Langsung ke konten utama

ISU SARA QOBLA PILPRES

Oleh Abu Jamiledy

Pinggirpapas-catatanperubahan. Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres), berbagai manuver dan isu mulai berhamburan. Dan yang paling banyak menjadi sasaran adalah umat Islam. Maklum saja mayoritas penduduk negeri ini, umat Islam. Bahkan konon Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar di dunia.

Momentum Pilpres banyak dimanfaatkan oleh para Calon Presdien (Capres) untuk mendekati dan “membujuk” agar umat Islam mendukung mereka. Safari Politik dilakukan ke basis-basis umat Islam, khususnya umat Islam tradisional yang tersebar di beberapa pesantren. Dari satu pesantren ke pesantren lainnya para capres bergerilya dengan berbagai macam label. Entah bentuknya silaturrahmi atau dengan label yang berbeda.

Seiring dengan manuver para Capres banyak isu-isu miring yang mewarnainya. Isu itu sengaja dihembuskan oleh simpatisan , mungkin juga tim para Capres, atau pihak lain yang memancing di air keruh.

Setelah Pemilu tanggal 9 April 2014 usai, peta politik mulai bisa dilihat dan dirasakan. Dukungan mulai mengerucut, dan yang paling santer dan sering menjadi headline news di berbagai media pertarungan antara  dua kandidat, yaitu Jokowi dan Prabowo. Isu-isu miringpun mulai bermunculan menyertai keduanya. Tak terkeculai isu SARA.

Misalnya baru-baru ini Jokowi yang didukung oleh salah satu parpol berbasis Islam, PKB.  Dukungan PKB ini pun diiringi oleh isu Jokowi tidak bisa berwudhu dengan sempurna. Isu lainnya Jokowi didukung oleh orang-orang anti Islam dan para konglomerat Kristen. Salah satunya adalah James Ready, yang katanya getol melakukan kristenisasi di Indonesia.

Sementara di sisi lain, Prabowo yang juga didukung oleh parpol Islam PPP dan diperkirakan PKS serta PAN. Isu miring yang mengiringi mantan Danjen Kopassu ini, Prabowo terlahir dari rahim Dora Sigar, seorang Kristen asal Manado. Dan keluarga besar Prabowo banyak yang beragama Kristen, termasuk adiknya.

Disadari atau tidak, setiap pemeluk agama apapun, besar atau kecil, akan memberikan kontribusi kepada agama yang dianutnya. Baik berupa materi atau berupa pemikiran. Yang perlu disadari oleh umat Islam di Indonesia, negara ini bukan negara Islam. Akan tetapi negara Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Di dalam negara Pancasila siapapun berhak mencalonkan dan dicalonkan.

Hingga detik ini calon terkuat pun bukan berasal dari kalangan pesantren. Jadi umat Islam Indonesia seharusnya mulai merenung dan berpikir menjelang Pilpres mendatang. Bukan saatnya lagi kita terjebak pada isu SARA. Tetapi lihatlah gaya kepemimpinannya dan yang sekiranya sesuai dengan pilihan hati kita.

Tak ada salahnya umat Islam berdo’a, agar beberapa hari ke depan lahir calon pemimpin yang religius dan nasionalis serta bisa mengayomi seluruh rakyat Indonesia. Jika itu pun tidak terjadi, semoga Tuhan menuntun langkah dan jemari kita untuk mencoblos salah satu calon yang ada sekarang. Dan semoga siapapun yang terpilih kelak bisa mengemban anamah dan bisa menjadi pemimpin yang amanah dan mampu mewujudkan “rahmatan lil ‘alamin”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inilah Ciri Khas Kami: Baca Puisi

Oleh Nahdliya, mahasiswa PBSI 2015 asal Pantura Jawa Helmi Yahya? Begitulah penuturannya saat aku pertama kali mengenalnya. Pertama kali kami berjumpa dan bertatap muka, tepatnya saat aku melewati masa-masa ospek di lingkup Prodi PBSI. Aku sempat heran dan meragukan nama aslinya. Apakah benar seperti itu atau hanya sebagai dalih agar dia tenar di kalangan maba. Oh hanya Tuhan yang tahu mengenai namanya. Dia memperkenalkan diri pada kami sebagai wakil ketua HMP saat itu. Aku sempat berpikir keras, mencoba memahami jabatan yang dipegangnya. Bukan meragukan, tapi lebih ke arah tidak percaya. Setahuku dia konyol, lucu, gokil dan entah apa lagi. Segalayang berbau komedi melekat pada dirinya. Itu yang membuat aku tidak percaya dengan jabatan wakil ketua HMP yang dipegangnya. Di awal pertemuan dengan suasana lingkungan perguruan tinggi, aku lebih memilih acuh tak acuh tentang kak Helmi. Entah dia mau menjadi apaatau menjabat apa. Beberapa hari mengikuti ospek, aku mulai mengerti sisi

Es Lilin Cabbi

Oleh  Kuswanto Ferdian, King Favorit UTM 2016 dan Mahasiswa PBSI 2014 asal Pamekasan Perkenalkan namaku Kuswanto Ferdian. Kalian bisa memanggilku Wawan. Kawan-kawan  di desa memanggilku “Phebeng”. Entahlah apa maksud dari panggilan itu. Aku menerima panggilan itu begitu saja. Aku berasal dari Pulau Garam Madura. Waktu aku masih kanak-kanak , aku sering bermain dengan kawan-kawan d esaku, D esa K olpajung, Pamekasan, Madura. Desaku populer dengan julukan “Kampung Hijau”. Julukan itu diberikan karena desaku sering menjuarai lomba “Adipura Kabupaten” yang diadakan setahun sekali. Selain banyak pohon yang rindang serta daunnya yang hijau, di sepanjang jalan desaku banyak bangunan dengan cat warna hijau. Baik bangunan Sekolah, toko, maupun rumah warga. Alasan itulah yang menjadikan desaku mandapat julukan “Kampung Hijau”. Desaku memiliki beberapa permainan tradisional. Permainan yang paling aku sukai waktu kanak-kanak, permainan “ E s Lilin Cabbi ” . P ermainan ini hampir sam

Pak Anu

O leh Dwi Ajeng Kartini Selama kuliah dua semester -dari semester satu sampai semester dua- baru kali ini aku bertemu dan diajar oleh dosen unik. Dikatakan unik karena cara mengajarnya santai dan mudah dipahami. Cara menyampaikan materi sangatlah berbeda dengan dosen lain yang cenderung membuat tegang. Hehe. Beliau adalah Bapak Salamet Wahedi. Sebelum ‘mengenal’nya, kami sudah mengetahuinya. Beliau adalah dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Desas-desisnya, beliau termasuk dosen killer , tentu aku langsung kaget. Aku takut ketika mendengar, beliau dosen yang killer . Aku takut, beliau di kelas sangat kaku, membosankan, dan tentu -saja bicara dosen killer - pelit nilai. Jujur saja, saat petama melihatnya memang benar terlihat seperti dosen killer. Aku sempat bingung karena pertama masuk, beliau duduk hanya diam. Aku sampai berpikir, sebenarnya dosen ini sedang marah atau memang gayanya seperti ini? Dengan tatapan mata yang sinis dan tidak mau menatap mahasiswa,