Sumenep-catatanperubahan. Ada pelajaran yang dapat dipetik, suatu
kebaikan tidak selamanya berbalas dengan kebaikan. Ini bukan perkara hukum
balas budi, melainkan realita yang hanya bisa dipelajari dalam kamus hidup. Pun penjilat dan penghianat itu tidak pernah
pandang bulu; baik teman sejawat, sahabat, maupun kerabat. Motifnya pun
beragam: iri, dengki, atau rasa haus akan kekuasaan yang berlebihan.
Ini cerita mengenai desa, di mana aku pernah tinggal: Desa Torbang. Desa
ini termasuk wilayah Kecamatan Batuan, dengan bambu yang rimbun sebagai
vegetasi dominan. Ceritaku ini bermula dari seorang bidan desa yang namanya
enggan disebutkan. Nasibnya mirip penyihir putih dalam movie “Hansel and Gretel”.
Bidan ini dituduh melakukan tindakan yang tidak terpuji dan dipaksa menelan
semua konsekuensinya.
Ihwal cerita bermula pada Bulan September
2012. Seorang pasien kurang mampu, Siti (nama
tidak sebenarnya) melahirkan di tempat praktik Sang Bidan. Saat itu Siti tidak mau dirujuk ke RS, padahal proses persalinannya
terbilang sulit hingga memakan waktu dua hari. Alasannya tidak mampu membiayai persalinan di
RS.
Setelah proses melahirkan yang rumit selesai, Sang Bidan mengenakan
biaya “bersahabat.” Itu mengingat kondisi keluarga Siti yang memang kurang mampu. Selang beberapa hari,
tak disangka muncul desas-desus di kalangan warga setempat, bahwa Sang Bidan
memungut biaya berlebihan pada si Siti saat
melahirkan. Bahkan kabar pemelorotan pasien tersebut sempat tersebar media. Kabar
itu semakin ‘panas’ dengan keterangan Siti yang diperkuat kesaksian aparat desa.
Sebelumnya, di Desa Torbang, Sang Bidan dikenal baik. Pasien Sang Bidan
pun sangat ramai, melebihi bidan desa yang lainnya. Hal itu karena pelayanannya
dikenal bagus. Akhirnya berkat balasan Siti, gunjingan, hujatan, serta sepucuk surat mutasi dari dinas terkait,
harus diterima Sang Bidan.
Sang bidan pun sempat menemui Ibu Siti untuk meminta penjelasan. Namun yang ia peroleh hanya permintaan maaf. Aroma
keterlibatan aparat desa dalam kasus tersebut pun menyeruak. Si Siti mengaku didesak beberapa orang berpengaruh di desa,
agar memberi pernyataan yang telah dikarang, kepada wartawan yang sepertinya
datang atas pesanan.
Ah, aku jadi teringat kawanan anjing yang sering muncul di pekat rumpun bambu.
Tak jelas berapa jumlah mereka, apa belang mereka, kapan mereka berburu atau
apa yang mereka buru setiap harinya. Tidak pernah ada yang bisa menjelaskan. Hal
yang pasti, kawanan itu sangat berbahaya.
Sebenarnya banyak warga Torbang yang mengaku tidak percaya pada kabar
tersebut. Mereka pun mengharapkan agar Sang Bidan tetap berdinas di Torbang.
Bahkan sebagian menyatakan siap memberikan dukungan jika kasus tersebut akan
diperkarakan. Namun Sang Bidan memilih mengalah pada kelicikan aparat desa. Ia
patuh pada surat mutasi yang menugaskannya ke desa terpencil. Mungkin rasa
tanggungjawab dan pengabdian Sang Bidan yang kuat, yang membuatnya memilih
jalan itu.
“Yang
penting berusaha untuk baik dulu sama orang. Kalau dibalas dengan cara yang
tidak seharusnya, itu urusan mereka dengan Tuhan,” kata Sang Bidan padaku di
sela kepindahannya.
Komentar
Posting Komentar