lilin Cabbi

Oleh  Kuswanto Ferdian, King Favorit UTM 2016 dan Mahasiswa PBSI 2014 asal Pamekasan Perkenalkan namaku Kuswanto Ferdian. Kalian bisa memanggilku Wawan. Kawan-kawan  di desa memanggilku “Phebeng”. Entahlah apa maksud dari panggilan itu. Aku menerima panggilan itu begitu saja. Aku berasal dari Pulau Garam Madura. Waktu aku masih kanak-kanak , aku sering bermain dengan kawan-kawan d esaku, D esa K olpajung, Pamekasan, Madura. Desaku populer dengan julukan “Kampung Hijau”. Julukan itu diberikan karena desaku sering menjuarai lomba “Adipura Kabupaten” yang diadakan setahun sekali. Selain banyak pohon yang rindang serta daunnya yang hijau, di sepanjang jalan desaku banyak bangunan dengan cat warna hijau. Baik bangunan Sekolah, toko, maupun rumah warga. Alasan itulah yang menjadikan desaku mandapat julukan “Kampung Hijau”. Desaku memiliki beberapa permainan tradisional. Permainan yang paling aku sukai waktu kanak-kanak, permainan “ E s Lilin Cabbi ” . P ermainan ini hampir sam

Pak Anu

O leh Dwi Ajeng Kartini Selama kuliah dua semester -dari semester satu sampai semester dua- baru kali ini aku bertemu dan diajar oleh dosen unik. Dikatakan unik karena cara mengajarnya santai dan mudah dipahami. Cara menyampaikan materi sangatlah berbeda dengan dosen lain yang cenderung membuat tegang. Hehe. Beliau adalah Bapak Salamet Wahedi. Sebelum ‘mengenal’nya, kami sudah mengetahuinya. Beliau adalah dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Desas-desisnya, beliau termasuk dosen killer , tentu aku langsung kaget. Aku takut ketika mendengar, beliau dosen yang killer . Aku takut, beliau di kelas sangat kaku, membosankan, dan tentu -saja bicara dosen killer - pelit nilai. Jujur saja, saat petama melihatnya memang benar terlihat seperti dosen killer. Aku sempat bingung karena pertama masuk, beliau duduk hanya diam. Aku sampai berpikir, sebenarnya dosen ini sedang marah atau memang gayanya seperti ini? Dengan tatapan mata yang sinis dan tidak mau menatap mahasiswa,