Langsung ke konten utama

Manis Pahit Berorganisasi

Oleh Rohmatur Rizqiyah

       Matahari memancarkan sinarnya ke celah-celah jendela kamar. Suara kokok ayam sedari tadi menyeruak di telinga. Alarm hand-phone beberapa kali berusaha membangunkan saya. Itu semua sia-sia, sepertinya pagi ini mata saya tidak mau bersahabat dengan saya, atau mungkin mata ini sudah mulai merasakan lelah karena setiap hari saya ajak begadang demi acara final ini. Acara final? Ya, ini adalah acara puncaknya HMP PBSI sekaligus progam kerja kami yang terakhir. Acara ini mungkin berbeda dengan acara-acara lainnya. Dalam acara ini, kami juga mengundang beberapa SMAN di Madura untuk berpartisipasi. Nama acara ini adalah Pekan Sastra Pelajar Se-Madura yang disingkat dengat PSPS. Acara ini berupa lomba baca puisi antarSMA se-Madura.
        Acara ini adalah acara pertama tanpa kehadiran ketum PBSI yaitu Helmi Yahya. Dia sedang menghadiri acara Ikatan Mahasiwa Bahasa dan Sastra Indonesia se-Indonesia (IMABSII) yang bertempat di Bali. Meskipun tidak bisa hadir, dia tetap berpartisipasi melalui telpon seluler. Dia selalu menelpon hanya untuk menanyakan kelancaran acara. Kak Helmi selalu memberi semangat pada kami, terutama pada saya, CO sie acara. Menjadi sie acara tidaklah muda. Ini merupakan tanggung jawab besar. Lancar dan tidaknya acara bergantung pada sie acara. Kak Helmi selalu berkata pada saya, “Lancar-tidaknya acara ini ada di tanganmu. Berusahalah jadi yang terbaik.” Dia tidak pernah menyurutkan semangat saya. Dia tidak habis-habisnya membantu dan membimbing saya. Dari sini saya mulai membayangkan, menjadi orang hebat itu butuh perjuangan. Menjadi orang hebat itu harus melalui beberapa cobaan.
Saya banyak belajar pada Kak Helmi. Kalau mengerjakan sesuatu itu tidak usah tergesa-gesa. Santai tapi pasti. Dalam acara ini, mungkin saya banyak keteledoran. Tapi kata Kak Helmi itu adalah suatu pelajaran.
Sebelum acara ini dimulai banyak persiapan yang harus kami kerjakan jauh hari. Di antara persiapan itu mempersiapkan tempat (:gedung). Gedung sudah kami pesan dari awal. Kami merencanakan tempat acara ini di Auditorium Pascasarjana. Undangan-undangan ke SMA maupun undangan dosen mulai kami sebar jauh-jauh hari.
Saya ingat betul, perjuangan kami untuk mengantar undangan ke SMA se-Madura. Kehujanan, motor mogok –sampai yang paling parah- Handphone dibegal menjadi serangkaian cerita yang mendebarkan. Meski tidak ada cerita penganiayaan, teman saya sampai sekarang masih trauma. Akan tetapi, hal itu tidak menyurutkan semangat kami. Saya yakin tidak ada suatu acara tanpa kendala. Itu memang benar. Kendala yang paling fatal pada acara kami, gedung yang sudah jauh-jauh hari kami pesan ternyata ditempati prodi lain.
Kami sempat marah. Tapi Kak Helmi mencoba menenangkan kami dan mencari jalan keluar. Gedung Rektorat lantai satu kami coba tembusi, ternyata sudah ditempati juga. Kami kembali ke gedung Auditorium. Dengan berat hati Kak Helmi berkata, lomba akan tetap dilaksanakan di gedung Auditoium tetapi di ruang yang berbeda. Ruang yang kami pilih memang sempit. Tidak seperti ruangan-ruangan di gedung-gedung lain. Kami mendesain ruangan itu agar peserta lomba tetap nyaman. Kami bergotong royong membersihkan ruangan itu. Di sini saya bisa merasakan arti persaudaraan di antara kami.
         Detik demi detik berlalu. Waktu itu, 12 November 2016. Waktu sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB. Teman-teman belum datang. Setelah beberapa menit, mereka datang. Tidak lama kemudian beberapa tamu undangan dan peserta lomba datang.
Dalam acara ini kami melibatkan dosen sebagai jurinya. Dosen yang kami pilih sebagai juri adalah Pak Set Wahedi, Ibu Ira Fatmawati dan Ibu Jiphie Gilia Indriyani. Acara ini semakin meriah dengan kehadiran King favorit UTM, Kuswanto Ferdian yang notabene mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Ini menjadi bukti, mahasiswa PBSI mempunyai wawasan yang luas.
Acara demi acara berlangsung. Pengumuman lomba diumumkan. Yang mendapatkan juara 1 siswa SMAN 1 Kamal. Dari acara lomba tersebut saya dapat mengenal beberapa guru SMA, khususnya SMA di Bangkalan. Guru-guru tersebut masih menghubungi saya untuk sekadar menanyakan kabar. Kemarin saya dibantu salah seorang guru SMA di Bangkalan untuk melakukan observasi. Padahal waktu itu sekolah sudah banyak yang libur.
            Setelah acara selesai kami melakukan evaluasi. Kami menyadari banyak kekurangan. Saya sadar banyak kesalahan yang saya lakukan. Di sini saya dapat merasakan manis-pahitnya organisasi. Saya tidak pernah menyesal mengikuti organisasi. Di sini saya diajarkan kedisiplinan, kesabaran, arti tolong-menolong dan masih banyak lagi. Dari sini saya mendapatkan keluarga baru.
Tidak dapat dipungkiri, kami sering adu argumen satu sama lain yang membuat sakit hati. Tapi kami selalu kembali pada tujuan awal. Kami ‘berdiri’ di sini untuk mengharumkan nama dan memajukan PBSI.
Setelah evaluasi kami makan bersama. Pada saat seperti itulah, rasa kekeluargaan ini muncul. Meski seenak apapun makanan kalau kita makan sendiri rasanya biasa saja. Meski makanan kami apa adanya, kalau dimakan bersama-sama rasanya akan berbeda. Rasanya akan lebih nikmat.
Mungkin itu acara pamungkas kami. Saya tidak akan pernah melupakan kenangan bersama keluarga baruku itu. Kami berharap, semoga HMP PBSI tahun depan dapat lebih mengharumkan nama PBSI. Majulah HMP PBSIku dan jayalah PBSIku. Terimakasih Kak Helmi. Semangat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Inilah Ciri Khas Kami: Baca Puisi

