Langsung ke konten utama

Saya (bangga) Orang Madura *

Oleh Set Wahedi

Kaummudapergerakan-Sumenep. Syahdan, lelaki itu gugup dan gemetar menginjakkan kakinya di tanah luar tumpah darahnya. Tak hanya keasingan yang menyergap. Seribu bayangan berkelebat. Mereka menyeringaikan gigi tajam. Mereka membisikkan doa dan mantra, serta kutukan. Mereka yang bernama domba-domba kemanusiaan dan kebudayaan.

Bertahun, lelaki itu terkurung dalam seringai domba kebudayaan. Sekadar menyebut nama, apalagi tanah kelahiran, dia begitu gemetaran. Dirinya takut dihujat. Dijauhi. Dipandang sinis. Dan yang paling ditakutinya, dirinya diolok-olok: wuih, para pembunuh.

Lelaki itu lahir di abad elektronik yang berguncang. Dia sendiri belum paham kenapa kelebat bayangan itu mencekam. Mereka seperti bayang-bayang dirinya. Seperti siaran televisi yang mengeksodus ke sel-sel rumah. Sel-sel otak.

Lelaki itu tumbuh tanpa ingatan. Kini, dia mesti mencari dan mengabarkannya.
***
Suatu malam dia melenguh. Di tangannya buku ‘Mata Blater’ memandangnya. Matanya kikuk. Berulang dia pastikan: cerpen-cerpen ini membawa spirit warna lokal. Menerjemahkan keberaksaraan dan kebermaknaan tradisi tanah kelahirannya: carok. Dia bergidik. Dan dia teringat, kini saatnya untuk berdialog. Mengabarkan hakikat carok bagi tanah-masyarakatnya.

‘Mata Blater’ di tangannya memiliki beberapa ruang. Pertama sebagai ruang-ungsi. Di sinilah, dia akan mengungsikan segala ketakutan dan kekhawatirannya. Dia akan mengikuti saran Kafka, buku adalah tempat mengungsikan segala kengerian. Sehingga carok, tak harus dipahami sebagai kekerasan semata. Carok menginginkan sikap jantan dan kesatria dari pelakunya.

Kedua, sebagai ruang ingatan. Dia sadar, sebagai anak abad elektronik, telinganya pengap dan pekak dengan gemuruh mesin dan bising dentam pembangunan. Dengan “Mata Blater”, dia berharap awan kegamangan segera menyisih. Eksistensi diri yang lama kecut, kembali tegak.

Dari beberapa cerpen yang terkumpul, dia sangat suka “Mata Blater”. Dia suka gaya Madrusin yang menunjukkan ciri khas carok dengan warna lain: tegas dan jantan, tapi tak tak brutal (:membunuh). Meski dikenal sebagai blater, biang kerok kerusuhan dan perjudian, dia tetap memegang teguh prinsip leluhur, “lebih baik putih tulang dari pada putih mata” dengan teguh. Dia tak perlu mengeluarkan kekuatan dan kekuasaan ke-blater-annya demi mendapatkan Sati.

Sikap ksatria dan jantan Madrusin, dalam tradisi carok dapat dilihat pada sikapnya yang dengan tenang mendatangi keluarga Sati,
“…pelan-pelan Madrusin mengeluarkan sebilah clurit dari balik punggungnya. Lalu, dengan clurit itu dipotongnya tiga helai rambut Sati, yang kemudian dimasukkannya ke dalam cangkir kopi…

“Lalu, Madrusin mengambil kembali ketiga helai rambut Sati dari dalam cangkir kopi, dan ditaruhnya persis pada gagang clurit.

Madrusin tak perlu membabi buta membuat onar atau membunuh orang demi mendapatkan Sati. Madrusin hanya memberikan tantangan yang tenang dan sopan, tapi membutuhkan nyali yang besar untuk melakukannya.

Sedangkan dalam cerpen “Bulan Selaksa Clurit”, “Kerabhan Sape”, “Eppak”, dan “Tandak”, lelaki itu mendapatkan lanskap riuh-suram keangkuhan dan harga diri. Seorang Gani, demi mendapatkan prestise sebagai pangerrap yang handal, rela menaruhkan anaknya, Asnain. Sayangnya, keangkuhan Gani bertepuk sebelah tangan. Madrusin (dalam cerpen “Bulan Selaksa Clurit”) dengan lugas membentak balik. Bahkan dengan cekatan Madrusin dapat menangkap sabetan keangkuhan clurit Gani dan merubuhkannya ke tanah (halaman 10). Ada keangkuhan (Gani) sekaligus keluhuran (Madrusin) yang beradu dalam cerpen ini.

