Langsung ke konten utama

Deby Maria Suzana Melukis dengan Bibir

Oleh Set Wahedi*

Kaummudapergerakan-Surabaya. Teman-teman Romah Sangkol, Minggu pagi (15/06/2014) saya terdampar di taman Bungkul, Surabaya. Seperti halnya orang-orang yang pada melepas penat dari rutinitas di hari-hari kerja, saya hendak menikmati suasana tanpa mobil di jantung kota Pahlawan yang sumuk itu. Selagi saya asyik menikmati udara basah dan hilir-mudik pejalan dan pesepeda, arus kecil di pojok Taman Bungkul menarik perhatianku. Orang-orang pada bergegas dan antusias mengerubungi sesosok perempuan di depan kanvas. 

Wow, aku kaget ketika melihat seorang perempuan melukis sesosok wajah dengan bibirnya. Teman-teman Romah Sangkol, dengan bibirnya yang mungil, pelukis perempuan itu melukis wajah Jokowi di sebidang kanvas putih. Nama pelukis itu –saya ketahui setelah dia menyelesaikan lukisannya- Deby Maria Suzana. 

Mbak Deby Maria Suzana memulai aksinya mula-mula dengan memajang kanvas lukisan wajah Jokowi setengah jadi di pojok barat-utara taman Bungkul, kemudian perempuan asal Solo yang tinggal di Australia itu menuangkan cat pada paletnya. Dari palet itulah, Mbak Deby mencolek cat dan memulaskan ke bibirnya layaknya orang bergincu. 

Dengan bibir penuh cat itu, Mbak Deby mulai ‘menciumi’ kanvas. Mula-mula dari sisi pojok bawah. Satu-dua kali Deby mendaratkan ciumannya tanpa risih. Pada “ciuman” pertama ini, Deby membentuk bahu Jokowi. Dalam melancarkan ciumannya pada Kanvas, Deby berulang menarik nafas dan mengoleskan cat ke bibirnya. 

Ketika Deby hendak menciumi bagian leher Jokowi, segerombol pengunjung berdesak-desakan. Antusiasme para pengunjung yang ingin melihat langsung aksi nyentrik ini, memaksa Deby mengambil nafas panjang. Dia “ngacir” ke belakang kanvas. Para pengunjung pun merubung kanvas untuk foto bareng dengan lukisan wajah Jokowi.

Untuk menyelesaikan lukisan Jokowinya, Deby naik ke atas bus mini berwarna merah. Aksi Mbak Deby itu pun mengundang perhatian pengunjung lebih banyak lagi. Ketika saya tanya alasan dan tujuannya melukis wajah Jokowi dengan bibir, dia mengutarakannya begini: “Saya yang keturunan Solo sudah seyogyanya turut berpatisipasi mengantarkan Pak Jokowi menjadi pemimpian harapan rakyat.”

Teman-teman Romah Sangkol, Mbak Deby ini juga menjelaskan ketertarikannya pada sosok Jokowi karena gaya blusukannya Jokowi. Menurutnya, gaya blusukan itu cermin karakter pemimpin yang berasal dari dan dapat diterima oleh rakyat. Dengan gaya blusukan itu, Mbak Deby yakin Jokowi akan mampu memimpin negeri ini. 

“Pak Jokowi sudah membuktikan pada kita, bahwa hanya dengan bergandeng tangan bersama-sama kita dapat membawa Negara-bangsa ini ke arah yang lebih baik,” tutur Mbak Deby dengan bibir dipenuhi cat.

*pelancong dan kontributor lepas kaummudapergerakan.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inilah Ciri Khas Kami: Baca Puisi

Oleh Nahdliya, mahasiswa PBSI 2015 asal Pantura Jawa Helmi Yahya? Begitulah penuturannya saat aku pertama kali mengenalnya. Pertama kali kami berjumpa dan bertatap muka, tepatnya saat aku melewati masa-masa ospek di lingkup Prodi PBSI. Aku sempat heran dan meragukan nama aslinya. Apakah benar seperti itu atau hanya sebagai dalih agar dia tenar di kalangan maba. Oh hanya Tuhan yang tahu mengenai namanya. Dia memperkenalkan diri pada kami sebagai wakil ketua HMP saat itu. Aku sempat berpikir keras, mencoba memahami jabatan yang dipegangnya. Bukan meragukan, tapi lebih ke arah tidak percaya. Setahuku dia konyol, lucu, gokil dan entah apa lagi. Segalayang berbau komedi melekat pada dirinya. Itu yang membuat aku tidak percaya dengan jabatan wakil ketua HMP yang dipegangnya. Di awal pertemuan dengan suasana lingkungan perguruan tinggi, aku lebih memilih acuh tak acuh tentang kak Helmi. Entah dia mau menjadi apaatau menjabat apa. Beberapa hari mengikuti ospek, aku mulai mengerti sisi

Es Lilin Cabbi

Oleh  Kuswanto Ferdian, King Favorit UTM 2016 dan Mahasiswa PBSI 2014 asal Pamekasan Perkenalkan namaku Kuswanto Ferdian. Kalian bisa memanggilku Wawan. Kawan-kawan  di desa memanggilku “Phebeng”. Entahlah apa maksud dari panggilan itu. Aku menerima panggilan itu begitu saja. Aku berasal dari Pulau Garam Madura. Waktu aku masih kanak-kanak , aku sering bermain dengan kawan-kawan d esaku, D esa K olpajung, Pamekasan, Madura. Desaku populer dengan julukan “Kampung Hijau”. Julukan itu diberikan karena desaku sering menjuarai lomba “Adipura Kabupaten” yang diadakan setahun sekali. Selain banyak pohon yang rindang serta daunnya yang hijau, di sepanjang jalan desaku banyak bangunan dengan cat warna hijau. Baik bangunan Sekolah, toko, maupun rumah warga. Alasan itulah yang menjadikan desaku mandapat julukan “Kampung Hijau”. Desaku memiliki beberapa permainan tradisional. Permainan yang paling aku sukai waktu kanak-kanak, permainan “ E s Lilin Cabbi ” . P ermainan ini hampir sam

Pak Anu

O leh Dwi Ajeng Kartini Selama kuliah dua semester -dari semester satu sampai semester dua- baru kali ini aku bertemu dan diajar oleh dosen unik. Dikatakan unik karena cara mengajarnya santai dan mudah dipahami. Cara menyampaikan materi sangatlah berbeda dengan dosen lain yang cenderung membuat tegang. Hehe. Beliau adalah Bapak Salamet Wahedi. Sebelum ‘mengenal’nya, kami sudah mengetahuinya. Beliau adalah dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Desas-desisnya, beliau termasuk dosen killer , tentu aku langsung kaget. Aku takut ketika mendengar, beliau dosen yang killer . Aku takut, beliau di kelas sangat kaku, membosankan, dan tentu -saja bicara dosen killer - pelit nilai. Jujur saja, saat petama melihatnya memang benar terlihat seperti dosen killer. Aku sempat bingung karena pertama masuk, beliau duduk hanya diam. Aku sampai berpikir, sebenarnya dosen ini sedang marah atau memang gayanya seperti ini? Dengan tatapan mata yang sinis dan tidak mau menatap mahasiswa,