Oleh Salamet Wahedi
Upacara nyadhâr
di Desa Pinggir Papas merupakan pagelaran tradisi yang merefleksikan khasanah
lokal dan nilai-nilai agama. Upacara nyadhâr
pertama yang akan dilaksanakan pada 8-9 Agustus 2014 itu, tidak sekadar
mengekpresikan kebahagiaan atas melimpah ruahnya garam. Akan tetapi juga menjadi
manifestasi rasa syukur kehambaan atas karunia Tuhan. Bahkan, tradisi nyadhâr bermakna “hari raya” bagi
masyarakat Pinggir Papas.
Dalam konteks kekinian, tradisi warisan Syekh
Anggasuto dan saudara-saudaranya itu dapat menjadi jalan spiritual bagi anak-putu-nya
untuk menemukan dua arti hidup yang hampir raib. Pertama, arti penghambaan. Silsilah
Syeckh Anggasuto dan saudara-suadaranya dalam menggelar tasyakuran atau
memenuhi nadzarnya untuk selamatan
atas karunia garam sebagai sumber penghasilan, dapat menjadi i’tibar atau pertanda untuk
mengembalikan segala kejadian kepada kuasa Tuhan.
Dalam melaksanakan tasyakurannya, Syech
Anggasuto mengajarkan untuk mengedepankan nilai-nilai cinta pada Tuhan.
Kemeriahan upacara nyadhâr tidak
boleh melebihi kemeriahan ritual “maulid agung”, yaitu upacara memperingati
hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dengan kata lain, niat pelaksanaan nyadhâr harus ditekankan pada kesadaran
yang utuh untuk mengembalikan dan mengemas ungkapan kebahagiaan dan syukur
dalam koridor yang digariskan Tuhan dan rasul-Nya.
Dengan demikian, upacara nyadhâr diharapkan menjadi ruang muhasabah bagi masyarakat Pinggir Papas dalam menghayati roda
kehidupan. Sehingga ritual nyekar ke makam
para leluhur sebelum acara puncak nyadhâr
dapat menghadirkan kesadaran, bahwa semuanya berasal dari Allah dan akan
kembali kepada-Nya. Atau ritual ngaum
(makan nasi panjang bersama-sama) di ritual puncak nyadhâr dapat menumbuhkan kesadaran akan karunia Tuhan yang begitu
melimpah ruah. Kesadaran akan kemelimpah-ruahan rizki Tuhan itu diharapkan
dapat menumbuhkan sikap berbagi kepada sesama.
Kedua, arti identitas. Modernisasi dengan segala
produk instannya, menggiring manusia pada ruang paradoks. Di satu sisi
masyarakat disuguhi pola hidup yang praktis dan instan, dan di sisi lain
ruang-ruang kosong (hampa) menjebak mereka pada kubang kegelisahan. Sehingga
masyarakat berjalan di atas rel kegamangan. Akibatnya, lambat-laun masyarakat
kehilangan identitas sebagai satu komunitas. Masyarakat mudah terpecah belah
demi hal-hal sepele dan kepuasaaan sesaat.
Di sinilah, melaksanakan dan menghayati tradisi
–semisal nyadhâr- akan membawa masyarakat
pada ruang kontemplasi. Dengan tradisi, masyarakat diharapkan dapat bertanya
tentang kebermaknaan rutinitas dan interaksi sosialnya. Nyadhâr yang dilaksanakan dengan tata acara adat dan anjuran bernilai
fardlu bagi anak-putu Syehk Anggasuto
dan saudara-saudaranya menjadi tali pengikat masyarakat Pinggr Papas.
Sebagai “hari raya”, upacara nyadhâr menjadi momentum bagi masyarakat
Pinggir Papas untuk menengok ruang-ruang kebersamaannya. Mereka yang berada di luar
pulau berusaha untuk pulang ke tanah kelahiran. Mereka pulang demi kebersamaan
dan tugas pokok warisan leluhur untuk menikmati sekaligus mensyukuri nikmat
Tuhan. Artinya, upacara nyadhâr
mengajarkan kita untuk menyadari kehadiran Tuhan dalam kebersamaan. Seperti
halnya dalam hari raya idul fitri dan
adlha, dalam upacara nyadhâr masyarakat Pinggir Papas
menemukan makna kesatuannya sebagai sebuah komunitas.