Egoisme atau keangkuhan pun dapat dilihat pada keputusan Lubanjir membunuh sapinya dan mengusir anaknya (cerpen “Kerabhan Sape”). Gara-gara sapi kerapannya kalah, Lubanjir merasa harga dirinya terinjak. Seperti perih luka sapi, dia meradang. Menebaskan cluritnya pada sepasang sapinya (halaman 22).

Dalam cerpen “Eppak” dan “Tandak”, sikap Lubanjir yang membunuh mertuanya dan Madrusin yang menebar ancaman pada Mahwani, disebabkan cederanya ‘harga diri’ yang angkuh. Sayangnya, keangkuhan ini bermuara pada tindak negatif. Sejenak, hal ini pun serta merta dikaitkan dengan carok. Ah, alangkah tak adil dan naifnya. Kejahatan yang berangkat dari ambisi, ego, serta ketakrasionalan dicampur-baurkan dengan tradisi.

Selain mengusahakan menerjemahkan dan menjernihkan esensi carok, ‘Mata Blater’ juga memuat arti penting sapi dan mulai punahnya situs-situs lokal. Sapi, bagi masyarakat Madura tak hanya sekadar hewan piaraan untuk berladang. Sapi, dengan budaya kerapan dan ajang ‘kecantikan’ sapi, juga menjadi simbol prestise. Selain blater, pangerrap di sebagian mata masyarakat Madura memiliki tempat yang cukup disegani. Sebab, dalam pelaksanaan kontes kerrap dan sapi sonok, sebagaian besar peserta adalah orang yang beruang. Dengan demikian dapat dibayangkan, pemenang dalam dua kontes ini dapat digolongkan yang ‘mampu’, baik secara material maupun mistikal.

Tak heran, dua kontes sapi ini juga menjadi ajang mendapatkan prestise. Sehingga tak jarang, dalam perhelatannya, menyisakan bau amis darah. Dalam buku “Mata Blater”, cerpen “Kerabhan Sape”, “Sapi sonok” dan “Bulan Selaksa Clurit”, mendeskripkan secara unik. Unik karena demi mendapatkan kemenangan sapinya, seorang Gani (cerpen “Bulan Selaksa Clurit”), siap mempertaruhakn Asnain, putrinya, asal sapi ayah Madrusin tak ambil bagian; atau kegeraman Lubanjir (cerpen “Kerabhan Sape”) terhadap sapi kerrapnya yang kalah. Sedangkan perang mistik atau magic untuk kemenangan sapi dapat disaksikan dalam cerpen “Sapi Sonok”. Tokoh Santap dibantu dukun Dulakkap perang sihir dengan Madrusin. Sapi sonoknya Madrusin, Si Rattin, yang dielu-elukan, tiba-tiba menyeruduk tubuh Santap. Santap pun, secara ajaib kesurupan. Kegilaan perang ajaib ini ditutup dengan adegan liar Madrusin: menyetubuhi si Rattin.

Kepunahan situs-situs lokal dalam ‘Mata Blater’ hadir dengan isyarat. Nyai Marfu’ah (tokoh sentral cerpen “Kasur Pasir”), sedikit menjadi tokoh yang mewakili masyarakat tradisional. Dengan kegigihannya dia coba menjajakan pasir putih sebagai alas tidur. Namun, datangnya sampah plastik, kebijakan pemerintah meratakan bukit pasir, lambat laun mendesak lahan garap hidupnya. Isyarat akan punahnya situs lokal dalam cerpen ini disuguhkan dengan titik tangkap yang tepat: Nyai Marfu’ah mengambil pasir di tepi kuburan. Isyarat yang kurang lebih menyatakan, kearifan lokal kita telah mendekati liang lahat.

Sampai di sini lelaki itu, teringat kata-kata yang menyatakan karya sastra berangkat dari realitas masyarakatnya. Dia melenguh. Alangkah musykilnya memahami manusia dan budayanya. Sayangnya, kemusykilan ini menjelma pola pikir antemkromo. Generalisir yang memuakkan: Madura keras dan kejam. Bertahun dia merasakan stigma yang ditimpakan pada tanah kelahirannya itu, bak jalin kelindannya cerpen “Nyanyian Perempuan Sunyi”. Perempaun yang dikira tukang santet. Padahal itu semua berangkat dari kasak-kusuk tak jelas. Sungguh suasana yang remang.

Padahal? Ah, dia juga teringat bahwa buku di tangannya juga ingin berbicara tentang kenangan akan situs yang telah hilang (cerpen “Ojhung”), kegelisahan manusia memahami pilihan hidup (cerpen “Careta Panandhak”) atau rahasia perselingkuhan manusia yang kadang tak terungkap (cerpen “Barana”).

Lelaki itu kini berdiri di ambang batas: antara kegelisahan masa lalunya dan gemuruh abad digital. Di tangannya buku “Mata Blater” menatapnya. “Mata Blater” begitu tajam mengajaknya: diskusi, dan bercerita panjang lebar tentang tanah kelahirannya, masyarakatnya, dan kebudayaan yang tak dikenalnya.