Oleh Nahdliya, mahasiswa PBSI 2015 asal Pantura Jawa Helmi Yahya? Begitulah penuturannya saat aku pertama kali mengenalnya. Pertama kali kami berjumpa dan bertatap muka, tepatnya saat aku melewati masa-masa ospek di lingkup Prodi PBSI. Aku sempat heran dan meragukan nama aslinya. Apakah benar seperti itu atau hanya sebagai dalih agar dia tenar di kalangan maba. Oh hanya Tuhan yang tahu mengenai namanya. Dia memperkenalkan diri pada kami sebagai wakil ketua HMP saat itu. Aku sempat berpikir keras, mencoba memahami jabatan yang dipegangnya. Bukan meragukan, tapi lebih ke arah tidak percaya. Setahuku dia konyol, lucu, gokil dan entah apa lagi. Segalayang berbau komedi melekat pada dirinya. Itu yang membuat aku tidak percaya dengan jabatan wakil ketua HMP yang dipegangnya. Di awal pertemuan dengan suasana lingkungan perguruan tinggi, aku lebih memilih acuh tak acuh tentang kak Helmi. Entah dia mau menjadi apaatau menjabat apa. Beberapa hari mengikuti ospek, aku mulai mengerti sisi

Pak Anu

O leh Dwi Ajeng Kartini Selama kuliah dua semester -dari semester satu sampai semester dua- baru kali ini aku bertemu dan diajar oleh dosen unik. Dikatakan unik karena cara mengajarnya santai dan mudah dipahami. Cara menyampaikan materi sangatlah berbeda dengan dosen lain yang cenderung membuat tegang. Hehe. Beliau adalah Bapak Salamet Wahedi. Sebelum ‘mengenal’nya, kami sudah mengetahuinya. Beliau adalah dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Desas-desisnya, beliau termasuk dosen killer , tentu aku langsung kaget. Aku takut ketika mendengar, beliau dosen yang killer . Aku takut, beliau di kelas sangat kaku, membosankan, dan tentu -saja bicara dosen killer - pelit nilai. Jujur saja, saat petama melihatnya memang benar terlihat seperti dosen killer. Aku sempat bingung karena pertama masuk, beliau duduk hanya diam. Aku sampai berpikir, sebenarnya dosen ini sedang marah atau memang gayanya seperti ini? Dengan tatapan mata yang sinis dan tidak mau menatap mahasiswa,