Menyembuhkan Luka
Dewasa ini, tradisi nyadhâr berhadapan dengan ruang pelik. Tradisi nyadhâr yang mengajarkan kesopanan, kehalusan dan kekhusukan
berhadapan dengan generasi modern yang rasional, instan dan praktis. Tak pelak,
pelaksanaan upacara nyadhâr terkesan sekadar
merayakan warisan leluhur semata. Salah satu penyebab ruang pelik itu, gagalnya
tranformasi kebudayaan dalam interaksi sosial masyarakat modern.
Ruh tradisi, seperti nyadhâr, tersimpan dalam aura mitos yang melingkupinya. Semakin besar
mitos yang melingkupinya, semakin ‘sakral’ yang disuguhkan. Akan tetapi mitos
pulalah yang menjebak kita untuk mengungkung gerak nalar rasio. Mitos memaksa
kita untuk tidak berkata-kata atau pasrah akan lelaku yang bertahan sejak lama.
Karena mitos pula kita terjebak dalam kekakuan sekaligus kepincangan berpikir
dan cara pandang terhadap budaya.
Pun masyarakat Pinggir Papas, yang menganggap penelusuran
terhadap silsilah dan masa lalu mereka sebagai “kutukan”. Mereka menganggap
bahwa penelusuran masa lalu, seperti mengorek luka lama. ‘Kepercayaan’ semacam
itu menjadikan konsep dan pemahaman terhadap tradisi cenderung stagnan. Dengan
narasi “penelusuran masa lalu seperti mengorek luka lama”, para pini-sepuh
bertahan untuk memandang tradisi sebagai produk daripada sebagai proses. Sikap
itu, pada akhirnya menyebabkan generasi muda kehilangan akses terhadap pemaknaan
akan akar budayanya.
Dilema antara menjaga kesakralan mitos tradisi
dan perlunya trasformasi nilai-nilai tradisi membuat kita gamang. Upacara nyadhâr pun berjalan dengan ruh yang
mengawang di antara langit dan bumi. Upacara nyadhâr pada akhirnya tak mampu untuk membentuk karakter individu pemangkunya
menjadi lebih beradab dan bertakwa. Bahkan nyadhâr
sekadar menjadi momentum perayaan ritual tradisi dan agama semata.
Kegamangan gagalnya tranformasi budaya pada
generasi muda dapat kita temukan dalam serangkaian ritual nyadhâr. Banyak peziarah tidak lagi mengindahkan etiket ketika nyekar ke makam para leluhur yang
dianggap sakral. Mereka dengan enjoy
mempertontonkan “budaya” salah-kaprah. Ziarah kubur dengan pakaian “u can see” seolah-olah
menjadi mode menakjubkan kaum modern.
Karena itu, mitos “mengorek luka lama” yang
bertahan dalam diri sebagian orang-orang Pinggir Papas mesti segera dibedah.
Mereka harus lebih jernih memandang dan mendudukkan upacara nyadhâr sebagai produk sekaligus proses
men-tradisi yang mesti diwariskan secara utuh pada anak cucu. Nyadhâr mesti diniatkan untuk membentuk
tatanan masyarakat yang berbudaya sekaligus berketuhanan yang kuat.
Kemungkinan
lain yang dapat ditempuh pada masa yang akan datang, sebagai upaya mentranformasikan
upacara nyadhâr beserta nilai-nilai
yang melingkupinya, masyarakat Pinggir Papas dapat mengkonkretkan tata adat mereka
dalam lembaga adat dan rumah budaya. Lembaga adat untuk menghidupkan kembali
peran-peran tokoh lokal dalam dinamika sosial. Sedangkan rumah budaya untuk
menjadi ruang dialog antara pini-sepuh dan generasi muda dalam memahami lapisan
makna upacara nyadhâr.
*dimuat di Koran Madura, 6 Agustus 2014
Komentar
Posting Komentar