Lelaki itu kini mantap, dia ingin menyebut namanya dengan jelas. Mengenalkan tanah kelahirannya dengan bangga. Dan kalau ada yang bertanya tentang stigma itu, dia akan mengatakan: kekerasan terjadi di mana-mana. Sejak nabi Adam hingga kini. Kekejaman adalah salah satu sifat kita.

Lelaki itu, dua puluh tahun lalu lahir tanpa ingatan. Kini, di tangannya, “Mata Blater” memberinya kabar tentang siapa dirinya: kau orang Madura.

*Makalah ini disampaikan dalam acara GELADAK SASTRA # 11, BEDAH ANTOLOGI CERPEN: “ MATA BLATER”, Karya MAHWI AIR TAWAR. Hari : Jum’at, tanggal : 10 Desember 2010. Pukul : 13.00 -16.00 WIB. Tempat : Aula KH. M. Yusuf Hasyim Lt. III, Pesantren Tebuireng Jombang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inilah Ciri Khas Kami: Baca Puisi

Oleh Nahdliya, mahasiswa PBSI 2015 asal Pantura Jawa Helmi Yahya? Begitulah penuturannya saat aku pertama kali mengenalnya. Pertama kali kami berjumpa dan bertatap muka, tepatnya saat aku melewati masa-masa ospek di lingkup Prodi PBSI. Aku sempat heran dan meragukan nama aslinya. Apakah benar seperti itu atau hanya sebagai dalih agar dia tenar di kalangan maba. Oh hanya Tuhan yang tahu mengenai namanya. Dia memperkenalkan diri pada kami sebagai wakil ketua HMP saat itu. Aku sempat berpikir keras, mencoba memahami jabatan yang dipegangnya. Bukan meragukan, tapi lebih ke arah tidak percaya. Setahuku dia konyol, lucu, gokil dan entah apa lagi. Segalayang berbau komedi melekat pada dirinya. Itu yang membuat aku tidak percaya dengan jabatan wakil ketua HMP yang dipegangnya. Di awal pertemuan dengan suasana lingkungan perguruan tinggi, aku lebih memilih acuh tak acuh tentang kak Helmi. Entah dia mau menjadi apaatau menjabat apa. Beberapa hari mengikuti ospek, aku mulai mengerti sisi

Es Lilin Cabbi

Oleh  Kuswanto Ferdian, King Favorit UTM 2016 dan Mahasiswa PBSI 2014 asal Pamekasan Perkenalkan namaku Kuswanto Ferdian. Kalian bisa memanggilku Wawan. Kawan-kawan  di desa memanggilku “Phebeng”. Entahlah apa maksud dari panggilan itu. Aku menerima panggilan itu begitu saja. Aku berasal dari Pulau Garam Madura. Waktu aku masih kanak-kanak , aku sering bermain dengan kawan-kawan d esaku, D esa K olpajung, Pamekasan, Madura. Desaku populer dengan julukan “Kampung Hijau”. Julukan itu diberikan karena desaku sering menjuarai lomba “Adipura Kabupaten” yang diadakan setahun sekali. Selain banyak pohon yang rindang serta daunnya yang hijau, di sepanjang jalan desaku banyak bangunan dengan cat warna hijau. Baik bangunan Sekolah, toko, maupun rumah warga. Alasan itulah yang menjadikan desaku mandapat julukan “Kampung Hijau”. Desaku memiliki beberapa permainan tradisional. Permainan yang paling aku sukai waktu kanak-kanak, permainan “ E s Lilin Cabbi ” . P ermainan ini hampir sam

Pak Anu

O leh Dwi Ajeng Kartini Selama kuliah dua semester -dari semester satu sampai semester dua- baru kali ini aku bertemu dan diajar oleh dosen unik. Dikatakan unik karena cara mengajarnya santai dan mudah dipahami. Cara menyampaikan materi sangatlah berbeda dengan dosen lain yang cenderung membuat tegang. Hehe. Beliau adalah Bapak Salamet Wahedi. Sebelum ‘mengenal’nya, kami sudah mengetahuinya. Beliau adalah dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Desas-desisnya, beliau termasuk dosen killer , tentu aku langsung kaget. Aku takut ketika mendengar, beliau dosen yang killer . Aku takut, beliau di kelas sangat kaku, membosankan, dan tentu -saja bicara dosen killer - pelit nilai. Jujur saja, saat petama melihatnya memang benar terlihat seperti dosen killer. Aku sempat bingung karena pertama masuk, beliau duduk hanya diam. Aku sampai berpikir, sebenarnya dosen ini sedang marah atau memang gayanya seperti ini? Dengan tatapan mata yang sinis dan tidak mau menatap mahasiswa,